Petahana Dalam Lingkaran Dinasti Politik
Herman Sutrisno – Uu Ade Sukaesih bukanlah suami istri biasa di Kota Banjar. Mereka adalah sejoli yang berhasil menjadi penguasa di kota kecil yang berada di ujung tenggara Provinsi Jawa Barat secara estafet selama 4 periode. Di awali oleh sang suami, Herman Sutrisno yang mulai menjabat Wali Kota Banjar ketika kota ini dimekarkan dari Kabupaten Ciamis tahun 2003. Jabatan yang kini dipegang oleh sang istri Uu Ade Sukaesih akan berakhir pada 2023.
Ceritera tentang kepala daerah petahana yang berada dalam lingkaran dinasti politik di wilayah Priangan Timur baru terjadi di Kota Banjar. Kemenangan Ade Uu Sukaesih yang berpasangan dengan Nana Suryana dalam Pemilihan Wali Kota Banjar 2018 sudah bisa diprediksi oleh seluruh masyarakat. Dasar prediksi bukan karena posisi pasangan ini sebagai calon petahana yang didukung oleh mesin partai yang kuat. Masyarakat Kota Banjar bisa memperkirakan kemenangan ini dari dukungan Herman Sutrisno kepada istrinya.
Pengaruh sosok Herman di Kota Banjar masih terasa kuat. Meskipun tidak memegang jabatan formal lagi, suaranya cukup ampuh untuk mengubah peta politik di kota yang dia perjuangkan kelahirannya. Tokoh politik Golkar ini mampu menyatukan kekuatan koalisi pendukung istrinya untuk memenangkan pilkada. Hasilnya, pasangan yang diusung oleh Golkar, PDIP, dan PKB ini berhasil menguasai 58.020 atau 52,36 persen suara dari 110.804 suara sah.
Perolehan suara tersebut memastikan keunggulan pasangan ini atas lawan mereka, yaitu Maman Suryaman - Irma Bastaman. Pasangan nomor urut 1 ini merupakan lawan berat bagi Uu – Nana dalam Pilwalkot Banjar 2018. Pasangan yang diusung oleh Partai Demokrat, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Hanura ini berhasil mencapai dukungan yang selisihnya terbilang tipis dengan pemenang pilkada.
Maman – Irma berhasil meraih dukungan 52.786 atau 47,64 persen suara. Proporsi dukungan tersebut memiliki selisih 4,7 persen di bawah dukungan suara untuk Uu – Nana. Tipisnya selisih kemenangan ini menunjukkan, pasangan penantang ini memiliki modal politik yang relatif seimbang dengan kekuatan politik yang dimiliki oleh calon petahana. Salah satu modal penyokongnya adalah sosok dari kedua figur pasangan calon.
Nama Maman Suryaman sudah cukup akrab di telinga warga Kota Banjar. Debut politik sosok yang lebih terkenal dengan sebutan Maman Padud ini dimulai dari pencalonan dirinya sebagai salah satu kandidat dalam Pilkada Kota Banjar 5 tahun silam. Saat itu posisi Maman adalah lawan dari Uu Ade Sukaesih, istri Wali Kota Banjar saat itu. Dalam kontestasi tersebut, Maman Suryaman yang berpasangan dengan Wawan Ruswandi menggunakan jalur perseorangan.
Sebagai mantan calon, nama Maman cukup diperhitungkan oleh parpol-parpol yang ingin meruntuhkan dominasi Herman Sutrisno yang direpresentasikan melalui istrinya Uu Ade Sukaesih. Maman sendiri sebagai “penantang lama” tentu tidak ingin kalah untuk kedua kalinya dalam kontestasi pilwalkot 2018.
Untuk itu, Partai Demokrat membangkitkan kembali ambisi politik Maman untuk mengalahkan rival lamanya dalam pilkada kali ini. Demokrat – beserta koalisinya – sepakat memasang kadernya Irma Bastaman untuk memuluskan jalan Maman menjadi “Banjar 1”. Irma yang menjabat sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Kota Banjar ini dipasang sebagai calon wakil wali kota.
Kolaborasi pengusaha tembakau dan penggemar otomotif dengan politisi Partai Demokrat dalam pilwalkot ini sempat membetot perhatian publik Kota Banjar. Duet pria kelahiran 26 November 1959 dengan aktivis Kauksu Perempuan Politik langsung digadang-gadang sebagai kuda hitam dalam perebutan kursi wali kota.
Hasil pemilihan yang menunjukkan selisih suara yang terbilang tipis dengan calon petahana ini mengindikasikan mesin politik pasangan ini mampu mengonsolidasikan basis dukungan mereka secara optimal. Petahana yang diprediksi akan menang mutlak seperti perolehan suara ketika pilkada 2013 ternyata meleset. Uu Ade Sukaesih yang maju pertama kali dalam Pilwalkot Banjar 2013 mampu menang telak atas 4 pesaingnya dengan proporsi dukungan sebersar 67,4 persen. Pilkada kali ini Uu Ade hanya mampu meraih dukungan 52 persen.
Dominasi Petahana
Salah satu ciri Pilwalkot Banjar sejak tahun 2008 adalah memusatnya kekuasaan jabatan bupati di lingkaran kekerabatan seorang tokoh yang dominan. Sirkulasi elit tertinggi di kota ini masih berputar-putar pada dua tokoh yang berstatus sebagai suami istri, yaitu Herman Sutrisno dan Uu Ade Sukaesih.
Kedua sosok ini mampu mengelola dengan baik kekuasaan pemerintah daerah di tangan mereka semenjak kota ini lahir 15 tahun silam. Jika UU mampu menjalankan kekuasaannya sebagai wali kota hingga tahun 2023, itu artinya sirkulasi kepemimpinan daerah di Kota Banjar selama 20 tahun hanya berputar di kedua sosok ini.
Kemenangan UU Ade Sukaesih ini menunjukkan, Kota Banjar merupakan satu-satunya daerah peserta pilkada serentak 2018 di Priangan Timur yang sukses mempertahankan dominasi petahana selama 4 periode pemilihan. Di Ciamis calon petahana tumbang di hadapan penantangnya. Di Garut, peluang dominasi petahana sangat kecil.
Kota dengan luas 13.197,23 hektar ini terbilang paling kecil dibanding dengan luas daerah-daerah lain di Priangan Timur. Sejak dibentuk tahun 2003 dinamika politik di kota ini cenderung statis karena karakter masyarakatnya yang relatif homogen. Tarik menarik pengaruh baik secara individual, yang direpresentasikan oleh tokoh masyarakat yang kuat, maupun secara kelompok melalui partai politik kurang begitu terasa.
Fenomena ini bisa terefleksi melalui dinamika kehidupan sehari-hari masyarakat yang terasa adem dan nyaman. Dalam kondisi yang adem, stabil, dan cenderung statis inilah sosok Herman Sutrisno yang dikenal sebagai tokoh utama di balik pemekaran Kota Banjar menjadi dominan. Popularitas yang disemai oleh mantan dokter ini kemudian berhasil mengantarkannya menjadi orang pertama yang memimpin kota yang berada di perbatasan Jabar-Jateng ini.
Popularitas Herman semakin menanjak tatkala dirinya dinilai berhasil memajukan Kota Banjar dan menjadikan kota ini sebagai kota yang terus membangun. Cara komunikasi Herman yang akrab menyapa masyarakat membuat citranya semakin positif di mata rakyat. Sosoknya sebagai pemimpin yang aspiratif dan memperhatikan rakyat benar-benar terbangun di dalam benak masyarakat Kota Banjar.
Pilwalkot Banjar 2008 kembali menobatkan calon petahana Herman Sutrisno sebagai pemenang. Kemenangan kali ini sangat fantastik, karena Herman Sutrisno yang berpasangan dengan Akhmad Dimyati dipilih oleh 92 persen lebih pemilih. Kemenangan ini mengindikasikan popularitas Herman sebagai bupati petahana dengan pengaruhnya yang luas di seluruh Kota Banjar.
Dukungan yang sangat besar dari masyarakat Banjar terhadap kepemimpinan Herman Sutrisno untuk periode kedua ini tidak saja merefleksikan popularitasnya yang tinggi, tetapi juga menguatkan sosoknya sebagai tokoh yang dominan. Dominasi Herman ini mulai terlihat ketika masa jabatannya sebagai wali kota akan berakhir dan dia memberikan restu kepada istrinya untuk menjadi salah satu calon wali kota dalam Pilwalkot 2013.
Restu ini didukung sepenuhnya sehingga pencalonan Uu Ade Sukaesih berjalan mulus tanpa perlawanan berarti dari masyarakat. Bahkan, dalam penentuan wakil wali kota, suara Herman tidak dibantah ketika dia menunjuk salah satu temannya, Darmaji Prawirasetia sebagai calon wakil wali kota. Herman Sutrisno memang tidak memiliki kekuasaan yang ril melalui jabatan wali kota namun dia sukses merekrut orang-orang dekatnya untuk menggantikan posisinya di pemerintahan. Lewat istri dan temannya inilah Herman menunjukkan pengaruhnya sebagai orang kuat di Kota Banjar.
Pilwalkot 2013 diikuti oleh 5 pasangan calon, dengan komposisi 3 paslon berasal dari jalur perseorangan dan 2 paslon diusung parpol. Kedua paslon tersebut adalah Ade Uu Sukaesih – Darmaji Prawirasetia dan Akhmad Dimyati – Muin Abdurrochim. Pasangan Uu – Darmaji diusung oleh Golkar, Gerindra, PPP, PKB, PKS, dan PKPI. Sementara pasangan Dimyati – Muin diusung oleh PDIP dan PBB.
Munculnya 5 paslon dalam Pilwalkot 2013 secara kuantitas dua kali lebih banyak dibanding pilkada 2008. Kemunculan calon-calon ini bisa dibaca sebagai antusiasme warga untuk menunjukkan potensi dan kemampuan mereka untuk memimpin daerah. Bisa juga dibaca sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap ambisi Herman Sutrisno untuk melanggengkan kekuasaannya di tanah Banjar.
Dari kontestasi tersebut, pasangan Uu Ade Sukaesih – Darmaji Prawirasetia unggul atas semua lawan politiknya dengan meraih 69.453 (67,4 persen) suara. Kemenangan ini selain karena keuletan figur paslon dan soliditas mesin partai dalam mengonsolidasi dukungan, peran Herman Sutrisno sebagai wali kota saat itu juga ikut menentukan.
Hal ini wajar karena Herman Sutrisno ingin sekali jabatan wali kota ini tetap berada di bawah kendalinya meski secara de facto jabatan tersebut dijalankan oleh orang lain. Kemenangan Uu Ade Sukaesih menjadi jalan bagi Sutrisno untuk meneruskan kekuasaannya secara langsung kepada sang istri.
Di balik transisi kekuasaan dari suami kepada istri inilah lahir motif dinasti politik di Kota Banjar. Motif ini semakin kuat ketika Uu Ade Sukaesih memutuskan untuk ikut kembali dalam kontestasi Pilwalkot Banjar 2018, mengikuti jejak sang suami yang memimpin Kota Banjar selama dua periode.
Cikal Bakal Dinasti Politik.
Membahas peta politik di Kota Banjar rasanya kurang lengkap kalau mengabaikan sepak terjang Herman Sutrisno, sosok utama di balik sejarah pemekaran Kota Banjar. Banyak ceritera atau narasi yang menjelaskan tentang kepiawaian dan jasa-jasa mantan dokter ini ketika berjuang melahirkan kota kecil di ujung tenggara Jabar ini.
Sebagai daerah otonom baru, sejarah pemerintahan Kota Banjar belum terlampau panjang seperti daerah induknya Kabupaten Ciamis. Kota Banjar dulunya merupakan salah satu pusat kekuasaan dari Kerajaan Galuh yang berdiri pada abad VII. Perubahan dan dinamika eksistensi wilayah kerajaan ikut memengaruhi posisi Banjar terhadap Kerajaan Galuh yang berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis pada 1916.
Dalam perjalanan sejarah tersebut, narasi tentang Banjar hanya disebutkan sebagai salah satu pusat kekuasaan dari Kerajaan Galuh. Hampir tidak ada narasi yang menceriterakan tentang para penguasa Banjar yang menonjol lalu menurunkan trah-trah penguasa daerah hingga sekarang.
Dalam beberapa literatur disebutkan, Banjar bukanlah sebuah kota yang benar-benar baru. Kota Banjar telah mengalami peningkatan status dalam beberapa periode. Tahun 1937-1940 kedudukan Banjar hanya ibu kota kecamatan. Lalu, tahun 1941-1992 kedudukannya meningkat menjadi ibu kota kewedanaan.
Periode berikutnya, yaitu tahun 1992-2003 kedudukan Banjar ditingkatkan menjadi Kota Administratif (Kotif). Terakhir, tahun 2003 hingga sekarang kedudukan Banjar resmi menjadi sebuah kota yang dipimpin oleh wali kota definitif.
Herman Sutrisno termasuk sosok yang sukses mempertahankan jabatan wali kota selama 20 tahun yang dijalankan secara bergantian dengan istrinya, Uu Ade Sukaesih. Sejak Herman terpilih sebagai wali kota pada 2003, nyaris tidak terdengar nama-nama tokoh lain yang bisa menyamai reputasi Wali Kota Banjar 2 periode ini.
Kemampuan Herman dalam mengelola kekuasaan ibarat para penguasa pada zaman kerajaan atau bupati pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu para penguasa memegang jabatan mereka bisa berpuluh-puluh tahun lamanya. Jika di Kota Banjar tidak pernah ada trah penguasa yang lahir dari tanah Banjar, maka Herman Sutrisnolah yang sudah berhasil membentuk dinasti politik dengan membuat sirkulasi elit di Banjar hanya berputar pada dirinya dan istrinya, atau bahkan hingga anak cucu mereka kelak.
Harus diakui bahwa popularitas Herman sebagai tokoh utama di balik gerakan pemekaran Kota Banjar memberikan benefit politik yang luar biasa bagi pengembangan potensi politiknya hingga sekarang. Potensi yang jelas terbukti adalah keberhasilan Herman menjabat Wali Kota Banjar dua periode tanpa perlawanan yang berarti. Dari jabatan inilah Herman mulai membangun impian politiknya untuk mempertahankan jabatan wali kota selama mungkin.
Herman memang dikenal oleh masyarakatnya sebagai kepala daerah yang “royal” menelurkan kebijakan-kebijakan populis yang terkait langsung dengan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Selama 10 tahun memimpin, sosok Herman Sutrisno sebagai wali kota yang populer mendongkrak figur pribadinya menjadi seorang tokoh yang sangat berpengaruh di Kota Banjar. Pengaruh ini setara dengan kekuatan politik yang direpresentasikan oleh partai politik di Kota Banjar.
Herman Sutrisno adalah Wali Kota Banjar yang diusung oleh Partai Golkar. Dua posisi ini merupakan sumber kekuasaan formal yang menopang pengaruh Herman dalam bidang politik dan pemerintahan. Figur Herman dengan kekuatan pengaruhnya juga menjadi sumber legitimasi kekuasaannya langsung kepada rakyat Banjar. Konfigurasi jabatan wali kota, Ketua Golkar, dan sosok Herman ini sangat terlihat kekuatannya ketika Herman mampu mengendalikan peta politik dan memenangkan pilkada.
Selama 3 kali pilkada di Kota Banjar, Herman Sutrisno berhasil mengarahkan pendulum politik Banjar sehingga koalisi yang dibentuknya selalu sukses dalam memenangkan pilkada. Tahun 2008 Herman Sutrisno melalui Golkar berhasil memborong dukungan mayoritas partai di DPRD yaitu PDIP, PPP, PBR, Demokrat, PKPB, PBB, dan Patriot.
Tindakan Herman ini hanya menyisakan 2 parpol yaitu PAN dan PKB. Komposisi dukungan yang timpang ini membuat Herman Sutrisno yang berpasangan dengan politisi PDIP Akhmad Dimyati berhasil menang telak dengan dukungan 92,13 persen suara.
Kemampuan Herman mengendalikan peta politik juga terlihat ketika Pilwalkot 2013, di mana Golkar dan PDIP pecah kongsi dalam mengusung paslon. Saat itu PDIP memilih untuk mengusung kadernya sendiri, Akhmad Dimyati sebagai calon wali kota melawan calon yang dikehendaki Herman yaitu istrinya sendiri, Uu Ade Sukaesih.
Herman menunjukkan kekuatannya dengan memborong dukungan dari Partai Golkar, Gerindra, PPP, PKB, PKS, PAN, dan PKPI untuk membendung PDIP. Herman hanya menyisakan PBB untuk dirangkul PDIP sebagai mitra koalisi. Menghadapi kekuatan yang dimobilisir Herman ini kekuatan PDIP goyah juga, meskipun PDIP merupakan partai yang paling bisa bersaing dengan Golkar di kota ini.
Hasilnya, Herman berhasil memenangkan istrinya untuk menjadi wali kota yang menggantikan dia. Kemenangan ini menjadi tonggak sejarah bagi Herman dalam melanggengkan kekuasaan melalui istrinya. Keinginan ini semakin kuat motifnya ketika Herman merekomendasikan kembali istrinya untuk maju dalam pilwalkot 2018.
Motif ini sudah bisa diendus oleh para politisi dan tokoh masyarakat di Banjar ketika Herman mengangkat istrinya untuk menjadi Wakil Ketua DPC Golkar ketika dia menjabat sebagai Ketua DPD Golkar Kota Banjar tahun 2003. Posisi Uu ini dibaca sebagai strategi Herman untuk mempersiapkan istrinya sebagai Ketua Golkar ketika masa jabatannya selesai. Posisi ini sangat strategis karena menjadi tiket untuk masuk ke dalam bursa calon wali kota.
Hasilnya memang seperti yang sudah diduga. Ketika Herman diangkat sebagai pengurus DPD Golkar Jabar, posisi yang ditinggalkannya diisi oleh istrinya. Jabatan inilah yang membuat Uu sebagai satu-satunya tokoh yang paling layak mendapat rekomendasi partai untuk menjadi Wali Kota Banjar kedua kalinya melalui kontestasi pilwalkot 2018.
Herman Sutrisno terbilang berhasil mengelola kekuatan pengaruhnya menjadi sosok yang dominan di balik kontestasi pemilihan wali kota. Kemampuan dia melanggengkan kekuasaan wali kota yang ditinggalkan melalui istrinya mengindikasikan terbentuknya dinasti politik bersamaan dengan berdirinya Kota Banjar.
Herman sendiri tidak memiliki akar kekerabatan dengan para penguasa Banjar terdahulu. Pria kelahiran Tasikmalaya tahun 1951 ini tidak memiliki jejak kehidupan sama sekali di Kota Banjar. Masa pendidikan dasar dan menengah dilalui di tempat kelahirannya. Pendidikan tinggi ditempuh di Kota Bandung. Sebagian besar karirnya dihabiskan sebagai PNS dan birokrat di Kabupaten Ciamis. Jabatan tertinggi yang dipegang oleh Herman sebelum menjadi wali kota adalah Direktur RSU Ciamis.
Herman Sutrisno memulai dinasti politik melalui caranya mengelola semua sumber daya yang dia miliki yaitu jabatan wali kota, politisi Golkar, dan popularitasnya. Perpaduan ketiga aspek yang menjadi sumbu kekuatan ini mengubah Herman dari seorang birokrat biasa menjadi figur yang sangat dominan pengaruhnya di Kota Banjar. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)