Saat Aplikasi Telekonferensi Kian Sering Digunakan
Berkat sejumlah aplikasi konferensi video via internet, pertemuan daring diperkirakan bakal menggantikan pertemuan konvensional di ruang-ruang kantor. Pandemi Covid-19 telah memicu kemunculan tren anyar.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·4 menit baca
Penggunaan teknologi untuk rapat, pertemuan, seminar, atau diskusi daring kian gencar dilakukan saat banyak perusahaan memberlakuan bekerja dan belajar dari rumah selama pandemi. Akankah hal ini menjadi salah satu normal baru di Indonesia?
Mengadakan rapat, diskusi, atau seminar melalui video daring bukanlah hal yang asing bagi masyarakat. Pada pertengahan Maret lalu, misalnya, Presiden Joko Widodo menggelar rapat daring bersama semua menteri Kabinet Indonesia Maju. Saat itu, rapat membahas percepatan pemulihan ekonomi di tengah tekanan Covid-19.
Ada berbagai platform, baik gratis maupun berbayar, yang dapat dipakai untuk menggelar pertemuan secara daring. Beberapa di antaranya aplikasi Zoom, Google Meet, Skype, dan Webex. Platform telekonferensi video ini menuai keuntungan di masa pandemi karena dapat menggantikan perjumpaan fisik.
Popularitas Zoom
Boleh jadi, perusahaan aplikasi Zoom menjadi salah satu perusahaan teknologi yang meraup keuntungan cukup besar saat pandemi. Penggunaan aplikasi ini sontak meningkat saat bekerja dari rumah masif diberlakukan di banyak negara. Jumlah pertemuan daring yang diadakan melalui aplikasi ini naik 3.000 persen pada April lalu dibandingkan dengan Desember 2019.
Jumlah yang fantastis itu diikuti oleh jumlah unduhan Zoom. Aplikasi milik perusahaan Zoom Video Communications yang didirikan oleh Eric Yuan ini diunduh 40 juta kali pada Februari 2020. Jumlah itu naik drastis dibandingkan dengan jumlah unduhan pada Juni 2014, sekitar 10 juta kali.
Tentu saja lonjakan unduhan dan penggunaan aplikasi ini mendorong pendapatan perusahaan yang didirikan pada 2011 itu. Pada triwulan II-2020, Zoom memperoleh keuntungan 2,2 juta dollar Amerika Serikat. Padahal, layaknya perusahaan rintisan lain, pada laporan keuangan 2018, Zoom merugi sekitar 4,1 juta dollar AS. Prediksinya, pada akhir 2020 Zoom mendapat keuntungan 21,7 juta dollar AS.
Pada akhir Maret 2020, nilai saham Zoom ialah 146,1 dollar AS. Ada peningkatan signifikan dibandingkan dengan harga sahamnya pada April 2020, yaitu 36 dollar AS. Valuasi Zoom sekarang sekitar 40,5 miliar dollar AS.
Padahal, kehadiran Zoom terbilang baru dibandingkan dengan perusahaan lain yang sudah terjun lebih dulu dalam penyediaan telekonferensi video daring. Perusahaan itu, di antaranya, Skype dari Microsoft, Webex dari Cisco, atau Google Hangout/Meet dari Google. Merujuk salah satu survei pekerja jarak jauh dari FYI (perusahaan teknologi), Zoom digunakan oleh lebih dari setengah responden dan mengungguli platform lain.
Pada triwulan II-2020, Zoom memperoleh keuntungan 2,2 juta dollar Amerika Serikat.
Dibandingkan dengan platform lainnya, Zoom tak memiliki fitur istimewa. Namun, Zoom memberikan akses gratis kepada penggunanya dengan batasan waktu percakapan. Akses gratis ini ternyata terlambat diadaptasi oleh platform lain, misalnya Google. Perusahaan ini baru menggratiskan akses Google Meet pada akhir April 2020.
Meski hanya berbeda di akses gratis, penggunaan Zoom sudah berhasil dikenal luas saat banyak negara memberlakuan pembatasan sosial akibat pandemi. Bahkan, muncul pula fenomena ”Zoom Booming” karena aplikasi ini sangat terkenal dari segi pengguna. Di sisi lain, ”Zoom Booming” mengacu pada isu keamanan yang sempat menerpa Zoom.
Kasus pembobolan data pengguna Zoom pertama kali ditemukan serta dilaporkan oleh Skype (Microsoft) dan Webex (Cisco). Melalui pengembang teknologi mereka, celah keamanan data dapat ditemukan dalam file GIF dari server Giphy. Dengan segera, pihak Zoom meresponsnya, melakukan permintaan maaf dan klarifikasi serta memperbarui aplikasi mereka.
Isu keamanan sempat membuat nilai saham Zoom turun pada akhir Maret dan April. Meski begitu, seiring pembaruan aplikasi yang dilakukan, para pengguna tetap memanfaatkan layanan Zoom. Sentimen positif ini membuat harga saham Zoom naik lagi (rebound) dan terus meningkat hingga awal Juni.
Fenomena Zoom merupakan contoh keberhasilan pemanfaatan peluang di tengah situasi pandemi. Tren penggunaan platform telekonferensi video daring tampaknya masih akan berlanjut. Maka, kembali ke pertanyaan sebelumnya, akankah hal ini menjadi normal baru dan berlaku di Indonesia?
Peningkatan pertemuan daring
Pada 2009, Forbes melaporkan bahwa pertemuan secara daring tak dapat menggantikan tatap muka dalam dunia bisnis. Laporan berjudul ”Business Meetings: The Case for Face-to-Face” ini mempertanyakan keefisienan dan keefektifan teknologi dalam dunia bisnis, khususnya pertemuan yang diadakan oleh para pejabat penting perusahaan atau pengusaha. Dalam laporan itu disebutkan, ada hal-hal yang tak dapat digantikan oleh teknologi, seperti membangun relasi dengan mitra bisnis, ekspresi bahasa tubuh yang alami, atau penerapan strategi dalam persuasi konvensional.
Selang lima tahun setelahnya, Forbes mulai mengubah pandangannya. Dalam laporan ”Tooling Up for Collaboration: Virtual Meetings That Drive Business Results”, Forbes meyakini bahwa pertemuan secara virtual mulai terjadi di sejumlah perusahaan di banyak negara. Ada peningkatan penggunaan pertemuan daring dan diprediksikan terus meningkat berkat kemudahan akses serta alasan efisiensi waktu.
Forbes meyakini bahwa pertemuan secara virtual mulai terjadi di sejumlah perusahaan di banyak negara.
Keyakinan tersebut berlanjut hingga 2020. Forbes kemudian menggandeng Zoom untuk membuat analisis berjudul ”The Visual Advantage: Harnessing Video-led Unified Communications To Drive a More Agile, Connected And Effective Culture”. Hasilnya, ada keyakinan kuat bahwa pertemuan daring dapat menggantikan pertemuan konvensional di ruang-ruang kantor.
Analisis yang dilakukan Forbes dan Zoom tersebut dilakukan kepada responden yang tersebar di sejumlah negara dan benua. Mayoritas responden memiliki jabatan penting di perusahaan dengan rentang usia 18 hingga lebih dari 65 tahun.
Bukan tidak mungkin praktik kerja jarak jauh atau bekerja di rumah secara perlahan akan tumbuh di Indonesia, khususnya di perkotaan.