Menembus Dominasi Aristokrasi Wajo
Sebuah foto di media daring lokal di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, menampakkan suasana kampanye hari terakhir dua pasang kandidat Pilkada Wajo 2018. Dalam foto yang diambil drone di atas Stadion Ninnong di kota Sengkang, Wajo, tersebut tampak perbedaan cukup mencolok dalam hal besarnya kerumunan manusia yang hadir.
Foto kampanye pasangan nomor urut satu, Amran Mahmud dan Amran SE, memperlihatkan kerumunan manusia menutupi lapangan stadion. Sementara di dalam foto pasangan nomor urut dua, Baso Rahmanuddin dan Anwar Sadat, kerumunan tak sampai menutup seluruh lapangan stadion. Masih terlihat jelas di sana-sini warna hijau rumput lapangan stadion menandakan tempat itu tidak dipenuhi lautan manusia. Perbedaan kedua foto tersebut seakan menjadi pertanda kemenangan pasangan Amran Mahmud dan Amran SE.
Pertanda tersebut akhirnya menjadi kenyataan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Wajo pun mengumumkan kemenangan pasangan Amran Mahmud-Amran SE yang menggunakan julukan Pammase sebagai bupati dan wakil bupati terpilih dalam Pilkada Wajo 2018. Pammase meraup 130.035 suara atau 57,95 persen. Sementara lawannya, pasangan Baso Rahmanuddin-Anwar Sadat menggunakan julukan Barakka berselisih 35.695 suara dari Pammase dan memperoleh 42,05 persen.
Kemenangan Pammase mematahkan harapan Bupati Wajo Andi Burhanuddin Unru, yang menjabat selama dua periode sejak 2008, untuk membentuk dinasti politik di Wajo. Dalam pilkada tahun 2018 ini, Andi Burhanuddin Unru, yang juga anak dari bupati Wajo 1967-1978 Haji Andi Unru, berada di belakang pasangan Baso Rahmanuddin-Anwar Sadat. Baso Rahmanuddin adalah menantu Andi Burhanuddin Unru.
Kemenangan Pammase mematahkan alih generasi dinasti politik Wajo.
Dominasi para ”Andi”
Pertarungan politik di Kabupaten Wajo masih kental dengan reproduksi status sosial dan simbol-simbol kebangsawanan. Hal tersebut tampak jelas dalam Pilkada 2008 hingga 2018. Pada Pilkada 2008 terdapat empat pasang calon bupati Wajo yang semuanya menggunakan nama Andi. Meski keterangan tentang asal-usul nama Andi memiliki banyak versi, intinya nama Andi merupakan sebutan bagi seseorang yang masih memiliki keterkaitan dengan aristokrasi kerajaan Wajo di masa lalu.
Satu dekade lalu, pasangan Andi Burhanuddin Unru-Amran Mahmud bersama dua pasangan calon lainnya menantang petahana Bupati Wajo Andi Asmidin yang berpasangan dengan Ridwan Angka. Dua paslon lainnya adalah Andi Yaksan Hamzah-Syagaru Didin dan Andi Asriadi Mayang-Andi Ansyari Mangkona. Dari empat pasang calon tersebut, seluruh calon bupati Wajo yang ikut bertarung mempunyai sebutan Andi di awal namanya. Bahkan, calon Andi Asriadi Mayang menggandeng calon wakil bupati yang juga memiliki gelar ”Andi”, Andi Ansyari Mangkona.
Saat itu, petahana akhirnya berhasil dikalahkan pasangan Andi Burhanuddin Unru-Amran Mahmud dengan selisih suara di bawah 2 persen. Pilkada 2008 tersebut menandai kiprah lanjutan keluarga Unru setelah ayahnya, Haji Andi Unru, seorang tentara yang menjabat bupati Wajo selama lebih dari satu dekade di masa Orde Baru (1967-1978).
Dominasi ”Andi” dalam pertarungan politik memperebutkan posisi Wajo-1 terus berlanjut di pilkada Wajo 2013. Dari enam pasang calon bupati-wakil bupati Wajo, empat pasang calon bupati menggunakan nama ”Andi”. Dari empat pasang tersebut, satu pasang calon bupati dan wakil bupati keduanya menggunakan nama ”Andi”. Adapun dua pasang calon bupati lainnya, meskipun tidak menggunakan nama ”Andi”, pasangan calon wakil bupati bergelar Andi. Dengan demikian, reproduksi status sosial dan gelar aristokrasi melekat erat dalam perebutan jabatan tertinggi di Wajo.
Pilkada 2013 tersebut dimenangkan petahana bupati Andi Burhanuddin Unru dengan pasangannya sesama ”Andi”, yakni Andi Syahrir Kube Dauda, dengan perolehan 90.216 suara (40,32 persen). Kekuatan dua ”Andi” berhasil menyisihkan paslon dengan satu ”Andi”, pasangan petahana wakil bupati Amran Mahmud dan Andi M. Yusud Machmud Korosi yang meraup 68.196 suara (30,48 persen) serta berturut-turut paslon Sanusi Karateng-Andi Surya Agraria (12,49 persen), Andi Safri Modding-Rahman Rahim (10,66 persen), Andi Asriadi Mayang-Saidiman (3,12 persen), dan Andi Suryadi Belo-Sabarduddin Mallo (2,93 persen).
Berbeda dengan dua pilkada sebelumnya, tahun ini pilkada Wajo hanya diikuti dua pasang calon. Kedua pasang calon tidak memiliki nama Andi di awalan nama mereka. Meskipun demikian, simbol aristokrasi tetap digunakan melalui salah satu calon bupati yang menggunakan nama Baso, yaitu Baso Rahmanuddin. Baso adalah sebutan bagi seorang laki-laki Wajo yang salah satu orangtuanya memiliki gelar Andi. Adapun nama Andi dicantumkan jika kedua orangtua bergelar Andi.
Duo Amran
Setelah tiga kali pemilihan kepala daerah di Wajo dilakukan secara langsung, baru pada pilkada ketiga calon yang tidak berasal dari kalangan bangsawan bisa memenangi pertarungan politik. Tahun ini pasangan duo Amran, Amran Mahmud dan Haji Amran, berhasil memutus dominasi aristokrasi pada jabatan tertinggi di Wajo dan meraih suara hingga 57,95 persen. Sementara lawannya, Baso Rahmanuddin Makkaraka dan Anwar Sadat, hanya meraup 42,05 persen.
Duo Amran merupakan duet antara politisi kawakan dan pengusaha yang cukup sukses di Wajo. Amran Mahmud merupakan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang telah memimpin partai tersebut di Wajo sejak 2004. Di samping sebagai pemimpin partai berlambang matahari biru, Amran Mahmud memiliki jejak sebagai aktivis berbagai organisasi, mulai dari organisasi kepemudaan KNPI, intelektual ICMI, pengusaha muda Hipmi, hingga ormas keagamaan Muhammadiyah.
Pasangan Amran Mahmud yaitu Haji Amran adalah pengusaha sukses asal Wajo yang menguasai bisnis tambang batu bara dan penyewaan alat-alat berat. Kesuksesannya sebagai pengusaha dibuktikan dengan catatan kekayaan tertinggi yang dimilikinya dibandingkan tiga sosok lainnya. Menurut data LHKPN, jumlah kekayaan Haji Amran mencapai Rp 14 miliar. Sementara itu dari keempat calon, Amran Mahmud menjadi calon yang paling sedikit memiliki harta yakni Rp 1,3 miliar.
Duet Amran ini didukung 25 kursi (62,5 persen) dari tujuh parpol, jumlah terbanyak di DPRD Wajo dibandingkan lawannya. Ketujuh parpol tersebut adalah PAN, PDI-P, PPP, Demokrat, PKS, Nasdem, dan PBB. Kekuatan tujuh parpol tersebut beserta jaringan yang dibangun duo Amran baik di kalangan birokrasi ketika Amran Mahmud menjabat Wakil Bupati Wajo 2008-2013 maupun sebagai aktivis berbagai organisasi serta kelompok pengusaha.
Dengan modal politik dan ekonomi yang digenggam, pasangan ini mampu mengungguli suara Baso Rahmanuddin-Anwar Sadat di 13 dari 14 kecamatan yang ada di Wajo, termasuk Kecamatan Tempe di mana Baso Rahmanuddin tinggal, Kecamatan Majauleng tanah kelahiran Baso Rahmanuddin, dan Kecamatan Penrang, kampung asal Andi Burhanuddin Unru. Di Kecamatan Tempe, pasangan Pammase unggul 12.653 suara, di Kecamatan Majauleng unggul 1.106 suara, sementara di Kecamatan Penrang hanya selisih 287 suara dengan pasangan Barakka.
Keterpecahan
Tidak mudah bagi pasangan Pammase menumbangkan Barakka. Pertama, jejaring birokrasi di belakang Baso Rahmanuddin masih cukup kuat. Jejaring tersebut terutama berasal dari posisi Baso Rahmanuddin sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo 2014-2018 dan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lammaddukelleng 2009-2014.
Kiprah Baso sendiri di bidang kesehatan telah dijalaninya sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin di Makasar dan menapaki kariernya sebagai Kepala Puskesmas di Tosora, Majauleng, dan Pattirosompe sebelum menjadi direktur RSUD. Selain itu, Baso Rahmanuddin juga bisa memanfaatkan jaringan birokrasi mertuanya, Andi Burhanuddin Unru, Bupati Wajo dua periode yang mendukung pencalonannya.
Kedua, pasangan Barakka juga memiliki basis dukungan kuat di kalangan pesantren, terutama jaringan Pesantren As’adiyah di Wajo yang pernah dipimpin ayah Anwar Sadat, ulama besar Wajo, Anre Gurutta Haji (AGH) Abd Malik Muhammad yang akrab disapa Anre Gurutta Malik. Pesantren As’adiyah merupakan pesantren tertua di Wajo yang didirikan di Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo, pada 1930 dan saat ini menaungi 6.597 santri setiap tahun.
Ketiga, modal politik dan ekonomi pasangan Barakka menjadi pendukung meraup suara. Pada Pemilu 2014 Golkar meraih kursi terbanyak bersama PPP. Posisi petahana pemenang pemilu di Wajo juga telah diraih Golkar sejak Pemilu 2009. Sebagai politisi PKB, Anwar Sadat mempunyai basis kuat di tanah kelahirannya, Kecamatan Gilireng Wajo, di mana perolehan suara Barakka mengungguli Pammase.
Di samping itu, catatan LHKPN menyebutkan, Anwar Sadat memiliki kekayaan Rp 7,9 miliar, terbanyak kedua setelah Haji Amran. Adapun isi kantong Baso Rahmanuddin sebanyak Rp 3,7 miliar, mengungguli Amran Mahmud, lawan politiknya. Selain itu, kombinasi pengaruh Andi Burhanuddin Unru yang menjabat Ketua Golkar Wajo, Bupati Wajo dua periode, serta keterkaitannya dengan aristokrasi Wajo, juga membuat basis politik Barakka di atas kertas sangat kuat.
Meskipun demikian, dalam kenyataan kekuatan Pammase tak bisa dibendung oleh Barakka. Beberapa hal diduga menjadi faktor penentu kekalahan Barakka. Sejumlah media daring lokal menyebutkan bahwa pasangan Barakka beberapa kali absen di acara yang diadakan KPU Wajo, seperti tolak politik uang dan politik SARA, deklarasi pilkada damai, serta gerak jalan santai. Ketidakhadiran tersebut bisa jadi membentuk citra di masyarakat Wajo tentang ketidakpedulian Barakka terhadap persoalan kemasyarakatan di Wajo.
Hal lain adalah adanya keterpecahan di dalam keluarga Andi Burhanuddin Unru. Sebelum penetapan Baso Rahmanuddin sebagai calon bupati, anak sulung Andi Burhanuddin Unru, yaitu Andi Fadillah Unru, dikabarkan mengajukan diri sebagai calon bupati Wajo sehingga saat itu beredar dua nama dari keluarga Burhanuddin Unru. Andi Fadillah Unru juga sudah sempat menebar baliho dirinya lengkap dengan jargon pemenangan di berbagai ruang publik.
Namun, Partai Golkar di bawah kepemimpinan Andi Burhanuddin Unru menetapkan Baso Rahmanuddin sebagai calon bupati Wajo. Setelah penetapan tersebut, Andi Fadillah Unru menyatakan dukungan kepada Pammase. Demikian pula dengan beberapa adik Burhanuddin Unru yaitu, Bustamin Unru, Andi Pallawarukka Unru, dan Andi Tenri Yola. Keterpecahan ini dianggap sebagai salah satu faktor gagalnya dinasti politik Unru mempertahankan kekuasaannya di Wajo.
Tantangan ekonomi
Wilayah Kabupaten Wajo terbentang seluas 2.506,19 kilometer persegi yang mencakup 14 kecamatan dan didiami 394.495 jiwa (BPS, 2016). Pusat pemerintahan ataupun ekonomi berada di kota Sengkang yang berjarak 242 kilometer dari Makassar. Kota Sengkang, selain dikenal sebagai kota santri, juga populer sebagai kota sutra karena di situ terdapat banyak gerai kain sutra, oleh-oleh andalan jika berkunjung ke Wajo.
Kain sutra memang menjadi produk unggulan Kabupaten Wajo. Sebagai komoditas unggulan, berdasarkan data BPS Wajo, industri pertenunan di Wajo pada tahun 2016 mampu mempekerjakan 18.308 tenaga kerja dari 5.940 usaha pertenunan. Jumlah tenaga kerja tersebut setara dengan 54,8 persen dari total tenaga kerja industri pengolahan.
Meski telah menyerap lebih dari separuh tenaga kerja di sektor industri pengolahan, sektor ini memiliki proporsi terendah (3,86 persen) dalam menyumbang PDRB Wajo. Penyumbang tertinggi masih sektor pertanian, kehutanan dan perikanan (34,90 persen), diikuti pertambangan dan penggalian (15,85 persen), perdagangan besar dan eceran (15,32 persen), serta konstruksi (9,69 persen).
Berbagai tantangan masih terus dihadapi oleh usaha tenun sutera Wajo. Beberapa media lokal daring mengemukakan tentang bahan dasar tenun berupa benang sutra yang sebagian besar masih diimpor dari Thailand dan China akibat sedikitnya produksi benang sutra lokal.
Pasokan benang sutra tidak mencukupi karena sebagian petani ulat sutra beralih ke usaha lain akibat penangkaran ulat sutra dianggap tidak lagi menjanjikan. Faktor lainnya adalah produktivitas ulat sutra yang menyusut akibat cuaca dan iklim di Wajo yang tak lagi mendukung. Untuk masalah ini, belum ada pendampingan dari pemerintah lokal guna mengatasinya.
Meredupnya industri pertenunan Wajo membuat pendapatan asli daerah (PAD) Wajo hanya menyumbang 8 persen (Rp 117,78 miliar) dari pendapatan seluruhnya. Adapun sebagian besar pendapatan Kabupaten Wajo diperoleh dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan sebesar Rp 1,03 triliun (74 persen).
Tak hanya industri pertenunan yang meredup. Pertumbuhan ekonomi Wajo juga sangat fluktuatif. Pada 2012 angkanya mencapai 6,50 persen. Setahun kemudian beranjak naik ke 6,92 persen dan melonjak ke 9,67 persen pada tahun berikutnya. Pertumbuhan ekonomi kemudian melambat terus hingga ke angka 4,98 persen pada 2016.
Angka pertumbuhan ekonomi Wajo ini jauh di bawah angka pertumbuhan yang dicapai Kabupaten Soppeng (8,24 persen) dan Bone (9,06 persen). BPS membandingkan ketiga wilayah tersebut karena ketiganya memiliki kemiripan karakteristik masyarakat dan potensi daerah. Angka pertumbuhan ekonomi Wajo bahkan juga jauh di bawah angka pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan (7,41 persen).
Danau Tempe
Selain tantangan ekonomi, pemerintah baru Wajo menghadapi persoalan Danau Tempe, salah satu danau purba terbesar di Sulawesi Selatan, yang semakin kritis kondisinya. Dengan luas sekitar 13.000 hektar, 70 persen areanya berada di Wajo. Sisanya masuk wilayah administrasi Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Soppeng.
Danau Tempe saat ini menghadapi persoalan utama pendangkalan yang meluas. Laman lingkungan Mongabay menyebut, pendangkalan Danau Tempe setiap tahun mencapai 30 cm. Dampaknya, jika musim hujan tiba, air danau mengalir menggenangi permukiman warga di sekitar danau.
Hampir setiap tahun banjir melanda dan merendam ribuan rumah. Musibah itu terus berulang seperti yang terjadi pada Juli lalu. Akibat hujan lebat selama dua hari, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wajo mencatat ada 14.000 rumah terendam air dari 50 cm hingga 3 meter. Akibat lainnya, 60 sekolah, 40 masjid, 17 jembatan, serta ribuan hektar sawah dan kebun terendam air. Bahkan, banjir juga merendam sebagian Sidrap, Soppeng, dan Kabupaten Bone.
Tak hanya pendangkalan, permukaan Danau Tempe juga dipenuhi eceng gondok. Keberadaan tanaman ini mengganggu kegiatan nelayan menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, terdapat 3.000 nelayan yang beraktivitas di danau setiap hari.
Kepala daerah terpilih harus memperhatikan persoalan-persoalan utama yang menghantui Kabupaten Wajo tersebut demi kesejahteraan rakyat. Jangan sampai jeda kekuasaan dari dinasti sebelumnya memerangkap Wajo kembali dalam sirkulasi sempit oligarki kekuasaan lokal. (BI PURWANTARI/LITBANG KOMPAS)