Idealnya, keputusan pelonggaran PSBB tetap mengedepankan imlementasi regulasi kesehatan. Salah satunya adalah dengan menimbang apa yang dinamakan angka reproduksi.
Oleh
KRISHNA P PANOLIH
·4 menit baca
Keputusan sebuah negara melepas atau melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam rangka penanggulangan Covid-19 bukan hal yang mudah. Selain pertimbangan situasi ekonomi, kalkulasi keputusan itu menyangkut kesehatan bahkan nyawa manusia.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia resmi dinyatakan Presiden Joko Widodo pada 31 Maret lalu melalui Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2020, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang menjalankannya (10 April), diikuti Kota Tegal (23 April), Provinsi Jawa Tengah (24 April), Provinsi Jawa Timur (28 April), Provinsi Jawa Barat (6 Mei), dan kemudian wilayah lainnya.
Di tengah kasus jumlah penderita yang terus bertambah dan imbauan agar warga bekerja, belajar dan beraktivitas di rumah, pemerintah juga dihadapkan pada pentingnya melihat perputaran roda ekonomi. Pada 7 Mei 2020 Presiden Joko Widodo mengatakan, masyarakat tetap bisa beraktivitas walaupun secara terbatas, tetap mengedepankan disiplin pada protokol kesehatan.
Namun, pelaksanaan PSBB kemudian menunjukkan hasil berbeda di setiap wilayah. Ada daerah yang sudah memungkinkan untuk melakukan relaksasi PSBB, namun ada yang sebaliknya.
Dengan pertimbangan masih banyak kasus baru Covid-19, misalnya di DKI Jakarta, keputusan yang diambil adalah memperpanjang masa PSBB. Wilayah Ibukota, melalui Keputusan Gubernur Nomor 412 Tahun 2020 meneruskan PSBB hingga 4 Juni 2020. Menteri perhubungan juga memutuskan melarang moda transportasi darat, perkeretaapian, laut dan trasnportasi udara selama masa mudik Lebaran melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020.
Normal Baru
Setelah PSBB berjalan, diskusi pelonggaran PSBB mulai mengemuka. Presiden Jokowi menegaskan, hal ini baru sebatas rencana (Kompas, 19/5/2020). Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, menyebut upaya pelonggaran semata untuk memulihkan produktivitas masyarakat sambil memastikan penyebaran virus tetap bisa dikendalikan.
Dalam praktik, beberapa daerah juga melakukan persiapan kea rah yang sama. Sejumlah daerah mempetimbangkan tanda kelandaian penambahan kasus positif, dan untuk mengurangi dampak pemutusan hubungan kerja (PHK).
Rencana pelonggaran, yang disebut normal baru, tetap akan berjalan. Pada 26 Mei lalu, Presiden Joko Widodo meninjau persiapan penerapan normal baru di stasiun MRT (Jakarta) dan mal di Bekasi. Pihak TNI dan Polri pun diminta untuk ikut mengawal protokol kesehatan.
Harus diakui, pelaksanaan PSBB di sejumlah daerah belum efektif. Minimnya sanksi dan inkonsistensi kebijakan masih terlihat di mana-mana. Aktivitas di tempat ibadah, kantor, pabrik, mall, sampai pasar tradisional ada yang tetap berlangsung seperti biasa.
Pengalaman sejumlah negara yang lebih dulu melonggarkan PSBB atau karantina, menunjukkan risiko besar yang tetap harus diperhitungkan. Salah satu contohnya adalah Jerman.
Warga di 16 negara bagian Jerman bisa bernapas agak lega saat Kanselir Jerman Angela Merkel mengumumkan pelonggaran karantina wilayah pada 6 Mei lalu. Sejumlah toko, sekolah, hingga liga sepakbola diizinkan untuk beraktivitas kembali.
Merkel juga memberi wewenang pada tiap negara bagian untuk menerapkan ‘rem darurat’ jika ada kasus positif naik di atas 50 per 100 ribu jiwa. Sehari setelah pengumuman itu, dua negara bagian Jerman, Westphalia dan Thuringia, melaporkan penambahan kasus yang jumlahnya lebih dari 80 kasus per 100 ribu jiwa. Jerman termasuk negara ketujuh kasus positif Covid-19 terbanyak di dunia..
Berikutnya adalah Djibouti, salah satu negara yang tercatat dengan kasus positif tertinggi di Afrika Timur, juga melonggarkan karantina wilayah pada 11 Mei lalu. Dengan kasus 1.189 positif dari sekitar 1 juta penduduk, keputusan itu diambil agar warga bisa bekerja kembali. Sebelumnya, WHO sudah mengingatkan bahwa pelonggaran di Djibouti bisa menyebabkan lebih banyak lagi kematian dan kasus terinfeksi Covid-19.
Pertimbangan epidemiologis dalam penentuan kebijakan pelonggaran PSBB adalah hal mutlak. Pelonggaran bisa memicu ledakan kasus jika tak ada data pendukung yang terukur.
Data pendukung itu bisa dilihat pada angka reproduksi, atau R. Ini adalah ukuran sederhana tapi krusial, yang harus dipatuhi negara. R merupakan angka rata-rata yang menunjukkan kemampuan seseorang menginfeksi (orang lain). Campak (measles) tercatat memiliki R tertinggi yaitu 15, sedangkan virus korona sekitar 3. Menurut para ahli angka ini masih bisa berubah.
Adapun cara menghitung angka R tidak sekadar berpatokan pada kasus yang terinfeksi. Menurut ahli matematika di Imperial College London, yang harus dilakukan adalah merunutnya ke belakang.
Jumlah kasus kematian, kasus positif yang ditangani rumah sakit, kasus positif berdasarkan hasil tes, adalah beberapa cara untuk menghitung sebaran virus tersebut. Semua data ini dilihat perkembangannya dua sampai tiga minggu ke belakang, dan akan lebih sempurna lagi jika dilengkapi serangkaian tes reguler di level rumah tangga.
Dari sisi pertimbangan epidemiologis, kapan sebuah negara bisa melonggarkan karantina wilayah? Jawabannya ada pada angka satu. Angka satu dalam konteks reproduksi Covid-19 menjadi ambang batas yang menentukan. Angka R lebih dari 1 bermakna bahwa jumlah kasus Covid-19 masih berkembang dengan cepat. Jika angka R kurang dari satu, merupakan tanda penyakit akan mereda, atau setidaknya pertambahan kasusnya tidak lagi membahayakan masyarakat.
Dalam konteks pembatasan sosial, Dr Adam Kucharski dari London School of Hygiene and Tropical Medicine Inggris memberikan saran agar relaksasi dilakukan secara bertahap sembari memantau sejauh mana transmisi Covid-19 melambat. Keberhasilan menurunkan angka R hingga di bawah satu, bergantung juga pada perilaku masyarakat dan kondisi imunitas yang berkembang. Para ahli di Imperial College London juga masih menyelidiki apakah angka itu bisa berubah ketika sebuah negara memutuskan untuk menerapkan pembatasan, menjaga jarak antar individu (physical distancing) guna mengurangi risiko tertular Covid-19, atau sampai ke karantina wilayah.
Dampak Lanjutan
Ketika pemerintah suatu negara memutuskan karantina, pembatasan sosial, atau apa pun upaya pencegahan penyebaran dilonggarkan, konsekuensi sebuah pandemi kedua mungkin harus siap dihadapi.
Pengalaman India agaknya menjadi salah satu contoh baik untuk menggambarkan persoalan tersebut. Karantina wilayah di negara ini terbilang salah satu yang terbesar di dunia, karena menyebabkan pengangguran massal, krisis bahan pangan, dan eksodus besar-besaran di sejumlah kota.
Mengutip laman Washington Post edisi 27 Mei 2020, diberitakan negara ini baru saja melonggarkan pembatasan itu. Kasusnya memang berkurang tetapi kurvanya belum melandai.
India kini harus bersiap menghadapi kemungkinan lebih buruk. Jika tak ada upaya kontrol yang lebih baik (setelah pelonggaran), jumlah kasusnya diprediksi bisa mencapai satu juta pada pertengahan Juli nanti. Keadaan ini masih ditambah dengan sarana rumah sakit dan tenaga kesehatan yang masih tidak memadai.
Namun, Persoalan kepentingan akses kesehatan masyarakat yang terkena penyakit selain Covid-19 juga bisa menjadi persoalan manakala PSBB diberlakukan terlalu panjang. Karena semua sarana kesehatan diprioritaskan untuk Covid-19, banyak penanganan penyakit lainnya harus tertunda. Warga yang mengalami penyakit kronis pun terpaksa harus bertahan dalam situasi demikian.
Menanggapi kondisi suram itu, epidemiolog India Jayaprakash Muliyil hanya berkomentar, “Mengendalikan penularan berikutnya adalah mustahil”. Melihat fakta yang terjadi di Indonesia, negara berpenduduk besar seperti Indonesia, rasanya tidak berlebihan jika masyarakat tetap waspada, bersama menembus angka transmisi Covid-19 hingga di bawah satu. (LITBANG KOMPAS)