Petani Sulut Enggan Tergantung Pada Kopra
Ikhtiar untuk menyejahterakan petani kelapa di Sulut bak pendakian curam, terutama pada masa pandemi. Namun, siapa sangka terobosan melawan pandemi saat ini, kelak bergantung kepada para petani kelapa.
Pandemi Covid-19 nyaris menghentikan putaran roda kehidupan di segala lini. Namun, ada ataupun tiada pandemi, perjuangan tak boleh terhenti, salah satunya ikhtiar melepas ketergantungan petani kelapa di Sulawesi Utara dari kopra. Sebagai gantinya, produksi minyak kelapa murni didorong demi menambah nilai tambah pada kelapa.
Covid-19 praktis mengubah keseharian Raifel Lasarus (33) dan Demsi Sadondang (50). Normalnya, dua warga Desa Jayakarsa, Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, ini bekerja di tempat pembuatan blok paving di Desa Kolongan, Kalawat.
”Tapi sudah ditutup gara-gara korona,” kata Raifel, Kamis (16/4/2020) siang, di Jayakarsa. Kehilangan pekerjaan berarti kehilangan pemasukan. Namun, pintu harapan tak seluruhnya tertutup. Keanggotaan mereka di kelompok tani Ezer Keneg’do, yang fokus di bidang pengolahan minyak kelapa murni (VCO) bermerek Moria, membukakan pintu rezeki lain.
Ezer Keneg’do, kelompok tani beranggotakan 22 orang, adalah satu dari 45 kelompok tani yang mendapatkan insentif dari Pemerintah Provinsi Sulut untuk memacu produksi minyak kelapa murni. Kelompok yang baru terbentuk pada November 2019 ini dipayungi Jemaat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Moria Kualamati di Desa Jayakarsa. Sebuah gedung unit pengolahan telah didirikan untuk mereka.
Sekarang jumlah kelapa sedang sedikit karena cuaca panas.
Siang itu, Raifel dan Demsi sibuk memecahkan batok-batok kelapa yang sudah tua dengan golok di pelataran unit pengolahan. Semua kelapa itu disediakan para anggota laki-laki. Mereka bertugas memetik kelapa dari pohon di kebun milik anggota kelompok ataupun yang bukan anggota. Namun, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan setiap hari.
”Sekarang jumlah kelapa sedang sedikit karena cuaca panas. Masa panen kelapa juga 100 hari sekali, jadi harus tetap pintar cari kerja serabutan di tempat lain,” kata Demsi. Satu per satu bongkahan daging kelapa mereka keluarkan, kemudian diberikan kepada dua anggota wanita yang bertugas mencucinya.
Baca juga : Petani Kelapa Tak Berdaulat di ”Bumi Nyiur Melambai”
Mesin parut kelapa bermesin diesel dipacu dan mulailah satu per satu bongkahan daging dimasukkan ke dalamnya. Perlahan serbuk putih parutan kelapa dihasilkan dan ditampung dalam sebuah ember. Hampir semua proses itu dikerjakan oleh lima anggota perempuan yang siang itu bekerja bersama mereka. ”Tugas kami berikutnya adalah memeras kelapa sebelum dijadikan santan,” kata Raifel.
Santan hasil perasan ditampung dalam wajan-wajan besar, kemudian ditutup dengan daun pisang dan daun kelapa hingga empat jam. Selanjutnya, para ibu akan memasak santan kental untuk mengekstraksi minyak kelapa. Ini adalah tahap terakhir pada fase pertama pembuatan minyak kelapa murni.
Merry Rampengan (53), salah satu anggota Ezer Keneg’do, mengatakan, para anggota dibagi lagi ke dalam tiga kelompok kerja berisi enam sampai tujuh orang. Dalam sehari, satu kelompok bisa mengolah ratusan batok kelapa. Sekitar 300 kelapa, misalnya, bisa menghasilkan 22 liter minyak kelapa, tergantung besar dan kecilnya buah.
Baca juga : Petani Kecewa, Harga Kopra Hampir Tak Bernilai
Setiap liter kelapa yang dihasilkan akan dihargai Rp 15.000 oleh pembina kelompok, Pendeta Derby Taroreh yang juga Ketua Jemaat GMIM Moria Kualamati. Uang biaya produksi itu pun bisa langsung dibagi kepada anggota kelompok kecil.
Bagi Merry, kegiatan dalam kelompok tani Ezer Keneg’do turut membantu menyambung kehidupan keluarganya di tengah pandemi. ”Lumayan buat bantu menambah pendapatan keluarga. Daripada cuma tunggu suami kerja di rumah, lebih baik ada kegiatan yang menguntungkan,” katanya.
Pengolahan
Minyak hasil olahan manual itu akan dimurnikan lagi dalam tiga tahap sebelum dijual seharga Rp 35.000 per liter. Pertama, memisahkan minyak dari air dan lemak di dalam mesin mikser berkapasitas 75 liter. ”Volume bersih minyak hanya berkurang 1,5-2 liter di tahap ini,” kata Pendeta Derby, pembina kelompok.
Kedua, menghilangkan kadar air yang masih tersisa sekaligus mencegah minyak berbau tengik dengan mesin vakum. Terakhir, minyak disaring dalam mesin filter agar partikel- partikel sisa dari kelapa, logam berat dari mesin sebelumnya, serta bakteri, seperti Escherichia coli, tidak lagi terkandung dalam produk akhir.
Minyak kelapa murni Moria dijual dalam kemasan plastik 0,5 liter dan 1 liter. Telah disediakan juga satu mesin dispenser minyak dan satu mesin penyegel plastik kemasan. Kelima mesin sekaligus gedung unit pengolahan diadakan oleh Dinas Perkebunan Sulut dengan dana sekitar Rp 325 juta.
Baca juga : Gudang Kopra dan Sejarah Kejayaan Donggala
”Pemprov juga memberi kami pendampingan dan pelatihan untuk memilih kelapa, memasak dan mengolah, mengemas, serta memasarkan produk,” ujar Derby. Saat ini, kapasitas produksi kelompok Ezer Keneg’do masih terbatas pada 73 liter minyak setiap minggu. Untuk sementara, penjualan masih terbatas pada kalangan pegawai Dinas Perkebunan Sulut dan secara daring lewat Facebook.
”Tapi sedang agak menurun karena Covid-19. Izin PIRT (pangan industri rumah tangga) yang sedang diurus juga terhambat gara-gara Covid-19. Jadi sementara kami pasarkan sebisa kami,” kata Derby. Dari penjualan minyak, Derby mengaku tidak mengambil untung sama sekali.
Sekitar 10 persen dari keuntungan harga jual Rp 35.000 dari setiap liter minyak akan disumbangkan kepada gereja, sementara sisanya dibagi rata kepada seluruh anggota, sekaligus untuk biaya perawatan mesin dan unit pusat pengolahan minyak yang juga milik kelompok.
Baca juga : Harga Anjlok, Petani Kopra Mendesak Pemerintah Cari Solusi
Lepas dari kopra
Kepala Dinas Perkebunan Sulut Refly Ngantung mengatakan, saat ini ada 45 unit pengolahan minyak kelapa yang telah beroperasi. Ia memproyeksikan, satu unit dapat mengolah 50 liter minyak per hari. Perkiraannya, kebutuhan buah kelapa di Sulut bisa mencapai 22.500 buah per hari.
Jika menjadi kenyataan, industri produk turunan kelapa di Sulut akan meraup keuntungan besar, terutama petani yang selama ini hanya bergantung pada kopra. Total luas lahan kelapa di Sulut mencapai 275.596 hektar dengan produksi kopra mencapai 302.329 ton.
"Harga kopra sejak 2017 naik turun, bisa Rp 3.000 per kg. Padahal, butuh enam sampai delapan kelapa untuk bikin 1 kg kopra,” kata Refly. Selain menambah nilai kelapa dan menampung tenaga kerja, konsumen pun juga diuntungkan. Sekalipun lebih mahal, minyak kelapa murni jauh lebih sehat daripada minyak goreng dari kelapa sawit yang hanya dibanderol Rp 17.500.
Minyak kelapa ini mungkin sekali dimanfaatkan untuk melawan Covid-19.
Refly mengatakan, minyak kelapa mengandung asam laurat yang memiliki sifat antiviral. Asam laurat dapat mendisintegrasi membran virus, menghambat proses perkembangan akhir virus dalam siklus replikasi, dan mencegah protein viral melekat ke membran sel inang. ”Minyak kelapa ini mungkin sekali dimanfaatkan untuk melawan Covid-19,” katanya.
Meski demikian, ada tantangan untuk mewujudkan tatanan ideal ini. Refly mengakui, kelapa di Sulut sudah dikuasai para tengkulak yang memanfaatkan sistem ijon. Oleh karena itu, ia mendorong petani dan kelompok tani memanfaatkan fasilitas kredit usaha rakyat dengan pinjaman Rp 50 juta tanpa agunan.
Ikhtiar untuk menyejahterakan petani kelapa di Sulut bak pendakian curam, terutama pada masa pandemi. Namun, siapa sangka terobosan melawan pandemi ini kelak bergantung kepada para petani kelapa.