Transportasi yang Melipat Kepadatan Jalanan
Setiap jenis sepeda memiliki penggemar. Namun, akhir-akhir ini giliran sepeda lipat (seli) yang trennya sedang naik daun.
Sepeda lipat merupakan satu dari berbagai jenis sepeda yang banyak ditemukan di jalanan. Selain sepeda lipat, ada juga sepeda gunung, sepeda balap, bicycle motocross (BMX), sepeda keranjang (city bike), sepeda hybrid, hingga sepeda listrik. Setiap jenis ini memiliki bentuk dan dimensi yang berbeda sesuai dengan peruntukannya.
Ketika dilipat, sepeda ini memiliki dimensi kecil dengan bobot yang relatif ringan. Hal ini membuat sepeda lipat (seli) cocok untuk pesepeda dengan mobilitas yang tinggi di lingkungan perkotaan.
Contohnya sepeda Polygon Urbano 3 yang memiliki dimensi terlipat 750 x 650 x 350 mm dengan bobot 14 kg. Dimensi ini tidak mutlak, ada juga seli serupa yang lebih kecil dan lebih ringan.
Saking ringkasnya, seli dapat disimpan di sela ruang kosong sempit seperti kolong meja dan kursi. Hal ini bisa menjawab persoalan kaum urban terkait ketersediaan ruang yang semakin terbatas di perkotaan.
Menurut data BPS, tahun 2019 mayoritas sebanyak 35,55 persen warga Ibu Kota hanya memiliki luas lantai rumah 20-49 meter persegi. Setelah itu disusul kurang dari 19 meter persegi oleh 22,54 persen warga.
Akhir-akhir ini seli sedang digandrungi banyak kaum urban, tak terkecuali warga Ibu Kota. Fenomena ini dapat dimanfaatkan untuk ”melipat” persoalan transportasi kota melalui kebangkitan konsep kendaraan tidak bermotor (non-motorized transport).
”Non-motorized”
Kendaraan bukan motor merupakan aspek yang penting untuk mendorong sistem transportasi yang nyaman, aman, efisien, serta terintegrasi antarmoda transportasi. Bersepeda menjadi salah satu bentuk NMT alias non-motorized transport yang populer selain berjalan kaki.
Melalui konsep ini, diharapkan dapat mengurangi kemacetan dan masalah keterbatasan kapasitas parkir. Menurut Tomtom, tahun 2019 tingkat kemacetan Jakarta menduduki peringkat ke-10 dari 416 kota di dunia. Angka ini menurun dari posisi ke-7 tahun 2018 dan posisi ke-4 tahun 2017.
Kondisi ini tidak lepas dari banyaknya pengguna transportasi pribadi. Menurut Survei Komuter BPS 2019, mayoritas komuter Jabodetabek menggunakan motor (63,3 persen), KRL (9,2 persen), dan mobil (8,8 persen).
Selain kemacetan, membeludaknya komuter pengguna kendaraan pribadi dari Bodetabek ini kemudian akan berimbas pada keterbatasan lahan parkir di Jakarta. CALSTART kembali menghitung kebutuhan parkir satu unit seli. Nyatanya, ruang parkir untuk satu mobil setara dengan ruang parkir 48 seli dalam kondisi terlipat. Artinya, jika ada lima pengguna mobil beralih ke seli, akan tersedia ruang parkir untuk 240 pengguna seli.
Meski demikian, perjalanan masih panjang hingga dapat menerapkan NMT di DKI Jakarta. Meski telah tersedia jalur sepeda hingga 87,7 kilometer, angka ini baru sebesar 1,31 persen dari total 6.681,4 kilometer jalan provinsi di Jakarta. Jalur ini pun belum sepenuhnya steril hingga nyaman dan aman bagi pesepeda. Di lapangan masih kerap terjadi pemotor atau pemobil memarkirkan kendaraannya di sejumlah jalur sepeda.
Selain itu, ruang khusus untuk sepeda di kabin armada transportasi umum komuter juga belum tersedia. Selama ini, pengguna seli biasanya memanfaatkan ruang-ruang kosong seperti pinggir pintu kereta dan ruang khusus difabel untuk memarkirkan sepedanya.
Dalam kondisi penumpang tidak ramai, hal ini tidak menjadi masalah. Namun, saat jam sibuk dan ada penumpang difabel yang menggunakan kursi roda, hal ini akan menjadi lebih merepotkan.
Meski belum maksimal, apresiasi patut diberikan untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah berupaya menyediakan sejumlah layanan pendukung bagi pesepeda. Demam seli saat ini seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk mempromosikan gaya hidup sehat berkomuter dengan konsep NMT. Namun, semua itu tidak akan terwujud tanpa adanya aksi nyata dari komuter di Jakarta dan sekitarnya.
Kenyataannya, ruang parkir untuk satu mobil setara dengan ruang parkir 48 seli dalam kondisi terlipat. Artinya, jika ada lima pengguna mobil beralih ke seli, akan tersedia ruang parkir untuk 240 pengguna seli.
Demam seli
Meski seli telah lama masuk ke pasar Indonesia, angka penjualan tertinggi terjadi dua tahun terakhir ini. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) Eko Wibowo, seli mendominasi pasaran sepeda dengan porsi 60-70 persen (Kontan, 9/12/2019).
Tingginya animo warga terhadap seli tidak lepas dari kehadiran berbagai merek seli dari harga mahal puluhan juta rupiah hingga satu jutaan rupiah. Sepeda lipat yang harganya tinggi bermerek Brompton yang menyasar pesepeda kalangan atas.
Berapa harga sepeda buatan Inggris itu? Merujuk pada situs resminya, transportasi gowes ini dibanderol mulai dari Rp 19,2 juta. Angka ini belum termasuk pajak dan ongkos kirim dari luar negeri karena belum ada distributor resminya di Indonesia.
Namun, jangan khawatir, masih ada berbagai pilihan seli alternatif dengan harga lebih murah. Contohnya, sepeda Pikes buatan Element dan Trifold buatan United di marketplace yang dihargai mulai dari Rp 5 jutaan. Tidak hanya dua produk tersebut, di pasaran juga ada berbagai pilihan seli lain yang tidak kalah bagus meski dengan harga yang lebih terjangkau.
Kondisi ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain impor sepeda ke Indonesia yang meningkat. Menurut data BPS, volume impor sepeda tahun 2016 sebesar 13,7 juta dollar AS dan tahun 2017 naik 127 persen menjadi 31,0 juta dollar AS.
Kemudian, tahun 2018 melonjak 193,2 persen menjadi 90,9 juta dollar AS. Meroketnya volume impor ini menciptakan perang harga di pasar sepeda Indonesia, termasuk sepeda jenis lipat.
Mobilitas praktis
Selain banyak pilihan seli dengan harga ”miring”, ketersediaan fasilitas pendukung bagi pesepeda turut mendorong munculnya demam ini. Contohnya, jalur sepeda baru sepanjang 63 kilometer yang ditetapkan Pemprov DKI sejak November 2019 di ruas-ruas jalan masuk kawasan ganjil genap. Sebelumnya telah ada jalur sepeda sepanjang 24,7 kilometer di sejumlah ruang jalan di Jakarta, seperti Cipinang-Pondok Kopi dan Pondok Kopi-Marunda.
Tidak hanya itu, bobot seli yang ringan juga memudahkan pesepeda membawa seli ke berbagai lokasi. Hal ini pun sudah diakomodasi oleh sejumlah penyedia layanan transportasi umum di Jakarta. PT Kereta Commuter Indonesia sejak tahun 2013 telah membuat regulasi yang memperbolehkan penumpang membawa seli di dalam kereta. PT Transjakarta menerapkan hal serupa sejak tahun 2016.
Demam ini juga turut diramaikan oleh kehadiran sejumlah komunitas, antara lain ID-Foldingbike, Jakarta Sepeda Lipat (Jakseli), Element Pikes Community (EPIC), dan Noris Owner Club (NORC). Melalui komunitas ini, kegiatan bersepeda kian marak diadakan di seputaran Jakarta.
Contohnya Night Ride Addict yang diadakan Jakseli setiap Rabu malam dengan rute yang berbeda-beda. Ada juga Monday/Wednesday/Friday Morning Ride yang dimeriahkan oleh sejumlah komunitas.
Menjadi pengumpan
Dimensi seli yang ringkas sebenarnya dapat dimanfaatkan warga sebagai kawan bermobilitas di Jakarta dan sekitarnya. Seli dapat digunakan mulai dari halaman depan rumah hingga kantor, sekolah, atau tempat tujuan lain. Apalagi hal ini telah didukung oleh regulasi yang memungkinkan seli dapat masuk ke kabin transportasi umum, seperti KRL, bus Transjakarta, dan MRT.
Seli dapat menjadi pengganti angkutan pengumpan atau feeder yang selama ini sudah disediakan Pemprov DKI. Seli mampu mengatasi kelemahan feeder yang belum dapat menjangkau jalan lingkungan dan gang-gang di perkampungan.
Hal inilah yang barangkali masih menjadi kendala 42,1 persen responden menurut jajak pendapat Kompas pada Januari 2019. Mereka mengaku tinggal di rumah tapak dengan jalan akses hanya untuk motor.
Baca juga : Sepeda, Moda Transportasi Aman dan Ramah Lingkungan
Apalagi jarak tempuh kewajaran pesepeda lipat juga cukup jauh. Terekam dari hasil survei CALSTART tahun 2011, mayoritas responden pengguna seli di California, Amerika Serikat, dapat bersepeda dengan total jarak tempuh hingga 5 mil atau 8 kilometer.
Tanpa menghiraukan perbedaan iklim dengan Jakarta, jarak itu tergolong jauh. Jika lokasi tujuan berdekatan dengan halte atau stasiun, jarak ini setara dengan jarak dari Stasiun MRT Fatmawati ke Pasar Buah Segar Cinere atau Halte TU Gas ke Grand Cakung.
Jika hal ini dapat diterapkan, konsep non-motorized transport seperti yang sudah banyak diterapkan di negara-negara maju juga dapat terwujud. Di Asia contohnya ada di kota Senzhen, China, dan di Tokyo, Jepang. (LITBANG KOMPAS)