Menjaga Wilayah Kepulauan dari Pandemi
Terpisah dari daratan luas dan keterbatasan mobilitas penduduk dunia menjadi keuntungan wilayah kepulauan serta pulau-pulau kecil dalam situasi pandemi Covid-19. Wilayah pulau tersebut relatif bebas dari wabah korona.
Memiliki lokasi yang terpisah dari daratan luas dan padatnya penduduk menjadi keuntungan wilayah kepulauan serta pulau-pulau kecil dalam situasi pandemi Covid-19. Meskipun lebih aman, wilayah ini rentan akan bencana alam dan perubahan ekonomi karena terbatasnya aksesibilitas publik.
Covid-19 hampir menjangkiti seluruh wilayah di dunia. Hingga 18 Mei 2020, Covid-19 telah menjangkiti 4.782.539 jiwa di 188 negara dan wilayah. Sebanyak 317.566 orang meninggal dunia.
Namun, masih terdapat beberapa negara yang belum melaporkan adanya kasus Covid-19. Dari 13 negara yang tercatat belum melaporkan adanya kasus, 10 di antaranya merupakan negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik. Sepuluh negara tersebut adalah Kiribati, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Palau, Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu.
Wilayah kepulauan, terutama pulau-pulau kecil seperti kepulauan Pasifik, beruntung karena secara tidak langsung wilayah ini terisolasi dari daratan. Laut menjadi batas alam yang membatasi pergerakan orang sehingga pandemi dapat terhindar dari wilayah ini. Namun, hal itu butuh pembatasan wilayah serta interaksi fisik antara penduduk pulau dan orang lain di luar pulau.
Hal tersebut tergambar saat pandemi influenza (flu Spanyol) pada 1918-1919 menjangkiti dunia. Saat itu diperkirakan lebih dari 50 juta orang meninggal karena penyakit tersebut.
Meskipun jumlah kematian besar, tidak semua wilayah terjangkit penyakit itu. Beberapa catatan sejarah mengungkapkan bahwa wilayah yang sulit terjangkau, seperti pulau-pulau kecil, berhasil terhindar dari bencana ini. Keberhasilan tersebut tidak lepas juga dari keputusan membatasi lingkungan pulau dari pendatang yang berlayar.
Samoa Amerika, sebuah pulau yang terletak di bagian selatan Samudra Pasifik, menerapkan karantina bagi semua kapal yang membawa influenza dari perairannya hingga 1920. Dari pembatasan kontak penduduk dengan pendatang itu, terbukti tidak ada kematian akibat influenza pada populasi lebih dari 8.000 jiwa.
Hal serupa dilakukan di Pulau Tasmania, Australia. Seluruh awak kapal dan penumpang yang berlabuh di pantainya diharuskan melakukan isolasi selama tujuh hari. Meskipun infeksi virus masuk ke wilayah pulau, petugas medis melaporkan bahwa infeksinya ringan, tidak separah kondisi di wilayah daratan. Tingkat kematian di Tasmania tercatat menjadi salah satu yang paling rendah sedunia.
Nick Wilson, seorang profesor di bidang kesehatan masyarakat Universitas Otago, Selandia Baru, mengatakan, bagi sejumlah pulau, kondisi seperti di Samoa Amerika dan Tasmania merupakan faktor gabungan dari kesempatan, geografis yang tidak terjangkau, dan sedikitnya pengunjung pulau. Pengalaman tersebut relevan dengan kondisi sekarang bahwa keputusan untuk membatasi interaksi cukup melindungi pulau dari pandemi.
Pembatasan wilayah
Meskipun beruntung secara geografis, risiko penularan pandemi masih tetap dihadapi oleh negara-negara kepulauan, termasuk pulau-pulau kecil. Hal ini disebutkan dalam sebuah penelitian Martin Eichner dan kawan-kawan tentang kemungkinan terhindarnya negara kepulauan Samudra Pasifik dari pandemi influenza.
Menurut hasil penelitian itu, dari 17 negara kepulauan di Samudra Pasifik yang diteliti, hanya enam negara yang memiliki kemungkinan tertinggi untuk terhindar dari pandemi influenza. Hasil ini sesuai dengan permodelan berdasarkan tingkat penularan influenza rendah dan pengurangan pendatang tinggi.
Pembatasan wilayah baru sempurna efektivitasnya jika dilakukan tanpa ada pengecualian. Artinya, tidak boleh ada satu pendatang pun yang masuk ke pulau saat mulai ada tanda-tanda pandemi global.
Pembatasan wilayah dari pendatang memang dinilai berhasil bagi beberapa wilayah untuk mencegah terinfeksinya penduduk pulau dari penyakit pandemi. Namun, untuk meningkatkan kemungkinan bebas dari pandemi, upaya tersebut belum cukup. Diperlukan upaya-upaya lain, seperti pemeriksaan kesehatan, tes cepat, karantina, sampai pemberian vaksin bagi penduduk pulau.
Akan tetapi, pembatasan wilayah pulau sepenuhnya hampir tidak mungkin dilakukan. Wilayah pulau, apalagi pulau-pulau kecil, membutuhkan akses pangan dan kebutuhan lain dari wilayah lain di luar pulau.
Karena itu, menurut Wakil Ketua Bidang Perencanaan Pesisir dan Kelautan Ikatan Ahli Perencana (IAP) Sulawesi Utara Adjie Pamungkas, self embargo dapat dilakukan. Warga pulau dapat membatasi pergerakan diri sendiri atau interaksi di luar tanpa membatasi aktivitas bahari sebagai sektor perekonomian khasnya. Hal ini dapat dilakukan untuk mengurangi potensi kelaparan di tengah keterbatasan akses.
Kerentanan
Dalam menghadapi pandemi Covid-19 diperlukan penanganan khusus untuk wilayah kepulauan dan pulau-pulau kecil. Karakteristik wilayah kepulauan dan pulau-pulau kecil yang khas memiliki kerentanan tersendiri, bahkan sebelum Covid-19 melanda.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia Hendricus Andy Simarmata, dalam paparannya di diskusi bertajuk ”Tantangan Wilayah Kepulauan Menghadapi Pandemi Corona” menyebutkan, ada beberapa tipologi khas wilayah pulau-pulau kecil.
Wilayah pulau-pulau kecil dicirikan dengan luas wilayah kecil dan lokasi yang jauh terjangkau. Di wilayah ini sangat rentan akan perubahan iklim dan kejadian bencana. Selain itu, dari sektor ekonomi, wilayah ini rentan akan ancaman perubahan ekonomi, terbatasnya kapasitas produksi, dan rendahnya skala ekonomi. Dari segi fasilitas publik, sarana dan prasarana kesehatan juga terbatas.
Kekhawatiran bencana alam saat pandemi benar-benar terjadi di Vanuatu, sebuah pulau kecil di Pasifik. Topan Harold menghantam pulau ini pada 6 April 2020. Badai yang termasuk dalam kategori 5 ini menyebabkan kerusakan besar dan terparah. Setidaknya hampir 160.000 dari 300.000 penduduk terdampak. Sebanyak 80-90 persen kehilangan rumahnya.
Covid-19 menyebabkan penyaluran bantuan terganggu. Pemerintah membatasi aktivitas dan interaksi dari luar untuk mencegah masuknya Covid-19. Akibatnya, sukarelawan tidak dapat masuk ke pulau, sedangkan wilayah itu kekurangan tenaga ahli. Penyaluran bantuan dari beberapa negara, seperti Australia, Selandia Baru, dan China, juga terlambat karena harus dikarantina selama tiga hari dan didisinfeksi untuk memastikan tidak ada virus korona yang terbawa.
Terbatasnya fasilitas kesehatan memang masih menjadi masalah di wilayah kepulauan dan pulau-pulau kecil. Sebelum ada pandemi, beberapa pulau bahkan hanya mengandalkan kunjungan layanan kesehatan rutin karena terbatasnya fasilitas kesehatan. Dalam pandemi Covid-19 seperti saat ini pun, hal itu menjadi hambatan.
Bagi pulau-pulau kecil yang telah dilanda Covid-19, kendala tersebut sangat menyulitkan pasien. Pengalaman pasien Covid-19 dari empat daerah di Kepulauan Riau menggambarkan kondisi ini. Pasien dari daerah tersebut harus menempuh perjalanan laut selama berjam-jam untuk menuju rumah sakit rujukan di ibu kota provinsi.
Empat dari tujuh kabupaten/kota di wilayah tersebut tidak memiliki rumah sakit khusus perawatan pasien Covid-19. Selain itu, tidak ada kapal khusus untuk membawa pasien sehingga pemerintah harus menggunakan kapal pemerintah atau menyewa kapal swasta dengan biaya sewa sekali jalan Rp 30 juta hingga Rp 50 juta.
Selain berupaya untuk mencegah penyebaran Covid-19, wilayah kepulauan dan pulau-pulau kecil juga berhadapan dengan dampak ekonomi dari Covid-19. Sebagian besar pulau-pulau kecil didukung oleh sumber ekonomi dari perikanan dan pariwisata. Sementara dua sektor ekonomi ini terdampak Covid-19.
Di sektor perikanan tangkap, Covid-19 menyebabkan penurunan permintaan dari luar negeri 30-40 persen. Hal ini menyebabkan gudang penyimpanan penuh sehingga perusahaan harus mengurangi pasokan bahan baku. Penyerapan ikan dari nelayan pun ikut berkurang.
Baca juga: Perubahan Wajah Kota di Balik Wabah
Sementara di sektor pariwisata, dampak Covid-19 benar-benar terasa. Pembatasan wilayah dan mobilitas menyebabkan kunjungan wisatawan menurun. Akibatnya, aktivitas pariwisata berhenti dan menyebabkan kerugian. Di Bali saja, diperkirakan kerugian sektor ini akibat Covid-19 mencapai Rp 9,7 triliun.
Maka, sembari berupaya terus mencegah penyebaran Covid-19 di pulau-pulau kecil, hendaknya pandemi ini menjadi awal yang baik untuk meningkatkan kualitas kehidupan wilayah kepulauan dan pulau-pulau kecil. Penyediaan fasilitas dan tenaga kesehatan menjadi yang utama. Selain itu, perencanaan basis ekonomi lokal yang menyangga wilayah ini perlu dikelola lebih optimal. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?