Membaca Ketimpangan Jender
Pencapaian hidup yang berkualitas antara perempuan dan laki-laki masih timpang. Kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan dan berkiprah di ranah publik bagi perempuan masih menjadi soal yang dihadapi seluruh warga dunia.
Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) pada 14 September 2018 menunjukkan bahwa rata-rata kualitas hidup perempuan di 189 negara lebih rendah 5,9 persen dibandingkan laki-laki.
Menurut laporan tersebut, aspek pendidikan dan pendapatan menjadi faktor utama perbedaan skor Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) pada perempuan dan laki-laki. Dengan menggunakan HDI tersebut, kualitas hidup manusia diukur dengan memperhatikan usia harapan hidup, lama mengenyam pendidikan, dan daya beli per tahun.
Di bidang pendidikan, perempuan menemui beberapa kendala untuk dapat bersekolah, misalnya perkawinan di usia dini dan kebutuhan tenaga perempuan di ranah domestik. Keadaan tersebut membuat durasi perempuan dalam mengenyam pendidikan cenderung lebih pendek.
Di bidang pekerjaan, partisipasi perempuan hanya 49 persen, sementara laki-laki 75 persen. Perempuan menghadapi kemungkinan menganggur 24 persen lebih tinggi dari laki-laki. Lagi-lagi, kesempatan perempuan untuk bekerja berkurang karena mereka masih dibebani pekerjaan domestik yang tidak dibayar.
Perbandingan skor HDI pada perempuan dan laki-laki kemudian disebut dengan Gender Development Index (GDI). Skor satu pada GDI menunjukkan keadaan yang setara antara perempuan dan laki-laki. Skor kurang dari satu menandakan peluang laki-laki lebih besar dari perempuan dan demikian sebaliknya.
Ketidaksetaraan yang tinggi ditemukan di kelompok negara dengan HDI yang rendah. Misalnya, negara-negara Arab dengan ketimpangan 14,5 persen dan Asia Selatan dengan ketimpangan mencapai 16,3 persen.
Negara dengan kesetaraan yang paling buruk adalah Yaman dengan skor GDI 0,425. Berturut-turut dari skor terendah adalah Afghanistan (0,625), Pakistan (0,750), Chad (0,775), dan Afrika Tengah (0,780).
Di Yaman, perempuan hanya unggul di bidang kesehatan yang tecermin dari usia harapan hidup mencapai 66,6 tahun, sementara laki-laki hanya 63,7 tahun. Ketimpangan yang curam terjadi di bidang ekonomi. Daya beli laki-laki per tahun mencapai 2.308 dollar AS atau 15 kali lipat daya beli perempuan yang hanya 149 dollar per tahun.
Di bidang pendidikan, perempuan Yaman hanya mengenyam pendidikan selama 1,9 tahun, sedangkan laki-laki selama 4,2 tahun. Rata-rata pendidikan perempuan bahkan tidak mencapai separuh dari rata-rata bersekolah laki-laki.
Berbeda dengan Yaman, Qatar yang termasuk dalam kelompok negara-negara Arab justru muncul sebagai negara dengan skor GDI tertinggi (1,031). Skor ini menandakan bahwa peluang dan pencapaian perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Perempuan Qatar unggul di bidang kesehatan dan pendidikan. Usia harapan hidup perempuan mencapai 80 tahun, sementara laki-laki hanya 77,6 tahun. Rata-rata lama sekolah untuk perempuan 10,8 tahun, sementara laki-laki 9,5 tahun.
Meski unggul dalam dua aspek di atas, ekonomi perempuan Qatar masih lebih rendah dari laki-laki. Laki-laki Qatar menghabiskan 135.961 dollar per tahun, sedangkan perempuan sebesar 59.164 dollar.
Cukup mengagetkan bahwa Qatar dapat mencapai titik ini. Sebagai salah satu negara Arab yang memiliki kecenderungan kebijakan publik yang kurang ramah perempuan, Qatar telah membuktikan sebaliknya. Pada tahun 1999, Qatar menjadi negara Arab pertama yang memberikan hak pada perempuan untuk ikut memilih.
Selain Qatar, terdapat 21 negara lain yang juga mendapatkan skor di atas satu, di antaranya berturut-turut Latvia (1,030), Lituania (1,026), Mongolia (1,023), dan Belarus (1,020).
Indonesia
Pencapaian Indonesia di bidang kesetaraan jender belum mencapai titik seimbang. Di Asia Tenggara, baru dua negara yang dapat memberikan kesempatan yang sama baik bagi laki-laki maupun perempuan, yaitu Vietnam (1,005) dan Filipina (1,000).
Perempuan Vietnam maju di bidang kesehatan. Perempuan memiliki usia harapan hidup 71,6 tahun, sementara laki-laki 67,3 tahun. Di bidang pendidikan pun, perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak begitu curam. Lama sekolah perempuan adalah 7,5 tahun dan laki-laki 8,4 tahun. Di sisi pengeluaran, perempuan menghabiskan 7.259 dollar per tahun, sementara laki-laki 14.385 dollar per tahun.
Meskipun Filipina meraih skor 1,000, ada sedikit perbedaan pada skor HDI-nya. HDI perempuan 0,699 dan HDI laki-laki 0,698. Perempuan unggul di bidang kesehatan dan pendidikan. Angka harapan hidup perempuan adalah 72,8 tahun dan laki-laki 65,9 tahun. Untuk rata-rata sekolah, perempuan mengenyam pendidikan selama 9,5 tahun, sementara laki-laki hanya 9,2 tahun. Di bidang ekonomi, pengeluaran per tahun perempuan hanya 7.585 dollar, sementara laki-laki 10.705 dollar.
Sementara itu, Indonesia mendapatkan skor 0,932. Meskipun belum setara, setidaknya perempuan unggul di bidang kesehatan. Harapan hidup perempuan di Indonesia mencapai 81 tahun, sementara laki-laki hanya 71,8 tahun. Untuk lama sekolah, perempuan mengenyam pendidikan selama 7,9 tahun, sementara laki-lak 8,5 tahun.
Di bidang ekonomi, pengeluaran perempuan dan laki-laki tidak terpaut jauh, yaitu 5.345 dollar per tahun untuk perempuan dan 6.383 dollar per tahun untuk laki-laki. Di antara 189 negara, Indonesia berada di urutan ke-116 dalah hal kesetaraan jender.
Di Indonesia, pengukuran GDI juga dilakukan dalam lingkup nasional melalui Badan Pusat Statistik (BPS). Istilah yang digunakan untuk menyebut GDI di Indonesia adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG). Skor IPG 100 menandakan capaian perempuan sama dengan laki-laki, sementara skor IPG kurang dari 100 menandakan capaian perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Sejak 2010, skor IPG Indonesia terus mengalami peningkatan hingga puncaknya di tahun 2015, yaitu 91,03. Skor tersebut menurun pada 2016 menjadi 90,82 dan kembali naik pada 2017 menjadi 90,96.
Selain IPG, kesetaraan jender juga dapat diukur dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). IDG adalah pengukuran yang menunjukkan apakah wanita dapat secara aktif berperan serta dalam kehidupan ekonomi dan politik. IDG menitikberatkan pada partisipasi di bidang ekonomi, partisipasi politik, dan pengambilan keputusan.
Dimensi politik dilihat dari proporsi keterwakilan di parlemen. Dimensi pengambilan keputusan dilihat dari proporsi perempuan menduduki jabatan manajer, staf administrasi, pekerja profesional, dan dimensi ekonomi dilihat dari distribusi pendapatan melalui upah buruh non-pertanian.
IDG Indonesia menunjukkan peningkatan terus-menerus selama tujuh tahun terakhir. Pada 2017, IDG berada di level 71,74, naik dari 68,15 di tahun 2010. Skor IDG masih lebih rendah dari skor IPG yang menandakan bahwa kesempatan perempuan di ranah politik dan profesional masih sangat perlu diperbaiki.
Program
Kesetaraan jender menjadi salah satu program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), sebuah cetak biru untuk menyongsong tahun 2030 yang makmur dan damai. Kesetaraan jender dan pemberdayaan untuk wanita dan perempuan menjadi tujuan kelima dari tujuh belas program SDGs.
Kesetaraan perempuan menjadi prioritas sebab kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai bentuk paling ekstrem dari diskriminasi. Data tahun 2005 hingga 2016 dari 87 negara menunjukkan, 19 persen perempuan berusia 15-49 tahun mengatakan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual justru oleh pasangannya sendiri.
Data tahun 2000 hingga 2016 dari 90 negara juga menunjukkan, perempuan menghabiskan tiga kali lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan domestik yang tidak dibayar seperti laki-laki. https://unstats.un.org/sdgs/files/report/2018/TheSustainableDevelopmentGoalsReport2018.pdf
Pemerintah Indonesia juga berkomitmen untuk membuka kesempatan yang sama bagi perempuan. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam program kerjanya menyatakan akan membuat kebijakan yang dapat menjamin kesetaraan bagi perempuan. Misalnya, pemerintah akan menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan termasuk perempuan dan memprioritaskan penanganan kasus kekerasan seksual. Pemenuhan kuota perempuan 30 persen di parlemen juga akan didorong agar memberikan akses yang sama dan adil kepada politisi.
Hingga kini, perjalanan untuk memberikan ruang dan peluang bagi perempuan terus berjalan. Melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, misalnya, pemerintah mengeluarkan program Three End dengan semangat untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan manusia.
Perjuangan untuk kesetaraan jender mensyaratkan sinergi antara pemangku kebijakan dan masyarakat. Sumbangsih kerja dan pengetahuan adalah bahan bakar untuk terus berjalan menuju kesetaraan. (LITBANG KOMPAS)