Kematian Bumi Akibat Plastik
Setelah lebih dari satu setengah abad mendukung kehidupan manusia, plastik menjadi barang yang harus dibatasi karena merusak habitat bumi. Sejauh Indonesia dan dunia menyikapi kerugian yang muncul akibat sampah plastik ini?
Setiap orang pasti mengenal plastik. Material itu melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari. Plastik banyak digunakan karena sejumlah kelebihan yang ia miliki. Contohnya plastik pada alat patri. Berkat plastik, orang tidak perlu takut tersengat panas atau terkena sengatan listrik pada saat menggunakan alat patri.
Begitu juga plastik pada kemasan makanan yang dijual di pasar maupun supermarket. Selain praktis dan tahan air, kemasan plastik dapat menjaga kualitas makanan tetap baik ketika akan disantap konsumen. Namun, penggunaan plastik secara masif kini berbalik menjadi ancaman bagi lingkungan hidup.
Bagaimana Plastik Mendunia?
Plastik telah melalui banyak inovasi sejak pertama kali ditemukan. Menengok sejarahnya, Alexander Parkes memperkenalkan plastik untuk pertama kali di tahun 1862 di The Great International Exhibition di London, Inggris. Parkes memamerkan berbagai produk peralatan mandi dan perkakas rumah tangga yang menyerupai kulit penyu dan gading gajah.
Kala itu bahan yang digunakan merupakan selulosa nitrat dari bahan organik dan diberi nama Parkesine. Bahkan empat tahun kemudian Parkes merintis perusahaan manufaktur plastik. Namun tidak lama berselang bangkrut karena tidak bisa mengontrol kualitas produk yang ternyata mudah rapuh.
Penggunaan plastik kian populer ketika George Eastman Kodak berhasil menemukan selulosa nitrat untuk membuat film fotografi tahun 1888. Penemuannya ini berhasil mengantarkan George bersama Henry Strong mendirikan perusahaan Eastman Kodak di tahun 1892.
Perusahaan ini merupakan satu dari banyak perusahaan yang memproduksi film foto dan kamera. Kala itu keberadaan film terus berkembang seiring berjayanya dunia fotografi analog hingga tahun 2000-an.
Plastik juga menjadi bahan penting dalam dunia musik yaitu sejak maraknya rekaman pada piringan hitam berkecepatan 78 putaran per menit (rpm). Setiap sisi piringan dapat merekam suara antara tiga hingga lima menit tergantung diameter piringan.
Ada dua jenis ukuran piringan yaitu 12 inci dan 10 inci. Material yang digunakan untuk membuat piringan ini beragam, namun umumnya menggunakan material lak. Lak merupakan perekat keras dari getah pohon damar yang berwarna merah atau hitam.
Penggunaan plastik semakin meledak mulai tahun 1970an. Ditandai dengan mulai dikenalkan tas plastik sebagai kemasan makanan di Amerika Serikat. Kemudian berlanjut tahun 1977 ketika tas plastik belajaan ditawarkan di industri supermarket sebagai alternatif pengganti kantong kertas. Pada tahun yang sama, juga dikenalkan botol minuman plastik berbahan polyethylene terephthalate (PET). Masa itu menjadi tonggak dimulainya penggunaan tas/kemasan berbahan plastik sekali pakai.
Penggunaan plastik kian populer ketika George Eastman Kodak berhasil menemukan selulosa nitrat untuk membuat film fotografi tahun 1888.
Dunia Dipenuhi Plastik
Hingga kini masifnya penggunaan plastik menjadi masalah serius. Sebab belum semua negara mampu mengelola limbah plastiknya dengan baik. Tahun 2010, Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia mengkalkulasi jumlah sampah yang dihasilkan di 192 negara.
Dalam satu hari produksi sampah plastik di seluruh dunia mencapai rata-rata 272.676 ton. Amerika Serikat (AS) menduduki peringkat pertama negara dengan penghasil sampah plastik terbanyak yaitu sebanyak 37.729,4 ton/hari. Kemudian disusul China 31.665,4 ton/hari dan Jepang 19.605,6 ton/hari.
Tersisa 87.302 ton atau 32 persen sampah plastik salah urus di dunia tiap harinya. China menduduki peringkat pertama dengan menyisakan 24.163,6 ton atau 76,3 persen dari total produksi sampah plastik mereka tiap hari. Peringkat kedua Indonesia sebanyak 8.813,3 ton/hari (82,7 persen) dan ketiga Filipina 5.160,7 ton/hari (82,7 persen).
Sementara itu, AS termasuk negara yang mampu mengolah sampahnya dengan sangat baik. Walau merupakan negara produksi sampah plastik terbanyak, AS menduduki peringkat ke-20 dan hanya menyisakan sampah plastik 754,6 ton/hari (2 persen).
Dampak Kerugian Plastik
Jumlah sampah plastik yang tidak terkendali dapat menyebabkan dampak buruk. Bahkan organisasi pemerhati lingkungan, Greenpeace, menyebutkan plastik berpotensi merusak planet ini. Sebab, dampaknya dimulai sejak plastik itu diproduksi melalui ekstraksi bahan bakar fosil.
Plastik juga menimbulkan problem kesehatan karena pembakaran plastik meracuni lingkungan. Dampak limbah plastik yang terlepas di lautan juga turut andil merusak kehidupan habitat laut.
Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2014, tiap tahunnya diperkirakan 10 hingga 20 juta ton plastik terbuang ke laut. Kondisi ini menyebabkan kerugian hingga 13 miliar Dollar AS/tahun atau sekitar Rp 184,6 ribu triliun/tahun hanya untuk kerusakan lingkungan pada ekosistem laut. Termasuk di dalamnya kerugian finansial di sektor perikanan, pariwisata, dan waktu untuk membersihkan pantai.
Laut merupakan bagian penting dalam ekonomi global sebagai penyedia makanan dan sumber penghasilan jutaan orang. Cepatnya pertumbuhan populasi dunia, disusul meningkatnya pula produksi sampah yang jauh lebih cepat daripada upaya pencegahan kerusakan lingkungan. Kian banyak sampah yang diproduksi, kian banyak pula jumlah sampah di laut. Dan salah satu yang mendominasi sampah di laut adalah sampah jenis plastik.
Ketika sampah plastik berada di laut, komponen plastik tidak hilang dan baru dapat terurai dalam waktu 5-10 abad. Sebelum terurai, plastik berubah menjadi serpihan dan hancur menjadi potongan kecil atau sering disebut mikroplastik.
Mikroplastik ini seperti polutan organik yang secara persisten dapat ditransfer ke dalam rantai makanan setelah dikonsumsi organisme laut. Contohnya paus yang terdampar di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara akhir 2018 ini. Ketika perutnya dibedah, ditemukan sampah plastik hingga sekitar 5,9 kg.
Selain kerusakan ekosistem laut, kerugian cukup signifikan justru muncul di hulu. Mulai dari emisi gas rumah kaca akibat proses produksi bahan baku plastik. Juga sampah yang langsung dikirim ke tempat pembuangan akhir, tanpa sempat didaur ulang sehingga potensi sumber daya berharganya hilang. Diperkirakan total biaya konservasi alam untuk plastik di industri barang konsumsi mencapai lebih dari 75 miliar Dollar AS/tahun atau sekitar Rp 1.065 triliun.
Mengurangi Sampah Plastik
Upaya pengendalian limbah plastik sudah dilakukan sejumlah negara. Contohnya Australia yang berkomitmen mengurangi penggunaan plastik sejak tahun 2002. Sejumlah upaya dilakukan seperti penyediaan tas caloco berbahan katun di banyak supermarket dan gerai ritel seharga satu Dollar Australia per kantong.
Sementara di Eropa hal serupa juga sudah dilakukan. Seperti pajak tas plastik yang telah diberlakukan di Republik Irlandia sejak tahun 2002. Melalui upaya pajak 0,15 Euro atau sekitar Rp 2.450 per kantong itu, negara ini dapat menekan penggunaan kantong plastik hingga 90 persen.
Upaya ini juga sudah muncul di Asia. Contohnya Hongkong yang sejak tahun 2015 mengharuskan semua pengecer untuk membebankan pelanggan 50 sen Dollar Hongkong atau sekitar Rp 900 per kantong plastik. Begitu juga Kamboja yang baru saja April 2018 ini menerapkan 400 Riel atau sekitar Rp 1.400 per kantong.
Sementara Indonesia juga pernah menerapkan hal serupa melalui program ujicoba pada 21 Februari hingga 5 Juni 2016 di 22 kota dengan harga Rp 200 per kantong. Namun uji coba ini tidak berlanjut karena persoalan payung hukum yang belum terselesaikan pemerintah.
Penggalakan program kantong plastik berbayar di sejumlah negara merupakan langkah awal yang sangat bagus. Walau demikian, upaya lebih besar yang mencakup skala global masih diperlukan. Contohnya larangan pembuangan wadah plastik.
Karena selain sampah kantong plastik, masih banyak kemasan plastik yang juga terbuang seperti botol air mineral, gelas plastik, bungkus makanan ringan, hingga kemasan styrofoam. Bahkan kemasan jenis styrofoam ini membutuhkan waktu lebih lama untuk terurai daripada plastik.
Kehadiran plastik telah membantu banyak aktivitas manusia di seluruh dunia, sekaligus ketergantungan yang kian tidak terkendali. Penggunaan plastik tanpa kesadaran ekologis dapat berakhir dengan bencana. Bencana yang tidak hanya akan merugikan manusia, namun bisa mematikan habitat hidup semua makhluk di muka bumi. (Albertus Krisna/Litbang Kompas)