Ekonomi Kreatif Memerdekakan Pengangguran?
Hampir tiga perempat abad kemerdekaan, Indonesia terus berhadapan dengan medan peperangan pembangunan manusia. Tumbuhnya sektor ekonomi kreatif diikuti pengangguran terdidik yang terus bertambah, menjadi ironi di era revolusi industri keempat saat ini,
Tidak sedikit pekerjaan konvensional yang kini tumbang, digantikan oleh teknologi digital. Era digital membuka cakrawala bidang-bidang pekerjaan baru.
Bidang usaha baru yang dipicu oleh teknologi digital muncul dari ide atau gagasan “out of the box” dari para penggagasnya. Ide yang diwujudkan dengan kreatifitas menjadi produk yang bernilai jual dan dapat dipasarkan.
Sektor ekonomi yang digerakkan oleh ide-ide kreatif serta dorongan kecanggihan teknologi digital menjadikan ladang baru bernama industri kreatif. Industri kreatif digadang-gadang mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi yang baik tentu segaris dengan peluang karir bagi para pemuda.
Harapan itu bukan isapan jempol belaka. Tengok saja kontribusi ekonomi kreatif dalam perekonomian sepanjang tahun 2010-2016. Nilai ekspor ekonomi kreatif pun terus merangkak naik sepanjang kurun waktu yang sama.
Pertumbuhan ini disambut oleh pemerintah dengan kebijakan dan strategi pengembangan ekonomi kreatif. Mengacu pada analisis Kementerian Perekonomian RI, ada lima poin penting yang menjadi peluang untuk pengembangan ekonomi kreatif Indonesia.
Pertama, bonus demografi hingga tahun 2030. Diproyeksikan pada 2030 jumlah penduduk usia produktif lebih dari 60 persen, sebesar 27 persen di antaranya adalah pemuda dengan usia 16 sampai 30 tahun. Penduduk muda berpotensi menjadi creative class.
Poin kedua yang menjadi peluang adalah, berkembangnya gaya hidup digital dalam skala global. Dalam ruang lingkup nasional, internet sebagai tulang punggung era digital sudah dapat dinikmati hingga lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Semakin luas jangkauan internet, maka semakin luas terbuka peluang perkembangan ekonomi kreatif.
Hal berikut yang mendukung peluang pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia adalah meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah. Sepuluh tahun ke depan, diperkirakan 135 juta penduduk Indonesia berpenghasilan bersih di atas 3.600 Dollar AS per tahun. Kelompok ini menjadi pasar potensial bagi produk industri kreatif.
Adapun poin keempat, permintaan produk kreatif juga terus meningkat, baik secara ansional maupun skala global. Peningkatan permintaan pasar global utamanya pada produk media digital atau content industry. Akhirnya, potensi kekayaan alam dan budaya juga menjadi kekuatan besar yang memperkuat peluang tumbuhnya ekonomi kreatif. Contohnya, kekayaan seni budaya, cagar budaya dan obyek alam bisa diolah menjadi ekonomi kreatif dalam sektor wisata.
Pengembangan ekonomi kreatif konsisten mendapatkan perhatian besar. Tahun lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres No 142 tahun 2018 tentang Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kreatif 2018-2025. Hal ini dapat menjadi cerminan keseriusan pemerintah menggenjot sektor ekonomi baru ini.
Baca juga: Indonesia “Mengekspansi” Dunia Melalui Aplikasi
Ironi Pengangguran
Ekonomi kreatif sejatinya sejalan dengan salah satu prinsip ekonomi Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan tentang kemandirian. Mandiri diartikan sebagai kondisi tidak bergantung pada pihak lain.
Tingkat kemandirian terkecil juga tecermin di tingkat individu. Dalam lingkup perekonomian, kemandirian juga dipandang dari status angkatan kerja, apakah bekerja atau menganggur. Sementara, urusan pembangunan ekonomi dalam konteks peluang kerja dan sumber daya manusia masih menjadi retorika para elite negara hingga sekarang.
Persoalan pengangguran masih menjadi problem menahun. Lantas, bagaimana lanskap pengangguran di Indonesia? Survei Angkatan Kerja Nasional oleh BPS mengungkap, terdapat 7 juta angkatan kerja dalam kondisi menganggur hingga Agustus 2018. Jumlah penganggur terbanyak dari tamatan SMA, disusul SMK, SMP, SD, universitas dan diploma.
Sampai di situ, profil pengangguran menurut pendidikan agaknya menunjukkan kondisi yang lazim terjadi. Kendati demikian, menarik jika melihat lagi kondisi pengangguran yang lebih detil. Apabila ditilik dari proporsinya, lulusan SMK-lah yang paling besar penganggurnya.
Sebanyak lebih kurang 11 persen tamatan SMK belum bekerja pada periode Agustus 2018. Hal ini menunjukkan kondisi bertolak belakang dari tujuan diselenggarakan SMK, yakni siap kerja. Pengangguran memiliki pendidikan keterampilan, banyak yang tidak bekerja.
Fakta pengangguran menjadi semakin menarik jika melihat kondisi serupa yang juga terjadi pada angkatan kerja yang bermodal pendidikan tinggi. Ditilik dari pergerakan angkanya, penganggur lulusan SMK dalam kondisi stagnan, belum bergeser dari angka 11,24 persen. Penganggur tingkat pendidikan SD dan SMP menurun. Namun pada level akademi atau diploma serta universitas justru meningkat.
Melalui data tersebut, dapat kita tarik gambaran profil pengangguran Indonesia. Pengangguran Indonesia dapat dikatakan penganggur yang terdidik. Penganggur terdidik dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki pendidikan keterampilan tingkat menengah atas dan mereka yang memiliki modal pendidikan tinggi. Tersirat, fenomena ini menujukkan bahwa membaiknya pendidikan tidak serta merta mengurangi angka pengangguran.
Memahami Potensi
Lantas, hal apa yang bisa menjelaskan di balik fenomena banyaknya pengangguran terdidik di tengah tumbuhnya ekonomi kreatif? Penelitian Nikmah Sari Nur Isnaini dan Rini Lestari dari Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2016 menyimpulkan, penyebab para sarjana menganggur disebabkan sejumlah faktor.
Lembaga pendidikan tinggi, dipandang belum optimal mengembangkan aspek kepribadian, sikap profesional, serta sikap memasyarakat pada diri mahasiswa. Persoalan lain, kurangnya soft skill atau keterampilan di luar bidang studi menjadi kendala bagi para lulusan baru. Selain itu juga, minimnya kemampuan komunikasi interpersonal menghambat sarjana mendapat pekerjaan.
Semua persoalan yang mengemuka di kalangan lulusan sarjana, bermuara pada persoalan lain mendasar yang vital dicermati. Persoalan itu adalah, tipisnya kemampuan peserta didik di level universitas dalam mengenal potensi diri.
Persoalannya ada pada tahapan memilih jalur atau jurusan pendidikan yang akan ditempuh. Para peserta didik di level universitas belum mampu memetakan diri dan kurang mendapat bimbingan dalam mengenal diri sehingga timbul keluhan salah jurusan.
Semua persoalan yang mengemuka di kalangan lulusan sarjana, bermuara pada persoalan lain mendasar yang vital dicermati. Persoalan itu adalah, tipisnya kemampuan peserta didik di level universitas dalam mengenal potensi diri.
Triple Helix
Pemerintah juga menyadari adanya gap antara lulusan pendidikan formal dengan kriteria karyawan yang didambakan perusahaan. Pemerintah juga sedang menggalakkan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan vokasi. Pendidikan vokasi semangatnya serupa dengan SMK, yakni mendidik SDM (sumber daya manusia) terampil. Berbeda dengan sarjana yang berada di wilayah akademisi bukan praktisi.
Hanya saja, peluang tidak akan dapat terasa manfaatnya jika tidak dikelola dengan baik. Terdapat empat pihak yang harus berkolaborasi untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Pihak yang berkolaborasi antara lain pemerintah, intelektual, pelaku bisnis, serta komunitas kreatif.
Baca juga: Sejarah-Budaya Nusantara Mendunia dalam Balutan Teknologi
Masing-masing memiliki peran yang saling mendukung. Pemerintah bertindak sebagai pembuat kebijakan serta memberi fasilitas dan kemudahan ekonomi kreatif. Intelektual dalam hal ini termasuk pengangguran terdidik berperan sebagai SDM (sumber daya manusia) kreatif, mengembangkan dan menularkan pengetahuan, serta mengapresiasi hasil kreatifitas.
Komunitas kreatif belaku sebagai wadah pengetahuan proses kreatif, jejaring kreatif, serta wadah kegiatan eksplorasi keratif. Pelaku bisnis menyumbangkan penciptaan pasar, barang dan jasa kreatif. Selain itu juga melakukan penelitian dan pengembangan serta menginisiasi komunitas wirausaha kreatif.
Sinergi antar pihak untuk mengembangkan ekonomi kreatif, menuntut kerjasama Triple Helix. Adapun Triple Helix merupakan konsep kerja sama antara akademisi, pelaku usaha dan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian nasional. Sinergi empat pihak (pemerintah, akademisi, pelaku usaha dan komunitas) yang dipaparkan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian RI sejalan pula dengan model triple helix ini.
Bagaimanapun, dunia pendidikan tinggi berhadapan dengan janji untuk menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi. Tiga hal yang wajib diwujudkan dunia pendidikan tinggi antara lain pendidikan, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat.
Ilmu-ilmu yang didapatkan oleh para kaum terdidik idealnya tersalurkan dengan cara-cara yang relevan dengan situasi kini yang menuntut kreatifitas secara praktis. Pada titik inilah, sumber daya berpendidikan tinggi dapat mengisi kemerdekaan, sekaligus merdeka dari problem menganggur. (Litbang Kompas)