Memahami Karakter Virus dan Penyakit Korona Covid-19
Pemahaman terhadap karakter virus korona menjadi kunci pengendalian wabah Covid-19 di tengah pandemi dan upaya pencegahan di masa-masa mendatang.
Sejak 31 Desember 2019 terjadi peningkatan kasus pneumonia yang disebabkan virus korona SARS-CoV-2. Jenis patogen baru tersebut memiliki tingkat penularan antar manusia yang tinggi. Pemahaman terhadap karakter virus korona menjadi kunci pengendalian di masa mendatang.
Penularan penyakit korona Covid-19 menjadi pandemi. Disebut pandemi salah satunya karena wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Hingga 14 Maret 2020 pukul 07.00 WIB, total kasus terkonfirmasi mencapai 144.833 kasus dengan mortalitas sekitar 3,7 persen (5.398 jiwa).
Seluruh kontinen, kecuali Greenland, telah melaporkan kasus infeksi virus korona. Saat ini ada 120 negara/kawasan dengan kasus virus korona. Di Indonesia, sejak dua kasus pertama Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020, jumlah kasusnya meningkat. Per 13 Maret 2020 terdapat 69 kasus dengan korban meninggal sebanyak 4 orang.
Virus korona memiliki pola penyebaran yang luas dan berjalan dengan cepat, melebihi SARS atau MERS. Upaya pengendalian belum mampu berjalan efektif sebab proses mengenali virus tersebut masih berjalan hingga saat ini.
Sebagai langkah awal mengenali virus melalui taksonominya, Badan kesehatan Dunia atau WHO mengumumkan nama resmi virus korona dan penyakit yang disebabkan virus tersebut. Secara resmi, nama virus korona disebut dengan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), sementara penyakit yang muncul disebut dengan Covid-19.
Nama SARS-CoV-2 dipilih karena virus tersebut secara genetik memiliki keterkaitan dengan virus yang menyebabkan wabah SARS tahun 2003. Dalam komunikasi risiko, WHO tidak memakai istilah SARS kepada publik, melainkan virus Covid-19. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi ambiguitas di tengah masyarakat.
Nama virus dan penyakit yang disebabkannya seringkali memiliki nama berbeda, seperti virus HIV yang menyebabkan AIDS. Sebagian besar masyarakat lebih mengetahui nama penyakit, dibandingkan nama virus yang menyebabkannya.
Penamaan virus didasarkan pada struktur genetiknya yang bertujuan untuk memfasilitasi pengembangan tes diagnostik, vaksin, dan obat-obatan. Ahli virologi dan komunitas ilmiah yang melakukan riset wabah virus korona dinamakan Komite Internasional tentang Taksonomi Virus (ICTV).
Sedikit berbeda dengan virus, penamaan berbeda penyakit yang disebabkan virus tertentu bertujuan untuk membahas upaya pencegahan, penyebaran, penularan penyakit, keparahan infeksi, dan pengobatannya.
Karakter virus korona
Pemahaman terhadap karakteristik patogen baru menjadi kunci pengendalian di masa mendatang. Penelitian hingga tingkat genetik dan struktural telah mengidentifikasi fitur kunci di virus korona yang terletak di bagian permukaan.
Fitur kunci permukaan virus menjelaskan mengapa patogen baru tersebut mudah menyerang sel manusia, khususnya organ-organ pernapasan. Virus korona memiliki sejenis protein yang mampu mengikat membran sel inang.
Proses pengikatan membran sel dipicu oleh rilis sejenis enzim dari sel inang yang disebut dengan furin. Sebaran furin ternyata banyak ditemukan di jaringan manusia, termasuk paru-paru, hati, dan usus kecil. Infeksi mampu meluas ke berbagai organ tubuh manusia.
Berdasarkan data dari WHO, organ pernapasan menjadi sasaran utama infeksi virus Korona. Sebanyak 87,9 persen pasien mengalami gejala demam, batuk kering (67,7 persen), dan kelelahan (28,1 persen). Penyakit paling umum setelah terinfeksi adalah pneumonia.
Tidak semua pasien mengalami pneumonia atau gangguan pernapasan akut. Setidaknya 81 persen pasien mengalami gejala ringan infeksi virus korona.
Sekitar 14 persen mengalami gejala sedang (severe cases), seperti sulit bernafas, kekurangan oksigen dalam darah, serta penurunan fungsi paru-paru. Sementara 5 persen lainnya dalam kondisi kritis.
Banyak orang belum paham gejala infeksi virus Korona yang mirip dengan penyakit flu. Kewaspadaan belum terbangun sepenuhnya di tengah masyarakat. Pola pikir yang menganggap remeh gejala infeksi menjadi ancaman makin meluasnya penyebaran virus korona.
Tak heran penyebaran virus korona mengalami percepatan hingga dua kali lipat. Berdasarkan data WHO, jumlah kasus global, selain China, naik dua kali lipat dalam waktu lima hari. Apabila ditambahkan China, durasinya menjadi lebih lama, sekitar 19 hari.
Tindakan China untuk mengisolasi banyak kota mampu menahan penyebaran virus. Durasi penggandaan kasus virus korona cukup dinamis, mempertimbangkan percepatan hasil penelitian vaksin dan tindakan preventif tiap negara.
Berbeda dengan influenza
Gejala yang ditimbulkan Covid-19 sering disamakan dengan infeksi virus influenza. Keduanya memang menyebabkan gangguan pernapasan akut, namun ada perbedaan penting antara kedua virus tersebut dan bagaimana mereka menyebar.
Setidaknya ada tiga persamaan antara Covid-19 dan influenza, yaitu pola gejala, organ terinfeksi, dan penyebaran virus. Gejala infeksi kedua virus tersebut ditunjukkan dengan gangguan pernapasan ringan hingga pneumonia. Organ yang diinfeksi bermula dari saluran pernapasan melalui mulut dan hidung, hingga mencapai paru-paru.
Media penularannya pun sama, yaitu cairan yang dikeluarkan saat batuk atau bersin, serta benda-benda di sekeliling kita. Penularan antar manusia lebih sering terjadi. Oleh sebab itu, interaksi dengan pasien positif Covid-19 atau Influenza harus dibatasi dengan ketat.
Baca juga: Virus-virus yang Menggemparkan Dunia
Meskipun secara umum kedua virus tersebut memiliki kesamaan, berdasarkan prevalensi kasus infeksi, ada delapan perbedaan di Antara kedua penyakit ini. Pertama, masa inkubasi Covid-19 lebih lama dibandingkan influenza. Sementara interval infeksi (periode munculnya kasus terinfeksi), Covid-19 lebih jarang muncul dibandingkan dengan influenza.
Namun, jika dilihat dari penularan sekunder, Covid-19 lebih banyak menularkan. Satu orang positif Covid-19 mampu menularkan minimal pada 2 orang, sementara influenza lebih sedikit dan spesifik. Kelompok usia muda lebih rentan terinfeksi influenza dibandingkan Covid-19 yang banyak ditemukan pada kelompok usia lanjut.
Perbedaan selanjutnya adalah kasus infeksi berat dan kritis yang lebih banyak terjadi karena Covid-19. Hal tersebut berpengaruh terhadap mortalitas karena Covid-19 jauh lebih tinggi dibandingkan influenza. Pengendalian infeksi influenza lebih efektif sebab telah tersedia vaksin.
Cepat menyebar
Penelitian tentang pola penyebaran Covid-19 masih terus berlanjut, termasuk tingkat keparahan penyakit setelah terinfeksi. Kajian lembaga Centers for Disease Control and Prevention menjelaskan bahwa penyebaran virus korona kebanyakan terjadi antar manusia melalui cairan yang keluar saat batuk atau bersin. Karenanya, upaya preventif perlu dilakukan dengan menjaga jarak sekitar 1-2 meter.
Cairan yang mengandung virus korona yang keluar melalui batuk atau bersin dapat menempel di bagian mulut atau hidung seseorang, kemudian terhirup saat mengambil napas dan masuk ke paru-paru.
Potensi terinfeksi tiap orang sangat dipengaruhi tingkat imunitasnya. Seseorang rentan terinfeksi saat kondisi tubuh tidak sehat atau imunitas menurun. Lingkup penyebaran virus korona melalui tiga proses, yaitu local transmission, imported cases only, dan community spread.
Proses penyebaran komunitas (community spread) menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan, sebab seseorang bisa terinfeksi dengan tanpa sadar kapan dan dimana hal tersebut terjadi. Beberapa negara yang telah mengalaminya adalah Iran, Italia, Jepang, dan Korea Selatan.
Lonjakan kasus menunjukkan ancaman pandemik menjadi sangat nyata. WHO menilai bahwa kondisi pandemik yang mungkin saja terjadi karena virus Korona, akan menjadi kasus pertama dalam sejarah yang mampu dikendalikan.
Hingga 13 Maret 2020, sebanyak 70.381 pasien atau 52 persen kasus Covid-19 dinyatakan sembuh. Bahkan di China, setidaknya 76 persen pasien telah sembuh.
Sejalan dengan upaya semua negara dan ahli virologi dalam mengendalikan virus Korona, setiap orang perlu melek informasi pola penyebaran dan metode pencegahannya. Pemerintah Indonesia perlu fokus meningkatkan kapasitas pemeriksaan guna mencegah meluasnya infeksi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?