Mimpi Buruk Ekonomi Turki
Mimpi buruk krisis finansial menghantui Turki. Nilai mata uang Lira pada Jumat 10/8/2018 lalu berada di level 6,51 per dollar AS, merosot 14 persen dari perdagangan sebelumnya. Tren penurunan lira ini merupakan pukulan bagi pemerintahan Presiden Recep Erdogan.
Sepanjang tahun 2018, nilai tukar Lira terhadap dollar Amerika Serikat turun lebih dari 41 persen. Tidak heran, Presiden Erdogan bereaksi keras terhadap gejolak mata uang tersebut.
Namun reaksi yang ditunjukkan Erdogan bukan berupa langkah taktis memulihkan depresiasi lira, melainkan kecaman terhadap pihak lain. Pemberitaan beberapa koran internasional terbitan Timur Tengah menampilkan kegeraman Presiden Erdogan terhadap Amerika Serikat (AS) yang ditudingnya berada di balik krisis moneter Turki.
Dua surat kabar Kuwait, yaitu Arab Time dan Kuwait Time, serta The National dan Khaleej Time terbitan Uni Emirat Arab, senada menampilkan kecaman Erdogan terhadap Washington saat berpidato depan pendukungnya di kota Rize. Erdogan juga memberi peringatan kepada AS bahwa Turki akan mencari "sekutu baru ".
Kedua negara memiliki kaitan yang cukup erat. Baik Amerika Serikat maupun Turki sama-sama merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Kekuatan militer Turki di NATO adalah yang terbesar kedua setelah AS.
Turki juga tercatat negara berpenduduk mayoritas Muslim yang pertama kali membuka hubungan diplomatik dengan Israel pada Maret 1949. Israel adalah wajah kepentingan strategis AS dan Barat di Timur Tengah (Kompas 8/1/2017).
Selain mengecam Amerika Serikat, Presiden Erdogan juga menunjukkan optimisme bahwa Turki kuat menghadapi krisis lira. “Our state is strong, have no doubts about this,” tulis harian The National. “Don’t say, ‘Oh no, there are no dollars.’ Our work has nothing to do with dollars.”
Lebih lanjut ditegaskannya, selama 15 tahun pemerintahannya Turki berhasil menghapus miliaran dolar pinjaman IMF dan menambah cadangan devisa negara. Untuk meredam krisis, Erdogan juga menyerukan kepada warga Turki untuk menjual dolar dan emasnya untuk lira.
Sebetulnya pasar menunggu kebijakan ekonomi Erdogan untuk meredam terpuruknya lira. Berita utama koran Financial Times bahkan mengingatkan pemerintahan Erdogan bahwa investor menunggu tindakan radikal untuk menstabilkan krisis, seperti menaikkan suku bunga dan menghentikan pos-pos anggaran pengeluaran pemerintah yang membuat kondisi ekonomi semakin panas atau overheating.
Penuh gejolak
Bukan kali ini saja gejolak dialami pemerintahan Turki di bawah kepemimpinan Erdogan. Jika menengok tiga tahun ke belakang, ragam guncangan kerap menghampiri Presiden Erdogan. Tahun 2016, muncul guncangan keamanan.
Setidaknya ada delapan serangan besar teroris sepanjang 2016. Salah satu yang menonjol adalah teror penembakan di malam perayaan Tahun Baru 2017. Saat itu, seorang tak dikenal menembak secara membabi buta pengunjung kelab malam Reina di Istanbul yang menewaskan sedikitnya 39 orang.
Belum usai meredam teror keamanan, pemerintahan Erdogan disibukkan dengan upaya kudeta pada Juli 2016. Kudeta tersebut berhasil digagalkan, namun menyisakan goresan dalam hubungan bilateral Amerika Serikat dan Turki.
Pasalnya, tokoh yang dituduh sebagai otak di balik upaya kudeta itu adalah ulama karismatik Turki, Fethullah Gulen. Sudah lama ia berdomisili di AS, tinggal di Pennsylvania sejak 1999.
Kedekatan Turki dengan AS terus merenggang. Pada akhir 2016, Erdogan mengubah pula mitra koalisi dengan menjalin relasi dengan Rusia. Perubahan mitra koalisi tersebut akibat kekecewaan Erdogan kepada AS yang terus mendukung militer milisi Kurdi dari Satuan Unit Pelindung Rakyat (YPG) di Suriah dan menolak mengekstradisi Gulen ke Turki.
Pasca penanganan kudeta, bukan berarti kenyamanan dialami pemerintahan Erdogan. Justru energi politiknya terus terkuras. Rentetan peristiwa besar terjadi, seperti penangkapan pihak-pihak yang dituduh berafiliasi dengan Gullen, amandemen konstitusi untuk mengubah sistem parlementer ke presidensial, serta penyelenggaraan pilpres dan pemilu parlemen secara serentak.
Oposisi sesungguhnya
Tidak dipungkiri, Erdogan piawai meredam gelojak politik. Terpilihnya Erdogan dalam pemilihan presiden yang dilakukan 24 Juni 2018 lalu, menunjukkan bahwa posisi Erdogan dan partainya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang memegang dominasi politik Turki sejak 2002, belum tergoyahkan.
Namun, kali ini kepiawaian Erdogan diuji untuk mengendalikan melemahnya kondisi moneter Turki. Koran Financial Times memperingatkan bahwa sinyal resesi ekonomi bisa dihadapi Turki.
Krisis finansial memicu kekhawatiran meningkatnya tekanan kredit macet yang menghantui bank-bank. Melemahnya lira juga membuat perusahaan-perusahaan Turki kelimpungan untuk membayar hutang dalam mata uang dollar AS
Sejarah Turki pernah mencatat, gejolak ekonomi pernah terjadi pada 2001 silam. Gejala awalnya hampir sama dengan kondisi saat ini, tekanan terhadap nilai tukar lira. Waktu itu terjadi penurunan kurs lira terhadap dollar AS hingga 45 persen. Dalam satu hari saja, cadangan devisa Turki tergerus 30 persen akibat terpuruknya nilai mata uang lira itu.
Krisis moneter membuat ribuan warga Turki turun ke jalan mengecam pemerintah dan IMF. Turki semakin terjerumus dalam krisis finansial setelah membiarkan lira mengambang. Ekonomi nasional ambruk, berbagai perusahaan milik negara dan swasta terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara mendadak.
Gelojak ekonomi kemudian merembet ke krisis politik. Tujuh anggota kabinet dan 35 anggota parlemen mundur dan membuat goyang posisi pemerintahan Perdana Menteri Bulent Ecevit. Tekanan politik membuat parlemen Turki menyetujui pemilihan umum dipercepat dan berhasil memunculkan pemimpin baru.
Memori sejarah yang memiliki kesamaan gejala awal, saat ini sedang dihadapi pemerintahan Erdogan. Lira sering disebut sebagai oposisi yang sesungguhnya bagi sebuah pemerintahan Turki. Jika tidak cermat dan cepat menangani sinyal krisis moneter, bisa berdampak terhadap keberlangsungan pemerintahannya. (ANDREAS YOGA PRASETYO/LITBANG KOMPAS)