”Upheaval”: Mengungkap Jati Diri Bangsa melalui Krisis
Melalui studi komparatif sejarah tujuh negara, buku ini menampilkan pola-pola sikap dan pengambilan keputusan sebuah negara dalam pergolakan krisis.
Banyak orang sering mengatakan bahwa kita perlu belajar dari pengalaman sejarah. Sebaliknya, kita juga pernah mendengar pendapat Hegel, pengalaman sejarah sendiri mengajarkan bahwa pemerintahan bangsa-bangsa tidak pernah belajar dari sejarah dalam tindakannya.
Lantas, apa yang masih dapat kita harapkan dari mempelajari sejarah?
Untuk menjawabnya, kita dapat menyejajarkan pertanyaan dengan: dapatkah kita belajar sesuatu dari sejarah hidup dan biografi seseorang?
Kita semua dapat sepakat bahwa sejarah hidup seseorang itu kompleks dan sangat khas dari satu orang ke orang lain. Sejarah hidup seseorang juga melewati banyak peristiwa yang tak terduga. Namun, hal itu tidak mengurangi minat banyak orang untuk mau membeli dan membaca buku biografi. Artinya, ada manfaat yang menggerakkan saat membaca kisah hidup orang lain.
Apa yang masih dapat kita harapkan dari mempelajari sejarah?
Salah satu hal yang bisa kita dapatkan dari membaca biografi adalah menambah perbendaharaan (database) kita dalam memahami tingkah laku orang, terutama pilihan tindakan orang dalam menghadapi suatu masalah atau krisis.
Demikian pula yang ditawarkan dengan mempelajari sejarah bangsa-bangsa. Sejarah bangsa-bangsa dalam mengatasi krisis, entah berhasil ataupun gagal, menawarkan kekayaan perbendaharaan pilihan tindakan dalam mengatasi krisis.
Kekayaan perbendaharaan pilihan tersebut dapat dimanfaatkan saat mengalami krisis yang sama. Tentu saja dengan risiko yang juga sama, bisa berhasil, bisa juga gagal.
Di tingkat personal, semakin kita membiasakan diri dengan banyak pilihan perubahan, baik yang berhasil maupun tidak, kita akan semakin piawai dalam memilih perubahan yang perlu dibuat saat menghadapi krisis.
Inilah hal yang ditawarkan oleh Jared Diamond dalam bukunya, Upheaval: Bagaimana Negara Mengatasi Krisis dan Perubahan.
Pisau analisis
Jared Diamond menawarkan sebuah pisau analisis untuk membedah pengalaman sejarah negara-negara dalam mengatasi krisis, sekaligus menyejajarkannya dengan krisis personal yang dialami oleh manusia.
Penulis mendasarkan analisisnya pada analogi bahwa krisis nasional serupa dengan yang dialami oleh individu. Dalil ini dibangun berdasar keyakinan penulis bahwa ”perspektif krisis individual memudahkan pembaca awam untuk memahami krisis nasional yang kompleks” (hlm 8).
Pisau analisis yang digunakan penulis untuk mengungkap pola krisis adalah 12 faktor dalam metode terapi krisis individu. Secara garis besar, metode terapi krisis ini dimulai dengan tahap mengakui diri bahwa sedang mengalami krisis (Faktor 1). Pada tahap ini, tantangan utama adalah sikap penolakan (denial).
Ketika sudah muncul pengakuan bahwa sedang mengalami krisis, perlu memunculkan tanggung jawab untuk berbuat sesuatu untuk menuntaskan masalah (Faktor 2).
Mengingat persoalan dalam krisis tidak pernah bersifat tunggal, tahap selanjutnya adalah membatasi masalah yang akan diurus (Faktor 3). Penentuan batasan dan fokus masalah ini perlu diikuti dengan penilaian, apakah memerlukan bantuan pihak luar untuk mengatasinya (Faktor 4).
Perspektif krisis individual memudahkan pembaca awam untuk memahami krisis nasional yang kompleks.
Strategi yang digunakan dalam menghadapi krisis tidak perlu selalu baru, tetapi bisa saja melihat pengalaman orang atau negara lain yang pernah berurusan dengan krisis serupa (Faktor 5). Inilah salah satu hal yang dapat dipelajari dari biografi seseorang atau sejarah negara-negara.
Entah dari mana strategi berasal, asal sudah diputuskan, strategi tersebut perlu dipupuk dengan rasa percaya diri (Faktor 6) serta menilai diri secara jujur (Faktor 7). Pengalaman masa lalu dalam menghadapi krisis, baik pribadi maupun bangsa, perlu kembali dilihat sebagai referensi (Faktor 8).
Ketekunan, kesabaran, serta kegigihan adalah faktor penentu berikutnya (Faktor 9). Krisis adalah bentuk tekanan yang tentu membuat kondisi tidak nyaman sehingga dibutuhkan kelenturan diri dalam situasi sulit (Faktor 10). Fleksibilitas ini diperlukan agar tidak semakin tercekik oleh krisis yang sedang dialami.
Hal yang tak bisa dilupakan dalam mengupayakan penanganan krisis adalah berpegang pada nilai dasar (Faktor 11). Nilai tersebut dapat berupa nilai agama, moral, nilai universal pada tataran individu ataupun konstitusi, ideologi, serta nilai historis dalam ranah krisis negara.
Faktor terakhir adalah kebebasan ”dari” (Faktor 12). Kebebasan ”dari” ini di tingkat pribadi bisa berupa kebebasan dari keterikatan tanggung jawab, sedangkan di tingkat negara dapat berupa bebas dari jerat relasi geopolitik.
Seperangkat pisau analisis tersebut lantas digunakan untuk mengulas pengalaman tujuh negara dalam menghadapi krisis.
Tabiat bangsa-bangsa
Penelusuran dilakukan terhadap sejarah pengelolaan krisis di negara Finlandia, Jepang, Chile, Indonesia, Jerman, Australia, dan Amerika Serikat. Ketujuh negara ini dipilih oleh Diamond karena dia mengenal, pernah tinggal, atau setidaknya pernah mengunjungi negara-negara tersebut.
Setiap analisis akan dimulai dengan narasi sejarah modern negara tersebut. Hal itu sengaja dibuat untuk menampilkan ciri khas yang membentuk pola respons suatu negara dalam menghadapi krisis.
Ciri khas tersebut, menurut penulis, akan tampak dari perubahan selektif yang dipilih oleh suatu negara dalam mengatasi krisis. Kata kunci ”selektif” ditekankan karena menurut Diamond suatu perubahan yang menyeluruh mustahil dapat dilakukan dan biasanya tidak diinginkan karena tidak menyenangkan.
Finlandia, misalnya, pada masa sebelum Perang Dunia II mengalami perang saudara dan timbul konflik dengan negara tetangganya, Uni Soviet (Bab II).
Finlandia merupakan negara dengan komunitas kecil, bahkan kerdil jika dibandingkan dengan populasi Uni Soviet. Komunitas kecil ini pernah berkecamuk akibat perpecahan antara kelompok Konservatif (Putih) dan Komunis (Merah) pada tahun 1918. Konflik kedua kelompok tersebut menewaskan sekitar 8.000 orang dari kelompok Merah dan mengakibatkan sekitar 20.000 orang komunis Finlandia mati kelaparan.
Jared Diamond memperlihatkan bahwa penyelesaikan konflik Finlandia dicapai dengan strategi perubahan yang selektif (hlm 49). Negara ini mengelola pihak kawan dan lawan supaya bersinergi untuk menjaga perdamaian. Finlandia yang menganut sistem demokrasi liberal ini tetap merangkul kelompok Merah dan menjaga hubungan baik dengan komunis Uni Soviet.
Finlandia berdamai dengan saudara sebangsanya, kelompok Merah. Upaya ini ditempuh untuk melepaskan tegangan ideologi dengan memberikan ruang-ruang gerak bagi ”mantan lawan”.
Suatu perubahan yang menyeluruh mustahil dapat dilakukan dan biasanya tidak diinginkan karena tidak menyenangkan.
Strategi Finlandia di atas senada dengan yang dilakukan Jepang pada akhir abad ke-19. Pada saat itu, terjadi konflik antara Shogun Tokugawa dan penggerak Restorasi Meiji yang berniat membongkar feodalisme di Jepang. Dalam mengatasi krisis tersebut, Jepang menerapkan pola perubahan selektif, yakni memilah antara yang diambil dan dibuang terhadap masuknya budaya Barat (hlm 89 dan 105).
Kelompok Shogun Tokugawa yang kalah diselamatkan dengan diberi hidup tenang hingga akhir hayat, bukannya dihabisi seperti pada masa isolasi diri dari dunia luar. Hasilnya, Jepang menjadi negara modern dengan menjaga budaya tradisionalnya tetap langgeng.
Krisis dalam bentuk konflik antargolongan juga pernah terjadi di Indonesia. Diamond mengulas konflik berdarah September 1965. Pada saat itu, kelompok komunis Indonesia melihat adanya masalah pada pemerintah yang membutuhkan reformasi segera. Di pihak lain, tentara Indonesia melihat adanya persoalan pada paham komunis dan reformasi yang diusulkannya (hlm 372).
Pihak komunis lantas meluncurkan kudeta dengan dalih takut oleh tekanan dari Dewan Jenderal yang antikomunis. Tindakan tersebut direspons dengan sikap tegas dari sisi militer Indonesia terhadap kelompok komunis.
Krisis di Indonesia tersebut dapat disandingkan dengan situasi yang pernah terjadi di Chile. Presiden Chile Salvador Allende, yang dipilih dalam sistem demokrasi, digulingkan oleh militer dalam sebuah kudeta oleh Jenderal Augusto Pinochet pada 1973 (hlm 392). Keserupaan pola kasus Indonesia di Chile terletak pada hasil akhirnya, yakni pihak militer berhasil membasmi pihak oposisi.
Pola penyelesaikan krisis ala Finlandia-Jepang yang merangkul pihak oposisi ataupun Indonesia-Chile yang melenyapkan pihak oposisi menampakkan keragaman yang dapat memperkaya perspektif pembaca buku ini. Bahkan, dapat dikatakan bahwa buku ini menampilkan sejarah pola-pola sikap dan pengambilan keputusan sebuah negara dalam pergolakan krisis.
Dalam tataran negara, pembaca diperkenalkan pada ”tabiat” bangsa melalui pola-pola yang muncul dari rentetan sejarah. Keberagaman antarnegara semakin memperkaya perspektif dengan metode komparatif yang digunakan dalam buku ini.
Meraba masa depan
Buku setebal 411 halaman ini merupakan sebuah studi sejarah komparatif atau perbandingan tujuh negara dengan keragaman dimensi latar belakang. Jared Diamond, penulis multiperspektif dengan keahlian menonjol di bidang sejarah dan geografi, menyajikannya dengan teknik naratif dengan harapan agar buku ini lebih mudah dinikmati oleh pembaca.
Studi komparatif yang dipaparkan sang penulis tak melulu berkutat pada masa lalu. Penulis juga mengajak meraba masa depan untuk bersiap diri menghadapi krisis, baik dari segi perkembangan dan ketimpangan ekonomi, demografi, maupun polarisasi politik yang khas di tiap negara yang dibahas.
Selain itu, dari 11 bab yang ada, sejumlah tiga bab merupakan bahasan untuk melihat ke depan. Tujuh bab mengulas sejarah dan satu bab merupakan penjelasan sang penulis tentang makna krisis dan pisau analisis yang digunakan.
Tiga aspek masa depan dimulai dengan bahasan tentang krisis senjata nuklir dengan kondisi melemahnya perjanjian pembatasan senjata nuklir. Hal kedua tentang perubahan iklim, bahan bakar fosil, dan energi alternatif.
Dan, ketiga, pembahasan tentang ketimpangan yang merupakan ancaman krisis terkini. Dalam hal ini, penulis memadukan perbandingan kasus krisis dengan tinjauan pergulatan dunia di masa depan.
Rentetan perbandingan pola-pola pergulatan krisis serta prediksi masa depan dimulai dengan pertanyaan: apa guna krisis dan bagaimana negara mengantisipasinya. Semua itu tergantung dari pilihan tindakan setiap negara dalam menyikapi krisis.
Dalam situasi krisis global karena pandemi Covid-19 saat ini, setiap negara memiliki respons yang berbeda-beda. China secara tegas memberlakukan lockdown,terutama di kota Wuhan. Italia, Spanyol, Perancis, dan negara lain di Benua Biru merumahkan warganya.
Korea Selatan melakukan tes cepat besar-besaran dan pelacakan kasus. Sementara Amerika Serikat mulanya menanggapi wabah ini dengan menyatakan diri ”akan baik-baik saja”. Bagaimana dengan Indonesia?
Seperti sejumlah negara lain, sejarah perjalanan bangsa Indonesia menunjukkan adanya berbagai krisis yang pernah dilewati. Tiap krisis yang berhasil dilewati menunjukkan keyakinan bahwa bangsa ini memiliki kemampuan untuk menghadapi krisis.
Salah satu kunci keberhasilan dalam mengatasi krisis, menurut Jared Diamond, adalah selektif dalam memilih perubahan yang perlu diambil. Memilih bagian yang sudah berfungsi baik dan bagian yang perlu diubah mensyaratkan sebuah penyelidikan sejarah.
Mau tak mau, kita perlu belajar dari sejarah. Slogan bapak pendiri Indonesia, Jasmerah, ”Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, menjadikan buku ini semakin relevan untuk dibaca.
Setelah menikmati buku ini, pembaca, sebagai bagian dari sebuah negara, akan menjadi melek terhadap ”jati diri”-nya, mengenal dunia, negerinya, dan diri sendiri. Jadi, masih perlukah mempertanyakan manfaat belajar sejarah? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?