Komunikasi yang efektif menjadi kunci dalam membangun kepercayaan dan kedisiplinan warga untuk mencegah meluasnya wabah.
Oleh
Eren Marsyukrilla
·4 menit baca
Upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19 tak akan berbuah manis tanpa adanya dukungan dan respons positif masyarakat. Komunikasi yang efektif menjadi kunci membangun kepercayaan dan kedisiplinan warga untuk mencegah meluasnya wabah.
Merujuk data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, memasuki bulan ketiga, penambahan kasus positif setiap hari masih cukup tinggi. Tren menunjukkan, pada awal Mei, penambahan kasus positif baru mencapai berkisar 300-400 orang per hari. Total jumlah pasien terkonfirmasi positif pun tembus lebih dari 10.000 orang.
Tantangan untuk upaya pencegahan penularan wabah justru kian sulit. Momentum bulan Ramadhan dan Idul Fitri akan membuat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) begitu berpotensi untuk dilanggar.
Menjelang waktu berbuka puasa, misalnya, lihat saja bagaimana petugas harus membubarkan kerumunan warga yang tak lagi memedulikan PSBB. Belum lagi warga yang masih bersikeras untuk melakukan ibadah berjemaah hingga nekat untuk mudik ke kampung halaman meskipun larangan telah disampaikan pemerintah.
Kendurnya kedisiplinan hingga memunculkan ketidakpedulian warga pada aturan merupakan buah dari ketidakpercayaan publik terhadap upaya pemerintah dalam menangani Covid-19. Sejauh ini tak ada hal baru yang dapat membentuk optimisime dalam penanggulangan wabah.
Sejalan dengan hal itu, ketidakpercayaan publik ini kepada pemerintah juga tergambar dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas. Sebanyak 66 persen responden menyatakan, tindakan dan antisipasi yang dilakukan pemerintah dalam penanganan Covid-19 belum efektif.
Sejak wabah belum merebak hingga awal penanganan diwarnai berbagai polemik. Terkait kewajiban menggunakan masker, komentar dari beberapa elite yang tak menganggap serius hingga buruknya sinergi antarpemerintah kian menyulitkan penanganan Covid-19.
Hingga kini bahkan inkonsistensi pemerintah dalam melaksanakan aturan juga masih terjadi. Beberapa waktu lalu, di tengah masa PSBB dan penutupan akses penerbangan, pemerintah menyatakan memberi izin bagi tenaga kerja asing untuk masuk ke wilayah Sulawesi Tenggara.
Hal lain yang juga tak kalah mengundang ketidakdisiplinan adalah adanya pemberlakuan izin mudik dengan syarat dan kepentingan mendesak.
Belajar dari beberapa negara lain, masa triwulan ini seharusnya menjadi keberhasilan dalam menangani pandemi. Sebut saja Vietnam, Singapura, dan Selandia Baru yang secara resmi telah mengumumkan kemenangan terhadap Covid-19. Keberhasilan negara-negara tersebut tentulah tak lepas dari upaya strategi penutupan wilayah (lockdown) yang dilaksanakan dengan sangat disiplin.
Salah satu cara untuk membangun kedisiplinan tersebut adalah dengan melakukan komunikasi yang efektif. Komunikasi yang apik oleh pemerintah ini akan menumbuhkan kepercayaan publik pada kerja penanganan Covid-19.
Komunikasi
Peneliti Barbara R dan Matthew W pernah menerbitkan hasil penelitiannya di Journal of Health Commnication terkait dengan crisis and emergency risk communication (CERC) atau komunikasi masa kritis dan darurat. Terdapat lima tahapan komunikasi yang dilakukan pemerintah dalam menangani masa krisis.
Tahapan komunikasi masa kritis tersebut terdiri dari sebelum krisis (pre-crisis), awal krisis (initial event), selama krisis (maintenance), resolusi (resolution) dan evaluasi (evaluation).
Pada masa sebelum krisis, hal yang harus dilakukan pemerintah dalam menanggapi masa pandemi antara lain dengan melakukan pengawasan (monitoring), mengedukasi publik, hingga menyampaikan informasi dengan spesifik. Pada masa awal kemunculan kasus Covid-19 lalu, banyak pihak menilai pemerintah tak cukup tanggap memberikan informasi.
Selain itu, edukasi publik pada masa awal pandemi juga begitu minim. Beberapa hal lainnya, seperti menyusun kajian dan membuat rekomendasi dari para ahli, juga tidak optimal dilakukan. Hal ini pula yang membuat banyak perbedaan antar-elite, bahkan pemerintah daerah, dalam penanganan pandemi Covid-19.
Masuk ke tahap kedua awal krisis, setelah kasus bertambah dengan signifikan dan menyebar ke banyak wilayah. Dalam kondisi ini, strategi komunikasi yang dilakukan pemerintah seharusnya dapat meredakan kepanikan, menunjuk juru bicara resmi, membuat desain antisipasi, hingga membentuk pusat data dan informasi.
Dalam tahap ini sebetulnya pemerintah telah berupaya dengan membentuk dan menunjuk juru bicara resmi. Lewat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, informasi dan data perkembangan wabah terus diperbarui setiap hari.
Namun, persoalan justru muncul dengan tidak selarasnya data yang diperoleh pemerintah pusat dan daerah. Di Jakarta, misalnya, data perkembangan pasien Covid-19 yang diperoleh pemerintah provinsi berbeda dengan gugus tugas. Kondisi ini tentu mengundang kebingungan publik untuk menentukan sumber data mana yang harus dipercaya.
Tahap krisis
Dilihat dari pola penyebaran wabah, kini tahap komunikasi yang harus dilakukan pemerintah memasuki masa selama krisis (maintenance). Pada tahap ini, tantangan yang dihadapi akan semakin berat dan pemerintah perlu memperbaiki komunikasi krisis pandemi.
Strategi komunikasi yang dilakukan dalam kondisi krisis ini meliputi edukasi risiko dan memberikan pemahaman latar belakang kondisi darurat hingga mengoreksi hoaks yang beredar. Selain itu, komunikasi untuk sinergi dalam upaya pemulihan serta optimalisasi pusat data dan komunikasi juga sangat perlu dilakukan.
Ke depan, komunikasi krisis pada masa pandemi Covid-19 akan memasuki tahap resolusi dan evaluasi. Pada dua tahap akhir ini, pola komunikasi yang dilakukan harus mencakup informasi upaya dan perkembangan pemulihan, edukasi publik untuk mengikuti prosedur pemulihan, hingga kampanye hal-hal positif.
Komunikasi pemerintah pada masa krisis pandemi ini begitu penting. Melalui pola komunikasi yang edukatif, kepercayaan publik pun dapat tumbuh. Dengan begitu, warga secara sadar akan patuh pada kebijakan yang diberlakukan pemerintah untuk mengatasi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)