Politik Sunyi Paluta Mengukuhkan Harajaon
Tidak lebih satu jam saja pesawat ATR 72-600 Wings Air mengudara dari Bandara Internasional Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara, tepat 12.50 WIB mendarat di Bandara Aek Godang, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.
Jarak perjalanan sejauh 370 km yang biasa ditempuh dengan transportasi darat rata-rata selama 9-10 jam itu, kini terpangkas lebih singkat. Sejak dua tahun lalu, Wings Air mengisi rute ini dengan sekali penerbangan setiap hari.
Dengan kehadiran transportasi udara, warga Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), maupun kabupaten-kabupaten ataupun kota sekitar yang sebelum termekarkan masuk dalam Kabupaten Tapanuli Selatan itu memiliki banyak alternatif dalam menunjang mobilitas mereka.
Jarak dan waktu menjadi semakin terpadatkan. Tidak ada halangan teknis selama perjalanan. Layanan penerbangan pun relatif cepat, dan tampak benar waktu menjadi sangat berharga.
Namun, ada pemandangan yang mengusik. Pesawat tampak lowong. Daftar penumpang dalam manifes penerbangan menunjukkan, tidak sampai seperlima kapasitas penumpang pesawat yang terisi.
Pesawat sejenis itu, diperkirakan mampu menampung hingga 72 penumpang. Terpaksa, untuk menyebarkan beban dan mengisi kursi-kursi pada pintu darurat, awak pesawat memindahkan beberapa penumpang.
Minimnya penumpang tidak hanya persoalan maskapai penerbangan. Taksi bandara, ikut menjadi “korban”. Meja penyedia jasa transportasi bandara sepi peminat. Sekalipun pengemudi ikut sibuk menawarkan jasa, tiada yang tertarik.
Penumpang yang sedikit itu rata-rata sudah memiliki jemputan. Padahal, bandara ini setiap hari hanya memiliki jadwal penerbangan satu kali itu saja.
“Beginilah Aek Godang, bayangkan hari ini hanya satu penumpang sewa ke Padang Sidimpuan,” ungkap Ritonga (36), salah seorang pengemudi.
***
Padang Lawas Utara, salah satu kabupaten yang terletak di tenggara provinsi Sumatera Utara itu secara administratif pemerintahan memang tergolong belia. Pemerintahannya resmi berdiri 10 Agustus 2007 lalu, hasil dari pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan.
Kabupaten yang memiliki area sekitar 3.892 km2, hampir enam kali luas provinsi DKI Jakarta itu, memang terasa lengang jika menelusuri ruas-ruas jalan utamanya. Padang Lawas Utara kini berpenduduk sekitar 250 ribu jiwa, atau dengan kepadatan penduduk hanya sebesar 65 orang tiap km2.
Jika berpatokan pada hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk masih sekitar 223.531. Jumlah tersebut menempatkan Padang Lawas Utara dalam urutan ke-3 dari 33 kabupaten dan kota terendah kepadatan penduduknya di Sumatera Utara.
Memang, Padang Lawas Utara lengang. Di luar kota pemerintahan, Gunung Tua, sepanjang jalan lebih banyak dipenuhi oleh areal perkebunan kelapa sawit, sesekali karet, dan tanaman-tanaman vegetasi hutan.
Ciri khas wilayah ini, di antara areal perkebunan, tampak perbukitan dengan hamparan padang rumput dan semak yang luas. Padang Lawas, sesuai nama yang diberikan merujuk pada hamparan bukit-bukit padang yang biasa digunakan bagi penggembalaan ternak.
Posisi geografis Kabupaten Padang Lawas Utara yang berada di tengah pegunungan bukit barisan itu terjepit di antara berbagai wilayah administratif lainnya.
Sebelah Barat, ia bersinggungan dengan bekas kabupaten induk, Tapanuli Selatan. Masih di sebelah barat, bersinggungan pula dengan Kota Padang Sidimpuan, kota administratif pemerintahan yang jauh lebih ramai.
Selatan Padang Lawas Utara, terdapat wilayah Kabupaten Padang Lawas. Kabupaten ini juga terbentuk hasil pemekaran Tapanuli Selatan.
Sementara sebelah Utara, berbatasan dengan tiga kabupaten pemekaran Labuhan Batu, yaitu Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, dan Labuhan Batu Selatan. Ketiga kabupaten tersebut juga dikenal sebagai bagian dari area perkebunan pantai timur Sumatera.
Batas sisi Timur, merupakan Kabupaten Rokan Hulu. Kabupaten ini sudah merupakan bagian sebelah barat Provinsi Riau. Dengan demikian, Padang Lawas Utara menjadi salah satu pintu perbatasan Sumatera Utara dengan Provinsi Riau.
Posisi geografis Padang Lawas Utara yang diapit oleh berbagai wilayah administratif lainnya itu menempatkan kabupaten ini sebagai bagian dari jalur perlintasan. Umumnya jalur perlintasan, pada jam-jam tertentu saja wilayah ini diramaikan oleh truk, bus, dan angkutan umum antar wilayah.
Selebihnya, jalan raya menjadi lintasan truk-truk bermuatan kelapa sawit, minyak pengolahan sawit, dan kendaraan yang membawa hasil-hasil pertanian dan peternakan.
Menarik mencermati posisi sosial, ekonomi, dan politik Padang Lawas Utara dan sekitarnya. Di balik kesunyian yang tertonjolkan, justru banyak kisah potret jaman yang tergurat di dalamnya.
Dapat dikatakan, sejak dahulu hingga kini di balik sisi sunyi Padang Lawas Utara mencuatkan dinamika sosial, ekonomi, hingga politik yang terus-menerus berproses dan menguak beragam tanda tanya besar di dalamnya.
Sebagai wilayah pemerintahan daerah, sekalipun Kabupaten Padang Lawas Utara baru sebelas tahun lalu berdiri, namun tidak kurang sudah sepuluh abad atau seribu tahun yang lalu wilayah ini menjadi pusat perhatian.
Penanda penting paling mencolok, berupa kompleks Candi Bahal yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Padang Lawas Utara dan Padang Lawas. Keberadaan kompleks candi-candi tersebut menjadi bukti sejarah yang tidak terbantahkan.
Berbagai literatur mengungkapkan, situs candi-candi atau biaro (dalam sebutan masyarakat setempat) tersusun dari bahan bata merah, terbangun pada abad ke-11.
Candi-candi ini lebih banyak dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Pannai, kerajaan Budha di pesisir Selat Malaka, yang dikemudian waktu termasuk kerajaan penaklukan Sriwijaya.
Keberadaan candi-candi yang diperkirakan berjumlah 26 runtuhan dan tersebar dalam bentangan 1500 km2 situs percandian di Padang Lawas, yang menjadi hulu Sungai Batang Pane dan Barumun itu, hingga kini masih tetap menyimpan misteri.
“Menurut cerita dari generasi ompung-ompung (kakek) kami, waktu mereka datang ke sini, biaro-biaro itu sudah ada. Tidak ada penduduk menetap di sini. Kalau ada pun orang kita pula,” ungkap Harahap (52) warga sekitaran kota Gunung Tua.
Keberadaan candi-candi yang tersebar membangun anggapan Padang Lawas menjadi wilayah penting. Sering dirujuk sebagai pusat kerajaan dan pemukiman masyarakat.
Dengan mengambil sudut pandang demikian, Padang Lawas diposisikan sebagai sentral peradaban. Artinya, di tempat ini sejak dulu sudah menjadi pusat aktivitas manusia, baik perekonomian, sosial budaya, hingga politik dan pemerintahan.
Hanya, menjadi tanda tanya besar jika sejauh ini tidak banyak pendukung yang menguatkan hal demikian. Selain candi-candi tidak banyak artefak dan bukti pendukung yang memosisikan wilayah ini sebagai pusat peradaban.
Di balik pertanyaan tersebut, terdapat anggapan bahwa kumpulan Candi Bahal di Padang Lawas Utara dan sekitarnya itu hanya sebatas biara, yang diperuntukkan sebagai tempat pemujaan atau persembahyangan umat Budha di kala itu.
Argumentasinya, sebagai tempat pemujaan atau persembahyangan, candi-candi dibangun justru di wilayah sunyi yang menjauh dari keramaian pemukiman. Lokasi Padang Lawas yang berada jauh di hulu sungai Batang Pane dan Barumun yang bermuara di Selat Malaka (Labuhan Batu) itu menjadi lokasi yang tepat.
Setelah Sriwijaya dihancurkan oleh ekspedisi militer Chola, disebut-sebut pula nama Kerajaan Aru yang diperkirakan berada di seputaran daerah aliran sungai Barumun dengan muara Selat Malaka.
Aru dipaparkan dalam ekspedisi pelaut Portugis, Tome Pires yang mengunjungi Malaka tahun 1508. Laporan Pires menunjukkan wilayah Aru yang dialiri oleh sungai besar dan jauh ke pedalaman hingga sebagian di Minangkabau.
Wilayah Aru ini menghasilkan emas, beras, daging, kamper, rotan, ataupun gaharu. Semua produk didagangkan melalui darat dan laut. Deskripsi geografis dan hasil alam yang dituliskan Pires tentang Kerajaan Aru sangat lekat pada kondisi Padang Lawas.
Begitu pula berbagai catatan lain yang dibuat oleh pelaut-pelaut Balanda (VOC), laporan pedagang-pedagang Tionghoa, hingga catatan botanis Inggris Miller (1773), maupun deskripsi Marsden dalam “The History of Sumatra” (1811), menunjukkan eksistensi wilayah dan penduduk sekitaran yang merujuk pada Padang Lawas.
Semua pandangan di atas belum menjadi suatu kepastian. Namun, sisi pasti yang diperoleh, keberadaan bangunan candi yang tersebar itu sudah menjadi suatu bukti berprosesnya secara dinamis kreasi kultural manusia di kesunyian belantara Padang Lawas.
***
Dapat dikatakan penduduk Padang Lawas Utara cenderung bersifat homogen. Kabupaten ini lebih banyak ditempati beberapa kelompok etnik Batak saja.
Saat ini, jika hasil Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan Badang Pusat Statistik dijadikan rujukan, menunjukkan bahwa etnis Batak, dengan sub etnik Batak Angkola mengambil proporsi terbesar.
Hampir tiga perempat bagian (72,4 persen) jumlah penduduk. Sekalipun terdapat juga kelompok suku Jawa, keberadaannya tidak lepas dengan perluasan perkebunan dari belahan Sumatera Timur.
Menjelaskan asal-muasal penduduk yang mendiami wilayah ini, berbagai rujukan menunjukkan keberadaan warga Batak Angkola tidak lepas dari keberadaan suku bangsa Batak yang berasal dari tepian Danau Toba.
Sebagian dari kelompok suku tersebut memilih bermigrasi ke wilayah-wilayah lain, terutama memilih ke arah Selatan.
Pada bagian-bagian awal buku karya Mangaradja Onggang Parlindungan berjudul “Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833” (1964, 2007) mengungkapkan, di tempat awal bermukim suku Batak sudah terdapat dikotomi.
Salah satu dari silsilah Isumbaon yang selanjutnya mengembangkan dinasti Singamangaradja dan silsilah Guru Tatea Bulan yang berkembang menjadi dinasti Sori Mangaraja. Secara turun-temurun kedua dinasti tersebut hadir dan memilah dua kelompok penduduk.
Dari daftar silsilah marga-marga Batak yang dikutip dari Kamus Budaya Batak Toba, (MA Marbun dan Hutapea, 1987) terbitan Balai Pustaka, dari turunan SiRaja Batak yang bermukim di Gunung Pusuk Buhit Sianjur Mulana, juga memilah dua kelompok turunan marga. Dari kedua kelompok tersebut muncul puluhan variasi marga lainnya.
Pemilahan identitas perbedaan menjadi semakin tegas sejalan dengan penguasaan wilayah pemukiman dan kehadiran pengaruh agama. Kalangan marga-marga Batak seputaran Danau Toba (Batak Utara) mendiami wilayah Tapanuli Utara dan sekitarnya, mayoritas menjadi pemeluk agama Kristen.
Sebaliknya, kalangan marga-marga Batak yang bermigrasi ke arah Selatan, menempati wilayah-wilayah yang kini dikenal Tapanuli Selatan, Angkola, hingga Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat dan Riau, mayoritas beragama Islam. Kondisi tersebut terjaga hingga kini.
Apabila ditelusuri, migrasi suku bangsa Batak dari seputaran Danau Toba ke wilayah Selatan terjadi dalam beberapa kelompok marga.
Didahului oleh Marga Lubis, yang dalam penuturan versi Mangaradja Onggang Parlindungan sudah 1500 tahun lampau, dengan membuka lahan-lahan baru secara berpindah-pindah. Migrasi marga Lubis berlanjut hingga wilayah Mandailing Selatan yang berbatasan dengan Sumatera Barat.
Terdapat pola dan arah migrasi yang berbeda-beda pada kelompok suku Batak Selatan lainnya. Marga Siregar banyak tersebar di Tapanuli Selatan dan juga masih terdapat di sebagian wilayah-wilayah Utara.
Bahkan, marga Nasution disebutkan punya asal-usul yang berbeda dengan suku bangsa Batak lainnya namun mengadopsi kultur Batak dalam kesehariannya.
Pola dan arah migrasi yang berbeda dilakukan oleh Marga Harahap. Marga yang awalnya berasal dari kawasan Selatan atau Timur Toba ini memilih bermigrasi menjauhi asalnya dan memilih menuju lebih ke wilayah Timur.
Padang Lawas pada akhirnya menjadi basis wilayah pemukiman mereka. “Jangan heran, banyak warga di sini tidak tampak marga dalam namanya, tapi sebenarnya bermarga Harahap,” ungkap Fahmi (41), salah seorang PNS setempat.
Saat mendiami Padang Lawas, hamparan padang rumput yang luas memaksa sebagian besar dari Marga Harahap beradaptasi mata pencaharian menjadi peternak sapi dan kerbau. Sebagai penggembala ternak, mereka juga mahir dalam menunggang kuda.
Namun, terdapat pula sebagian kelompok Marga Harahap yang memilih tetap bercocok tanam. Kelompok warga yang memilih bercocok tanam sebagian besar bermukim di seputaran wilayah-wilayah subur Angkola yang berbatasan dengan Padang Lawas.
Adaptasi mata pencaharian yang mengandalkan hasil penggembalaan ternak menuntun kehidupan masyarakat lebih bersifat nomaden. Mereka berpindah-pindah dari satu padang rumput ke padang yang lain di seputaran Padang Lawas. Pola kehidupan penggembalaan demikian pada akhirnya ikut mempengaruhi pola kehidupan sosial penduduk.
Menurut Mangaradja Onggang Parlindungan, corak kehidupan feodalisme yang terbawa dari mata pencaharian dan kepemilikan itu menjadi sisi kehidupan yang terwariskan pada Marga Harahap di Tanah Batak Selatan.
Melalui penguasaan lahan, hewan ternak, dan pekerja-pekerjanya, kehidupan marga ini tergolong berkecukupan yang semakin memungkinkan terbangunnya kultur feodal. Saat itu, misalnya, dikenal sosok-sosok penguasa feodal Batunadua, Losungbatu, Hutarimbaru, dan sebagiannya.
Model semacam ini tidak dikenal di Tanah Batak Utara. Hanya, dalam perkembangannya, model demikian menjadi semakin lumrah bagi kalangan Batak Selatan, setelah kelompok-kelompok masyarakat bermarga Lubis, Nasution dan lainnya ikut pula mempraktikkan di Mandailing.
***
Membuka lembaran sunyi sejarah Padang Lawas tidak hanya bertutur pada keberadaan Candi dan asal muasal komunitas Batak yang pada mula mendiaminya. Pertengahan abad ke-19, lintasan kesunyian Padang Lawas kembali beriak.
Tahun 1843, pemerintahan kolonial Hindia Belanda membentuk wilayah Keresidenan Tapanuli yang beribu kota pemerintahan di Sibolga. Saat itu, Padang Lawas dimasukkan dalam penguasaan asisten residensi Mandailing Angkola, salah satu bagian dari Keresidenan Tapanuli.
Sebaran wilayah Mandailing Angkola kurang lebih menggambarkan Kabupaten Tapanuli Selatan sebelum pemekaran, yang meliputi wilayah-wilayah Angkola, Sipirok, Padang Sidimpuan, Mandailing Natal, dan Padang Lawas.
Pada periode penguasaan Hindia Belanda di Minangkabau, gerakan kaum Paderi dalam kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol yang berupaya memurnikan ajaran Islam di Sumatera Barat tengah berlangsung.
Pemberontakan kaum ulama terhadap kaum adat yang selanjutnya melibatkan pihak Hindia Belanda itu bereskalasi hingga wilayah-wilayah Mandailing Angkola. Padang Lawas tidak luput.
Dari berbagai pustaka yang menuturkan sepak terjang gerakan Paderi di Mandailing Angkola, penuturan Basyral Hamidy Harahap dalam bukunya: Greget Tuanku Rao (2007) menarik dicermati.
Dalam salah satu bagian penjelasannya, ia mengungkapkan bagaimana keberadaan sosok Hamonangan Harahap, salah satu panglima perang Paderi yang lebih banyak disebut sebagai Tuanku Tambusai.
Dia memiliki leluhur (kakek) berasal dari desa di pinggir Aek Sihapas, Batang Onang, Padang Bolak yang kini masuk wilayah Padang Lawas Utara.
Tuanku Tambusai yang bermarga Harahap itu dalam catatan Willer (1846), yang dijadikan rujukan Basyral Harahap dalam bukunya, justru dinilai sebagai sosok sarat dengan tindakan kekerasan.
Dalam praktik pemurnian agama, tidak segan-segan ia menggunakan berbagai aksi kekerasan dalam menguasai satu per satu kampung di Padang Lawas. Pembakaran rumah, perampokan, penjarahan, hingga pembunuhan secara sadis dilakukan di kawasan yang sebenarnya masih tergolong kampung halamannya.
Aksi Tuanku Tambusai di Padang Lawas dikisahkan berhadapan dengan Datu Bange, Kepala Luat Distrik Dolok (Raja Simanabun), yang menganut Islam dan pendukung nilai-nilai tradisi setempat.
Datu Bange, dikenal dengan turunan Marga Harahap Babiat, hingga saat itu belum juga dapat ditaklukkan. Beberapa pertarungan yang sebenarnya merupakan perang sesama penduduk setempat itu terjadi. Pada akhirnya, Batu Bange tersingkir.
Penuturan lain, dalam risalah Pahlawan Nasional Tuanku Tambusai (Hamonangan Harahap/Muhammad Saleh): Sejarah Ringkas Kehidupan dan Perjuangannya yang ditulis oleh Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah (1996).
Catatan setebal 30 halaman yang juga dirujuk Basyral Hamidy Harahap itu menunjukkan, kehadiran Tuanku Tambusai yang menaklukkan para raja di Padang Lawas merupakan bagian dari pemurnian agama.
Itu dilakukan atas berbagai kekacauan yang dilakukan oleh penduduk dataran tinggi yang penduduknya parbegu (kaum kafir) dipimpin Datu Bange, Raja Simanabun dengan benteng di tepian Sungai Batang Pane.
Berjatuhannya korban pasukan Paderi dan tewasnya salah seorang panglima Kadhi Sulaiman, kepala daerah Portibi, daerah Padang Lawas, oleh Daru Bange membuat Tuanku Tambusai kembali menyerang dan akhirnya menguasai wilayah itu.
Bagi Basyral Hamidy Harahap, terjadi distorsi dalam pengungkapan sosok Tuanku Tambusai dan kisah pergerakan Paderi, termasuk di kawasan Mandailing, Angkola, termasuk Padang Lawas.
Kisah Tuanku Tambusai, salah seorang panglima Paderi yang sudah dikukuhkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional itu dalam buku Basyral Hamidy Harahap masih mengundang perdebatan.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang ditimbulkan, berbagai pustaka menyiratkan bahwa sejarah Padang Lawas nyatanya tidak lepas dari konflik dan kekerasan yang bersifat sadistis.
Di balik kesunyiannya, wilayah ini mengisahkan sisi gelap perang saudara yang melibatkan sesama turunan kelompok etnik Batak, bahkan dalam satu kesatuan marga-marga yang bermukim di wilayah ini.
***
Beruntung, kekinian Padang Lawas tidak seperti kekelaman yang dilaluinya. Saat ini, posisi ekonomi Padang Lawas dalam keseluruhan Provinsi Sumatera Utara tergolong lumayan.
Dari 33 kabupaten dan kota di Sumut, misalnya, Padang Lawas Utara masuk dalam posisi tengah. Segenap hasil pengelolaan sektor-sektor ekonomi wilayah (berdasarkan lapangan kerja) yang ditunjukkan oleh nilai PDRB-nya, pada tahun 2016 lalu tercatat sebesar Rp 9,01 trilyun.
Jumlah tersebut, jika dihitung per kapitanya (PDRB/kapita) sebesar Rp 27,1 juta per kapita, atau menduduki ranking ke-15 dari 33 kabupaten dan kota se-Sumut.
Menjadi lebih menarik jika membandingkan posisi ekonomi Padang Lawas Utara dengan kabupaten atau pun kota sekitarnya, yang pada masa lampau masuk dalam wilayah Tapanuli Selatan.
Perbandingan demikian menempatkan Padang Lawas Utara dalam banyak indikator termasuk wilayah papan atas. Dari sisi PDRB per kapita, kabupaten ini hanya terkalahkan oleh kabupaten induknya, Tapanuli Selatan.
Namun dari sisi tingkat kesenjangan ekonomi, Padang Lawas Utara terkecil, di atas Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padang Lawas, ataupun Kota Padang Sidimpuan. Koefisien Gini Padang Lawas Utara sebesar 0,25, jauh di atas Sumatera Utara (0,32), yang menandakan kondisi ekonomi warga di wilayah ini relatif dalam range yang tidak jauh berbeda.
Memang, dalam berbagai indikator ekonomi lainnya Padang Lawas Utara tidak mencolok. Angka kemiskinan, misalnya, berkisar pada 10,8 persen. Bukan posisi terbaik, namun bukan pula menjadi kabupaten paling miskin di kawasannya.
Posisi ekonomi semacam ini ditopang oleh karakteristik pengelolaan sektor-sektor ekonomi wilayah ini.
Sekalipun Padang Lawas Utara berada dalam kawasan pegunungan, yang umumnya bermata pencaharian dalam pengelolaan sektor-sektor ekonomi primer pertanian, namun kegiatan-kegiatan ekonomi sektor sekunder dan tersier juga berkontribusi besar.
Kegiatan-kegiatan yang menghasilkan nilai tambah ekonomi besar seperti industri pengolahan perkebunan, perdagangan, jasa keuangan, dan kontruksi signifikan di Padang Lawas Utara.
Hasil pencatatan Badan Pusat Statistik (BPS), memang kontribusi sektor primer seperti pertanian masih terbesar (38,8 persen). Akan tetapi, sektor indutri pengolahan menduduki urutan kedua terbesar, berkontribusi hampir 19 persen dari total nilai kegiatan ekonomi di wilayah ini.
Keberadaan industri pengolahan kelapa sawit yang ditandai oleh beberapa perusahaan Penanaman Modal Asing seperti PT Austindo Nus Jaya Agri, PT Eka Pendawa Sakti, serta perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri PT Sinar Lika Portibi Jaya, PT Tindoan Bujing, PT First Mujur Plantation & Industry, dan beberapa perusahaan perkebunan.
Begitu pula, sebagai wilayah kabupaten yang relatif baru, berbagai kegiatan-kegiatan pembangunan fisik dan konstruksi berlangsung. Sektor demikian menyumbangkan hingga 15,2 persen dari total PDRB. Dengan segenap kontribusi sektor-sektor usaha semacam ini, Padang Lawas Utara tidak lagi menjadi wilayah yang bertumpu sepenuhnya pada sektor pertanian, seperti umumnya kabupaten di wilayah dataran tinggi.
***
Dengan kondisi ekonomi yang relatif memadai dari wilayah sekitarnya, sekalipun tampak sunyi, derap perubahan Padang Lawas Utara mulai terasakan. Hanya saja dari aspek perpolitikan, dinamika politik semakin sayup. Sisi sunyi Padang Lawas Utara tampak nyata dalam ajang kontestasi politik Pilkada kali ini.
Berbeda dengan beberapa penyelenggaraan pilkada sebelumnya yang selalu menarik minat banyak tokoh untuk bersaing, kini Padang Lawas Utara sepi peminat. Ketua KPU Padang Lawas Utara, Rahmat Hidayat Siregar (12/2) menetapkan hanya satu pasangan: Andar Amin Harahap dan Hariro Harahap sebagai calon bupati dan wakil bupati.
Artinya, Pilkada Padang Lawas Utara bersama 15 daerah lainnya merupakan pilkada calon tunggal yang berhadapan dengan kolom kosong.
Hasil Pilkada, tanpa kesulitan berarti, duo Harahap itu meraih hingga 80,23 persen suara. Partisipasi pemilihnya pun tergolong tinggi, mencapai 78,81 persen. Secara politik, jelas besaran proporsi suara yang diraih menunjukkan tingginya legitimasi masyarakat pada pasangan ini.
Siapakah Andar Amin Harahap hingga mampu menyatukan semua kekuatan partai politik (11 Partai politik) yang memiliki 30 kursi di DPRD Padang Lawas Utara?
Andar Amin Harahap (36) bukan kali ini saja bertarung di Pilkada. Ia adalah Walikota Padang Sidimpuan periode 2013-2018. Pada Pilkada 2012 lalu, ia berpasangan dengan Isnan Nasution dan memenangkan Pilkada dengan memperoleh 48,19 persen suara.
Ia mengalahkan lima pasangan lainnya. Pesaing terdekatnya, juga bermarga Harahap: Dedi Harahap yang berpasangan dengan Affan Siregar meraih 35,17 persen. Kemudian Rusydi-Riswan 8,12 persen, Chaidir-Mara Gunung 6,93 persen, Amir Mirza-Nurwin 0,86 persen dan Habib-Soripada 0,73 persen.
Hanya satu periode di Kota Padang Sidimpuan, ia tidak berniat melanjutkan periode keduanya. Dalam Pilkada 2018 ia memilih menjajal Pilkada Padang Lawas Utara.
Bagi Andar Harahap, Padang Lawas Utara yang berdekatan dengan Padang Sidimpuan itu bukan wilayah asing. Ayahnya, Bachrum Harahap (66), adalah tokoh Padang Lawas yang sudah dua periode menjabat sebagai Bupati Padang Lawas.
Artinya, Andar Harahap kali ini melanjutkan masa jabatan kepala daerah yang ditinggalkan ayahnya.
Pindah posisi dari walikota menjadi bupati yang ditinggalkan ayahnya membuat kasus pilkada Padang Lawas Utara unik. Beragam komentar menyertai langkah-langkah politik yang dilakukan keluarga Harahap ini.
Di satu sisi, bagi sebagian penduduk Padang Lawas Utara, kehadiran Andar Harahap menjadi suatu kesukacitaan. “Kami sangat hormat dengan Bapak Bupati. Beruntunglah, anaknya melanjutkan,” papar Hasibuan (42) warga Padang Bolak.
“Kalau tidak ada perjuangan Bupati, mana ada Kabupaten Padang Lawas Utara ini,” tambah Lubis (37) pengunjung Pasar Gunung Tua.
Jika dicermati, sosok Bupati Bachrum Harahap menjadi kunci kemenangan. Ia memang sangat dominan di Padang Lawas Utara. Karir politik dan pemerintahannya sangat panjang.
Ia menjadi ketua DPRD Tapanuli Selatan dalam dua periode (1999-2004 dan 2004-2009). Selama di DPRD, ia menjadi salah seorang tokoh perintis pemekaran Tapanuli Selatan dan pendirian Kabupaten Padang Lawas Utara di tahun 2007.
Tahun 2008, setelah Padang Lawas Utara menjadi kabupaten baru dan mencari sosok pemimpin daerah, Bachrum Harahap ikut berkontestasi. Seperti umumnya pilkada di Sumatera Utara, saat itu pasangan calon yang bertarung banyak, tujuh pasangan.
Ketujuh pasangan calon, berasal dari calon perseorangan: Doli Sinomba Siregar–Ervansyah Harahap, Saiful Bahri Siregar–Ahmad Nagori Harahap.
Pasangan dukungan partai politik: Eddi Leman Siregar–Syarbaini Harahap (PPP dan PKS), Ramlan Siregar–Palit Muda Harahap (PKB dan PBR), Lahmuddin Dalimunthe–Syukur Nikmat Hasibuan (PNUI, PSI, PBB, PKPB, PDK, PBSD, PPDI, PNBK, PPIB, PKPI, PDS, & PPD), Hariro Harahap–Usman Hasibuan (Golkar dan Demokrat) serta Bachrum Harahap–Riskon Hasibuan (PDIP dan PAN).
Dengan meraih sekitar 43,8 persen, Bachrum Harahap-Riskon Hasibuan mampu menyingkirkan semua pesaingnya. Pesaing terdekat, pasangan Hariro Harahap-Usman Hasibuan, terpaut jauh lebih dari 22 persen dari Bachrum Harahap. Dengan kemenangan itu, Bachrum Harahap menjadi bupati pertama Padang Lawas Utara.
Periode kedua masa jabatannya, Bachrum Harahap menghadapi para penantang yang juga tidak sedikit. Pilkada 2012 diikuti oleh 5 pasangan. Bachrum Harahap kembali berpasangan dengan Riskon Hasibuan. Kali ini, bukan lagi PDI P yang mengusungnya, namun Golkar, PPRN, Pelopor, PAN, Hanura, PKS, Patriot.
Pesaingnya, Raja Aman Hasibuan-Darwinsyah (PKPI, PMB PKPB), Syahrul Harahap-Sunggul Lelo Siregar (Demokrat, Barnas, PPNUI, PKB), Sutan Siregar-Zulkifli Rambe (PDIP dan PPP), dan Ali Muda Rambe-Muhammad Awal Hasibuan dari calon perseorangan
Hasilnya, Bachrum Harahap menyapu hingga lebih dari dua pertiga suara. Pesaing terdekat, Syahrul Harahap-Sunggul Leli Siregar hanya mampu meraih tidak lebih dari seperempat bagian saja. Pasangan lainnya, terpaut sangat jauh dan meraih di bawah 10 persen saja.
Dua hasil pilkada yang dimenangkan menunjukkan posisi politik Bachrum Harahap yang semakin menguat. Ia berhasil mengukuhkan harajaon (kekuasaan) di Padang Lawas Utara.
Itulah mengapa, jika dalam Pilkada 2018 ini putranya: Andar Harahap berhasil menjadi calon tunggal dan dengan mudah memenangkan pertarungan tanpa lawan.
“Paluta (Padang Lawas Utara) ini memang sudah jadi kerajaan mereka,” ungkap Sahrial (37), warga Portibi. Selama sepuluh tahun menjabat, Bachrum Harahap terbukti berhasil menyatukan semua kekuatan politik dan mengukuhkan politik kekerabatan tanpa resistensi besar.
Menjadi semakin menarik mengamati sepak terjang Bachrum Harahap. Menelusuri pemberitaan dirinya, berbagai pemberitaan miring tidak luput menyertai karirnya.
Semenjak menjabat ketua DPRD Tapanuli Selatan, ia disangkut-pautkan dengan dugaan korupsi sebesar Rp 7,5 milyar dana APBD Kabupaten Tapanuli Selatan tahun anggaran 2001/2002.
Tahun 2008, ia juga dituding korupsi anggaran program kegiatan Dinas Pejabat Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) senilai Rp1,5 miliar. Tidak cukup sampai di situ, tahun 2012 juga diadukan para mahasiswa ke KPK terkait penyelewengan dana DPPKAD. Ia juga dikaitkan dengan penyelewengan dana bantuan bencana.
Begitu pula sejak menjabat Bupati, ia tidak segan-segan mengganti tokoh-tokoh yang berseberangan dengan kepentingannya dan memilih mereka yang sejalan dengan kepentingannya.
Segenap tudingan dan pelaporan tidak menyurutkan langkah Bachrum Harahap. Tidak banyak respons yang ia tampilkan dalam menanggapi semua tudingan pada dirinya. Seolah tidak terusik, ia cenderung memilih bekerja dengan kesenyapan.
Satu dasa warsa kepemimpinannya, geliat Kabupaten Padang Lawas Utara cukup diperhitungkan di seputaran Tapanuli bagian Selatan. Bahkan, secara ekonomi menempati posisi tengah Sumatera Utara. Harus diakui, semua tidak lepas dari kiprah Bachrum Harahap.
Sampai tahun 2018 ini, saat menuntaskan masa jabatan, ia pun berhasil menyiapkan karpet merah pemerintahan pada putranya, Andar Harahap. Di Padang Lawas Utara, harajaon Harahap tetap langgeng (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS).