Jalan Brexit Masih Sulit
Inggris memiliki sejarah panjang keanggotan di Uni Eropa, dengan mulai bergabung pada 1 Januari 1973. Meski bukan anggota gelombang perdana dan pendiri Uni Eropa, masuknya Inggris bersama Denmark dan Irlandia masih di tahap awal gerbong anggota Uni Eropa. Saat Inggris bergabung, jumlah anggota Uni Eropa menjadi sembilan negara.
Tercatat sudah 43 tahun Inggris menjadi bagian dari Uni Eropa jika dihitung hingga Brexit atau berpisahnya Inggris dari Uni Eropa melalui referendum 2016. Uni Eropa mulanya hanya berawal dari custom union Benelux (beranggotakan Belgia, Belanda, dan Luksemburg) pada 1948.
Kerja sama tiga negara kemudian diperluas dengan masuknya Jerman, Italia, dan Perancis. Tujuan pembentukannya adalah mengakhiri perang antarnegara tetangga di Eropa yang memuncak pada Perang Dunia II.
Enam negara tersebut kemudian sepakat membentuk European Economic Community (EEC) pada 25 Maret 1957 melalui Traktat Roma. Masyarakat Ekonomi Eropa yang biasa disebut dengan Uni Eropa merupakan aliansi ekonomi yang bertujuan menggalang perdagangan dan kerja sama di antara anggotanya.
Keanggotaan diperluas mencakup Inggris, Irlandia, dan Denmark pada 1973, kemudian Yunani pada 1984, disusul Spanyol dan Portugal pada 1986, serta Austria, Swedia, dan Finlandia pada 1994. Uni Eropa bermarkas di Brussels, Belgia, dengan Komisi Masyarakat Eropa sebagai badan eksekutif tertingginya.
Laman Uni Eropa merekam beberapa momen bersejarah yang dilalui Inggris dalam kemajuan kerja sama antarnegara Eropa tersebut. Pada 1979, Uni Eropa memiliki sistem moneter Eropa guna stabilisasi nilai tukar. Kerja sama antarnegara Eropa tersebut semakin intens ditandai dengan pembentukan pasar tunggal jasa dan produk pada 1993.
Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan peluncuran mata uang tunggal Eropa pada 1 Januari 1999. Bank Sentral Eropa mengambil alih pengelolaan kebijakan moneter dari euro. Mata uang tunggal diberlakukan mulai 1 Juli 2002. Dengan demikian, euro menjadi satu-satunya mata uang resmi di Uni Eropa.
Enam puluh tahun sejak berdiri, capaian integrasi Eropa menunjukkan perkembangan pesat. Sampai saat ini keanggotaan Uni Eropa sudah meluas menjadi 28 negara, dengan Kroasia sebagai negara terakhir yang bergabung sejak 2013.
Bersama Uni Eropa, Inggris menjadi salah satu pilar ekonomi Eropa karena saat ini menempati urutan kelima ekonomi terkuat di dunia. Produk domestik bruto (PDB) Inggris 2,8 triliun dollar AS pada 2015. Ekspor Inggris ke Uni Eropa mencapai 44 persen dan impor Uni Eropa dari Inggris sebesar 53 persen.
Kebersamaan Inggris dan Uni Eropa perlahan-lahan berakhir. Hasil referendum Inggris pada 23 Juni 2016 memutuskan Inggris keluar dari Uni Eropa atau biasa dikenal dengan istilah British Exit (Brexit).
Argumentasi kubu pro Brexit menegaskan sudah waktunya Inggris merebut kembali kedaulatannya, mengatur urusan rumah tangganya sendiri, memproteksi kekayaannya, dan mengontrol perbatasannya tanpa intervensi Brussels.
Juga muncul harapan terbukanya lapangan kerja buat warga Inggris yang selama ini diisi 4,66 juta pekerja asing. Dengan Brexit, pekerja imigran bisa berkurang drastis.
Namun, Inggris baru akan benar-benar keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019. Jangka waktu tersebut merupakan ketentuan artikel 50 hukum Uni Eropa tentang tata cara keluar dari Uni Eropa.
Negara anggota Uni Eropa yang akan keluar dari Uni Eropa, pascapengajuan proposal, diberi waktu dua tahun untuk mencapai kata sepakat apabila disetujui oleh setiap pihak.
Hari-hari ini, pemerintah Inggris di bawah Perdana Menteri Theresa May masih bergulat membicarakan kesepakatan perpisahan dengan Uni Eropa. Negosiasi permulaan membahas tiga hal utama.
Pertama, menyangkut status ekspatriat setelah Brexit. Kedua, persetujuan tentang sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh Inggris kepada Uni Eropa sebagai ”biaya cerai” dan ketiga menyangkut wilayah perbatasan Irlandia Utara.
Secara umum, ketiga persoalan tersebut telah menemukan titik terang. Pemerintahan May dan Uni Eropa menyetujui bahwa hak warga negara Uni Eropa di Inggris dan warga Inggris di Uni Eropa untuk hidup, bekerja, dan belajar akan tetap dilindungi dan mendapatkan hak yang sama.
Persoalan kedua, menyangkut ”biaya perceraian” disepakati untuk dibayarkan empat tahun setelah kesepakatan dan jumlahnya akan disebutkan di kemudian hari.
Persoalan selanjutnya, Inggris dan Uni Eropa sepakat bahwa lalu lintas barang di wilayah perbatasan Irlandia Utara tak akan dikenai pengecekan lintas batas. Artinya, keluar masuknya barang dari Irlandia Utara ataupun dari Republik Irlandia akan tetap seperti sebelum Brexit.
Namun, dinamika perundingan Brexit diwarnai pertentangan di dalam kabinet May. Proposal Chequers yang diusung May membuat dua menteri kabinet mengundurkan diri, yakni Menteri Luar Negeri Boris Johnson dan Menteri Urusan Brexit David Davis pada Juli 2018.
Secara umum, kabinet terbelah menjadi dua golongan, mereka yang menolak Brexit dan yang menginginkan perpisahan total dari Uni Eropa (hard Brexit). Dua menteri yang mundur memiliki pandangan hard Brexit yang tak puas dengan rencana May dan menyebut bahwa Proposal Chequers merupakan suatu kesepakatan kompromis.
Dinamika kabinet yang terjadi empat bulan lalu ramai kembali diangkat koran-koran Inggris. Sorotannya, konsolidasi May dalam memperoleh dukungan kabinetnya pascasidang kabinet 14 November 2018.
Koran The Financial Times menuliskan ”May braced for backlash after winning ferocious Brexit battle” untuk menggambarkan kemungkinan May akan menemui kendala baru pascadukungan anggota kabinet terhadap Brexit.
Dinamika dalam kabinet yang terbelah membuat kekhawatiran tersebut terbukti. Menteri Transportasi Inggris Jo Johnson mengundurkan diri karena tak puas dengan arah perundingan Brexit yang dipimpin PM Theresa May. Shailes Vara, Menteri Muda Irlandia Utara, juga menyusul mengundurkan diri dari jabatannya pascakesepakatan kabinet.
Dua menteri lain juga mundur. Mereka adalah Menteri Brexit Dominic Raab dan Menteri Tenaga Kerja dan Pensiun Esther McVey. Disusul oleh Menteri Muda Brexit Suella Braverman.
Menteri Shailes Vara mengundurkan diri dengan alasan Inggris akan terjebak dalam urusan kesepakatan kepabeanan.
Hal ini sangat merugikan Irlandia Utara sebab Irlandia Utara yang berbatasan darat dengan Irlandia menjadi pihak yang perekonomiannya paling dikorbankan di tengah ketidakpastian aturan kepabeanan.
Diminic Raab secara spesifik menyebutkan alasan yang membuat dirinya mundur karena tidak setuju dengan opsi backstop yang berkepanjangan untuk Irlandia Utara. Dengan adanya backstop, urusan kepabeanan Irlandia Utara akan diatur berdasar ketentuan Uni Eropa, sementara secara de facto dan de jure wilayah ini ada di naungan Inggris Raya.
Hal yang tidak dapat diterima adalah berlakunya dua kebijakan kepabeanan dalam satu negara. Skema backstop dipandang sebagai bentuk intervensi Uni Eropa terhadap Inggris dan hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan Brexit, yakni mencapai kedaulatan ekonomi.
Harian The Daily Telegraph mengungkapkan bahwa saat ini May sedang berada pada kondisi sulit. Dalam dua tahun pemerintahannya, setidaknya May sudah kehilangan 18 menteri dan pejabat tinggi lain.
Pendahulu May, Perdana Menteri David Cameron yang menjabat Mei 2010-Juli 2016 juga kehilangan menteri dalam jumlah yang relatif sama dalam masa pemerintahannya. Namun, perbedaannya adalah May kehilangan menteri dalam jumlah yang sama selama dua tahun, sedangkan Cameron selama enam tahun.
Lalu, hal apa yang dihadapi May pascapengunduran diri sejumlah menterinya? Rancangan kesepakatan Brexit sudah disetujui kabinet pada 14 November 2018 dan siap ditandatangani oleh petinggi Uni Eropa pada 25 November. Namun, satu tahap lagi harus dilalui May, yaitu mendapatkan dukungan parlemen untuk meloloskan rancangan kesepakatan Brexit.
Theresa May telah bertemu dengan Majelis Rendah Inggris pada 15 November 2018 untuk menjelaskan draf hasil negosiasi final antara Inggris dan UE, termasuk periode transisi bagi kedua pihak untuk penyesuaian pascaperceraian.
Reaksi parlemen sangat keras. May dicecar tanpa henti oleh pertanyaan tajam, baik dari kubunya sendiri, Partai Konservatif, maupun dari kupu oposisi, Partai Buruh. Semua itu mengarah pada satu kesimpulan, kesepakatan Brexit sulit diterima parlemen (Kompas, 17/11/2018).
Untuk bisa meloloskan kesepakatan Brexit di Majelis Rendah, May membutuhkan sedikitnya 326 suara. Saat ini koalisi partai pendukung May memiliki 327 kursi. Namun, tidak semua anggota Konservatif memiliki pandangan senada dengan pemerintah. Menurut May, jika parlemen menolak hasil kesepakatan, Inggris akan keluar dari UE tanpa kesepakatan.
Kendati ditekan dari berbagai arah, May tetap bersikukuh dengan proposal Brexit. Dalam konferensi pers, May menegaskan bahwa rakyat Inggris Raya menginginkan pemerintah menuntaskan Brexit walau jalan itu demikian rumit. (LITBANG KOMPAS)