Kota Tangerang Selatan yang Terus Bergulat dengan Sampah
Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, terus bergulat dengan problem penanganan sampah sejak awal kelahirannya. Sampah menjadi salah satu persoalan serius di Tangsel yang merupakan salah satu kota padat penduduk.
Oleh
Puteri Rosalina
·5 menit baca
Pada tahun 2019, kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan atau Tangsel mencapai 11.875 jiwa per kilometer persegi. Kota Tangsel menempati urutan kedua wilayah berpenduduk paling padat di Provinsi Banten, sesudah Kota Tangerang, dan terpadat kelima di kawasan Jabodetabek.
Cerita sampah menumpuk di beberapa sudut wilayah yang menebarkan bau tidak sedap mewarnai berdirinya Kota Tangsel pada 2008. Saat awal berdiri, Kota Tangsel belum mempunyai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Namun, setelah satu dekade, persoalan sampah belum pula selesai. Sampah mencemari Sungai Cisadane dan memunculkan aroma menyengat akibat longsornya timbunan sampah di TPA Cipeucang.
Meski Kota Tangsel sudah mempunyai TPA Cipeucang, daya tampungnya tak memadai. Volume sampah yang masuk ke TPA sekitar 300 ton, hanya 30 persen dari total sampah yang dihasilkan warga Tangsel setiap hari yang mencapai 970 ton.
Meski Kota Tangsel sudah mempunyai TPA Cipeucang, daya tampungnya tak memadai.
Sampah warga Tangsel didominasi sampah organik (43,4 persen). Sisanya, 26,5 persen, merupakan sampah non-organik, seperti plastik, kertas, logam, dan kaca.
Situasi inilah yang menyebabkan tanggul pembatas TPA Cipeucang roboh dan ”gunungan” sampah longsor ke Sungai Cisadane yang terletak sekitar 50 meter di samping TPA pada 22 Mei 2020.
Tak mudah mengangkat longsoran sampah tersebut dari sungai. Proses pembersihan memakan waktu lebih dari seminggu karena dua pertiga badan Sungai Cisadane tertutup sampah. Pencemaran udara berupa bau sampah menyebar hingga radius lebih dari 6 kilometer dari lokasi TPA Cipeucang.
Kekurangan armada
Masalah sampah di Kota Tangsel bermula sejak pembentukan wilayah administratif Kota Tangerang Selatan pada 2008. Saat itu Kota Tangsel membentuk Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dengan salah satu tujuannya ialah menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi sampah.
Rupanya pemungutan PAD yang dilakukan oleh Tangsel tersebut memunculkan polemik dengan wilayah Kabupaten Tangerang. Ketidaksepahaman mengenai retribusi sampah ditengarai menjadi penyebab pemutusan kerja sama pengangkutan sampah Tangerang Selatan oleh Pemkab Tangerang (Kompas, 28 Desember 2010).
Sejak awal Januari 2010, Pemkab Tangerang menghentikan pengoperasian 38 armada pengangkutan sampah yang biasa beroperasi di Kota Tangsel. Kota Tangsel juga dilarang membuang sampah di TPA Jatiwaringin milik Pemkab Tangerang.
Kota Tangsel kemudian terancam oleh tumpukan sampah. Pada awal Januari 2010, tumpukan sampah terjadi di Pasar Ciputat, Jalan Astek Jombang, hingga di sebagian kawasan perumahan BSD.
Solusi cepat yang bisa ditempuh saat itu adalah memaksimalkan 9 armada yang tersisa untuk mengangkut sampah dari tujuh kecamatan di Kota Tangsel. Namun, keterbatasan armada tetap menyisakan penumpukan sampah di beberapa titik.
Pada Januari 2011, tumpukan sampah kembali terjadi di Pasar Ciputat, Jalan Dewi Sartika, Ciputat, hingga Pasar Cimanggis Pamulang. Setelah setahun, hanya tujuh dari sembilan armada pengangkut sampah di Kota Tangsel yang masih bisa digunakan.
Pada awal Januari 2010, tumpukan sampah terjadi di Pasar Ciputat, Jalan Astek Jombang, hingga di sebagian kawasan perumahan BSD.
Keterbatasan armada membuat Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangsel hanya bisa melayani 15 persen dari 1.600 meter kubik total produksi sampah rumah tangga, pasar, dan industri sepanjang 2011. Sisanya, 85 persen, ditangani masyarakat dan industri. Masih ada pula yang membuang sampah ke sungai dan ke lahan kosong, kemudian membakarnya.
Tahun 2016, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tangsel mulai menambah armada pengangkut sampah. Data Rencana Strategis Dinas Lingkungan Hidup Tangsel 2016-2021 menyebutkan, sudah tersedia 10 unit pikap sampah, 15 unit truk sampah, 30 unit kontainer sampah, 10 unit motor roda tiga, dan 1 unit truk penyapu (sweeper). Jumlah petugas lapangan tercatat 633 orang.
Hasilnya, merujuk pada penelitian ”Analisis Pengelolaan Sampah Padat Tangerang Selatan (Serena&Ali, 2018)”, volume sampah yang bisa diangkut oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tangsel meningkat menjadi 30,9 persen atau 250 ton per hari. Adapun swasta bisa mengangkut sampah per hari sekitar 24,4 persen atau 197 ton.
Sisanya, 44,7 persen, terbuang di sembarang tempat, seperti selokan, pinggir jalan, ataupun sungai.
Pada Juli 2018, diberitakan sampah di beberapa wilayah Tangsel belum terangkut. Penyebabnya, armada truk pengangkut belum menjangkau seluruh wilayah Tangsel. Tumpukan sampah berada di sekitar Stasiun Sudimara, berderet memanjang sekitar 100 meter searah dengan rel kereta (Kompas, 19 Juli 2018).
Kebiasaan masyarakat
Sampah yang belum tertangani oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tangsel diikuti juga dengan kebiasaan masyarakat membuang sampah di pinggir jalan di lokasi yang sepi, bawah jembatan, ataupun sungai. Padatnya penduduk memunculkan kluster-kluster kecil permukiman dan kontrakan rumah petak tanpa sistem pengelolaan sampah.
Hasil penelitian ”Kinerja Dinas Kebersihan Tangerang Selatan dalam Pengelolaan Sampah di Kota Tangerang Selatan (Retnowati, 2016)” menunjukkan, masyarakat Kota Tangsel umumnya belum terlalu peduli terhadap pengelolaan sampah rumah tangga. Warga jarang memilah sampah dan memilih untuk membuangnya sembarangan.
Kebiasaan buruk ini terkait dengan sejarah pengelolaan sampah Tangerang Selatan sebelum tahun 2000. Penelitian ”Studi Bentuk Pengelolaan Sampah di Kecamatan Kota Setu Tangerang Selatan secara Partisipatif (Shafiyah dkk, 2015)” menjelaskan, sebelum tahun 2000, pengelolaan sampah biasanya dilakukan dengan mengumpulkannya di suatu tempat, kemudian diangkut dan dibuang ke TPA Mauk, Kabupaten Tangerang. Sampah yang tak terangkut dibakar ataupun ditimbun.
Pengolahan sampah
Pada Mei 2011, Pemerintah Kota Tangsel membangun tempat pembuangan sampah terpadu recycle, reuse, dan reduce (TPST 3R). Empat titik dipilih sebagai tempat TPST 3R, yakni Villa Pamulang Mas 2, Serua, Griya Serpong, dan Pondok Cabe. TPST 3R akan memilah dan mengolah sampah organik serta anorganik guna mengurangi timbunan sampah karena saat itu TPA Cipeucang belum dioperasikan.
Namun, hingga Januari 2018, sebanyak 50 TPST beroperasi. Di sisi lain, menurut penelitian ”Kinerja Dinas Kebersihan Tangerang Selatan dalam Pengelolaan Sampah di Kota Tangerang Selatan”, banyak warga yang belum terbiasa memilah sampah dan mengolahnya kembali. Bahkan, ada petugas di sejumlah TPST yang lalai menunaikan tugas. Singkat kata, program TPST tak berjalan baik.
Banyak warga yang belum terbiasa memilah sampah dan mengolahnya kembali.
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tangsel juga membangun intermediate treatment facility (ITF) yang merupakan proyek awal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Fasilitas ITF ini memilah sampah organik dan anorganik.
Sampah organik diolah dengan mesin hidrolis menjadi pupuk, sementara sampah anorganik dijual ke pengepak. Barulah sisa dari pengolahan ini dibuang ke TPA. Namun, dari penelitian ”Kinerja Dinas Kebersihan Tangerang Selatan dalam Pengelolaan Sampah di Kota Tangerang Selatan”, masyarakat Tangsel belum mengetahui keberadaan ITF yang dibangun tahun 2014 tersebut.
Melihat riwayat itu, agaknya pengelolaan sampah di Kota Tangsel tak hanya berurusan dengan kapasitas dan pembersihan longsoran sampah di sungai. Sosialisasi pada masyarakat boleh jadi menjadi faktor penting yang luput dari perhatian. Sampai kapan Kota Tangsel akan berkubang dengan sampah? (LITBANG KOMPAS)