Barisan Para Pemimpin Dunia di 2019
Tahun ini beberapa negara sukses menyelenggarakan pemilu. Namun, ada pula negara yang masih bergejolak dengan konflik saat transisi pemerintahan.
Indonesia, salah satu negeri dengan jumlah pemilih yang besar di dunia, menggelar pemilihan umum pada April 2019. Selain Indonesia, negara dengan jumlah pemilih besar yang menggelar pemilu tahun ini adalah India.
Hampir bersamaan dengan pemilihan umum (pemilu) yang digelar Indonesia pada 17 April 2019, India juga melaksanakan proses demokrasi rakyat pada 11 April 2019. Bedanya, pemilu di India berlangsung lebih lama, sekitar satu bulan.
Lamanya pemilu di India disebabkan jumlah pemilih yang besar, lebih kurang 900 juta orang. Tentu butuh persiapan panjang untuk menggelar sebuah pemilihan umum, terlebih di negara dengan jumlah pemilih yang terbilang besar.
Dibandingkan dengan Indonesia yang memiliki jumlah pemilih 192,8 juta orang, pemilih di India tercatat hampir lima kali lipatnya. Tidak hanya itu, dari segi geografis, medan yang dihadapi oleh Komisi Pemilihan India pun juga tidak mudah, yaitu mulai dari hutan lebat hingga Pegunungan Himalaya di ketinggian 15.256 kaki.
Karena menganut sistem pemerintahan Westminster (Inggris), masyarakat India hanya memilih anggota DPR mereka. Perdana menteri sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi dipilih oleh partai atau koalisi parpol di parlemen.
Pemilu tahun ini, menjadi pertaruhan bagi Partai Bharatiya Janata (BJP) dengan tokoh utamanya, Perdana Menteri Narendra Modi. Lawan utamanya adalah Partai Kongres dengan tokoh Rahul Gandhi.
Setelah melewati tahap pemungutan dan penghitungan suara yang berlangsung selama 39 hari, Partai Bharatiya Janata (BJP) berhasil memenangkan pemilu. Berdasarkan perhitungan (24/5/2019), Partai Bharatiya Janata mendulang lebih dari 303 kursi dari 542 kursi di Majelis Rendah.
Jumlah ini melampaui syarat 272 kursi untuk menjadi mayoritas. Sedangkan Partai Kongres yang dipimpin Rahul Gandhi, mendapat 52 kursi. Dengan demikian, sebagaimana Indonesia yang dimenangkan presiden petahana, kursi Perdana Menteri India juga kembali dijabat petahana, Narendra Modi.
Thailand
Pemilu di Indonesia bukan hanya satu-satunya yang terjadi di Asia Tenggara. Selain Indonesia, negara tetangga yang menggelar pemilu tahun ini adalah Thailand. Inilah untuk pertama kalinya sejak kudeta 2014, Thailand melaksanakan pemilu yang diadakan pada 23 Maret 2019.
Lima hari sesudah hari pemilihan, Komisi Pemilihan Umum Thailand mengumumkan partai pendukung junta militer Thailand, Palang Pracharat, menjadi partai pemenang.
Koalisi Partai Palang Pracharat bersama 18 partai lain mengusulkan Prayuth Chan- ocha. sebagai calon Perdana Menteri. Dalam sidang parlemen Thailand, Prayuth terpilih sebagai perdana menteri setelah mendapat dukungan mayoritas, 500 suara anggota parlemen.
Eropa
Belahan benua Eropa juga menggelar pemilu, seperti Ukraina dan Inggris. Pemilu Ukraina yang dilaksanakan pada April 2019 diwarnai kejutan. Bintang serial komedi televisi, Volodymyr Zelenskiy memenangkan pemilihan dan menjadi Presiden Ukraina. Ia mengalahkan petahana Petro Poroshenko dengan perolehan suara mencapai 73 persen.
Zelenskiy tidak memiliki pengalaman politik. Kariernya selama ini terutama fokus sebagai aktor dan sutradara. Ia juga mengelola bisnisnya di bidang hiburan. Publik Ukraina menegnal Zelenskiy adalah aktor yang memerankan sosok presiden dalam serial televisi yang populer di negara itu, Servant of the People.
Tingginya dukungan kepada Zelenskiy dihubungkan dengan jawaban ketidakpuasan warga Ukraina kepada pemerintahan Poroshenko atas praktik korupsi di birokrasi, buruknya kinerja ekonomi, dan isu keamanan terkait pemberontakan di wilayah Crimea.
Kejutan politik lain di Eropa adalah terpilihnya Boris Johnson sebagai Perdana Menteri Inggris pada Juli 2019. Mantan Wali Kota London dan Menteri Luar Negeri Inggris ini menggantikan Theresa May.
Pergantian pemerintahan di Inggris tidak dapat dilepaskan dari peliknya persoalan British Exit atau Brexit. Lamanya persoalan yang berawal dari keinginan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa tersebut sudah dibahas di Inggris sejak 2016 hingga saat ini.
Sepanjang itu pula, Brexit juga telah menjatuhkan dua perdana menteri Inggris. Pertama, David Cameron yang mengundurkan diri pada 2016 pasca referendum rakyat Inggris yang memenangkan Brexit. Kedua, Theresa May yang dianggap gagal memuaskan pendapat Parlemen Inggris terkait perjanjian kesepakatan antara Inggris dengan Uni Eropa.
Sebelumnya, tiga kali Theresa May harus mengalami penolakan dari parlemen. Proposal yang berhasil disepakati dengan Uni Eropa ditolak parlemen. Setelah diganti oleh Boris Johnson pun, penolakan parlemen terhadap proposal Brexit pemerintah masih saja terjadi.
Perdana Menteri Boris Johnson mengajukan percepatan pemilu dari jadwal tahun 2022 menjadi 12 Desember 2019. Langkah tersebut diharapkan dapat mengubah tatanan di parlemen agar lebih bulat dalam mendukung pemerintah. Ini karena parlemen tidak sepenuhnya dikuasai oleh partai pendukung pemerintahan, Partai Konservatif.
Hasil pemilu Inggris yang diadakan 12 Desember 2019 lalu mengantar Partai Konservatif meraih 364 dari 650 kursi parlemen. Kemenangan Partai Konservatif membuka peluang besar berlanjutnya Brexit, dengan tenggat batas waktu 31 Januari 2020.
Transisi
Tidak semua pergantian pemerintahan pada tahun ini berlangsung mulus. Di beberapa negara, bergantinya pucuk pimpinan pemerintahan diwarnai konflik, seperti di Aljazair dan Sudan.
Rakyat Aljazair sejak awal Maret 2019 menggelar unjuk rasa besar-besaran di sejumlah kota menolak pencalonan kembali Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika untuk periode kelima. Akhirnya, Presiden Abdelaziz Bouteflika yang berkuasa sekitar 20 tahun di Aljazair mengundurkan diri pada 2 April 2019.
Mundurnya Bouteflika tidak membuat kemelut politik berhenti. Massa pengunjuk rasa dan militer berbeda sikap terkait masa transisi. Pengunjuk rasa menghendaki pembentukan pemerintahan transisi dewan presidensial yang berisikan tokoh-tokoh independen yang sama sekali tidak ada kaitan dengan Bouteflika. Namun, tuntutan massa di era transisi ditolak militer Aljazair. Militer memegang koridor konstitusi nomor 102 melalui jalur dewan konstitusi.
Jalur konstitusi ini yang menjadi pilihan transisi. Parlemen Aljazair kemudian mengesahkan keputusan dewan konstitusi itu dan ketua parlemen menjabat presiden sementara selama 90 hari. Dalam kurun waktu 90 hari itu, digelar pilpres dan ketua parlemen dilarang ikut mencalonkan diri dalam pilpres tersebut.
Pemilihan presiden akhirnya berhasil digelar 12 Desember 2019 lalu. Hasil pemilu yang dimenangkan mantan Perdana Menteri Abdelmadjid Tebboune disambut unjuk rasa massa. Mereka menganggap Tebboune bagian dari loyalis Bouteflika.
Sudan
Sebagaimana Aljazair, kemelut pergantian kekuasaan juga terjadi di Sudan. Presiden Sudan Omar al-Bashir yang Bashir sudah berkuasa sejak 1989 menghadapi tuntutan pengunduran diri oleh rakyat Sudan. Unjuk rasa di Sudan sudah berlangsung sejak 19 Desember 2018, dipicu krisis kelangkaan bahan kebutuhan pokok.
Militer Sudan kemudian mengambil alih kekuasaan dengan memaksa Presiden Sudan Omar al-Bashir mengundurkan diri pada April 2019. Militer juga sekaligus memimpin pemerintahan transisi di Sudan. Keputusan militer ditolak massa yang menuntut kekuasaan masa transisi segera diserahkan kepada sipil.
Setelah tiga bulan dirundung kemelut politik, pada Juli 2019 tokoh prodemokrasi di Sudan akhirnya menerima kesepakatan pembagian kekuasaan dengan dewan militer.
Dewan Transisi Militer dan Koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) menyepakati deklarasi konstitusi.
Isinya, masa transisi ditetapkan selama 39 bulan serta struktur pemerintahan transisi yang terdiri dari dewan kedaulatan, dewan eksekutif, dan dewan legislatif. Pada akhir periode transisi akan digelar pemilihan umum.
Bergejolak
Gejolak politik juga terjadi di Venezuela dan Bolivia. Presiden Venezuela Nicolas Maduro yang memulai periode kedua jabatannya (2019-2025) menghadapi unjuk rasa massa akibat kriris ekonomi dan krisis kepercayaan.
Puncaknya, massa dan oposisi bersatu padu menyerukan protes menolak pengangkatan kembali Nicolas Maduro. Tokoh oposisi muda Juan Guaido kemudian mendeklarasikan diri sebagai pejabat presiden menggantikan Maduro pada 23 Januari 2019
Runyam politik Venezuela bertambah setelah Amerika Serikat dan negara-negara Barat serta sebagian negara di Amerika Latin langsung mendukung kepemimpinan Guaido. Di sisi lain, Rusia dan Turki memberikan dukungan kepada Maduro.
Upaya perdamaian kedua belah pihak digelar melalui perundingan, seperti yang dimediasi Norwegia. Pada Mei 2019 dan Agustus 2019, perwakilan pemerintah dan oposisi berunding di Oslo, Norwegia namun belum menghasilkan kesepakatan berarti.
Konflik lain juga terjadi di Bolivia. Evo Morales mengundurkan diri sebagai Presiden Bolivia pada 10 November 2019. Walau terpilih sebagai presiden pada Pemilu Oktober 2019, gelombang unjuk rasa menentang hasil pemilu. Morales dituduh telah mengintervensi dan melakukan kecurangan pada proses penghitungan suara pemilu tersebut.
Munculnya gejolak politik merupakan bagian dari dinamika politik pemilihan. Namun, berlarut-larutnya gejolak hingga menimbulkan krisis berkepanjangan saat pergantian pemerintahan berpotensi merugikan kepentingan rakyat. Menjaga kedaulatan rakyat dengan nilai-nilai demokrasi harus menjadi komitmen semua elemen masyarakat dimanapun berada.
Belajar dari krisis politik yang masih menimpa beberapa negara, satu tahap demokrasi telah dilalui bangsa Indonesia. Era reformasi 1998 membawa kembalinya kedaulatan bangsa dari otoritarianisme dengan pembatasan jabatan presiden, pemilihan langsung baik legislatif, kepala daerah, dan presiden, serta regulasi yang menjamin kebebasan sipil dan pers. Utamanya saat ini dan nanti, capaian itu harus diiringi kesadaran untuk terus menjaga amanat reformasi dan nilai-nilai demokrasi. (Litbang Kompas)