Pemenangnya Wong Kito Galo
Berdasarkan laman resmi Pemerintah Kota Palembang, usia kota Palembang disebut yang tertua di Indonesia, setidaknya berusia 1.382 tahun berdasarkan prasasti Kedudukan Bukit. Prasasti itu yang sejauh ini diakui sebagai penanda keberadaan Kerajaan Sriwijaya.
Sejak era abad ke-6 sampai dengan ke-7 Masehi, Sriwijaya telah didirikan di tempat yang saat ini menjadi Kota Palembang, dengan topografi daerah yang dikelilingi air. Makna kata Palembang dalam bahasa Melayu, memang berarti suatu daerah yang digenangi air.
Penggambaran Sriwijaya sebagai kota yang sangat luas dan besar digambarkan dengan suara kokok ayam jantan yang tidak berhenti bersahut-sahutan mengikuti matahari terbit.
”Kota air” tersebut dimanfaatkan nenek moyang orang Palembang sebagai sarana transportasi yang vital dan efisien, menghubungkan tiga daerah: Pegunungan Bukit Barisan, daerah kaki bukit, dan pesisir timur laut.
Palembang yang menjadi ibu kota Sriwijaya merupakan kekuatan politik dan ekonomi di Asia Tenggara saat itu. Dimulai dari kawasan pusat distribusi komoditas milik para penguasa lokal (Datu), kemudian membesar dengan kekayaan yang berlimpah.
Penduduk kota dari berbagai etnis tinggal di atas rakit-rakit tanpa dipungut pajak, sedangkan para pemimpin hidup berumah di tanah kering di atas rumah panggung.
Meredupnya pamor Kerajaan Sriwijaya tak lepas dari persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan Kerajaan Cola dari India dan bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian kecil dari Sriwijaya lambat laun membesar dan menjadi kerajaan besar sebagaimana di Aceh dan Semenanjung Malaysia (www.palembang.go.id).
Palembang kini
Gambaran kebesaran dan Palembang sebagai "melting pot" masa Sriwijaya tersebut masih tecermin dalam kondisi saat ini. Berbagai etnis tinggal di Palembang.
Dari seluruh penduduk Kota Palembang, separuhnya diperkirakan adalah suku Melayu Palembang selain suku Jawa, etnis Tionghoa, dan berbagai suku lain ciri khas daerah urban.
Luas Kota Palembang hanya sekitar 370 kilometer persegi atau kira-kira setengah luas DKI Jakarta. Dari total 8,2 juta penduduk Sumsel (BPS, 2017), ada sekitar 1,6 juta jiwa memadati wilayah ini. Palembang kini menjadi pusat perdagangan, pemerintahan, dan tujuan urbanisasi di Sumatera Selatan dan sekitarnya.
Komposisi perantau dari Jawa diperkirakan cukup besar di Palembang. Hal ini dikarenakan sejumlah kabupaten di sekitar kota merupakan daerah sasaran program transmigrasi, seperti Musi Banyuasin ataupun kabupaten sepanjang Sungai Komering.
Sejumlah penanda budaya Jawa mudah terlihat di kawasan ini, mulai dari bentuk fisik bangunan, penggunaan idiom bahasa Jawa hingga materi siaran televisi lokal yang berisi acara wayang kulit.
Hal ini menjadikan perantau Jawa memiliki nilai komodifikasi tersendiri dalam setiap perhelatan politik baik di tingkat kota maupun provinsi.
Besarnya skala ekonomi Palembang tecermin dari PDRB kota yang mencapai Rp 118,7 triliun berdasarkan harga berlaku 2016. Ciri kota industri dan jasa tecermin dari komposisi PDRB kota yang konsisten sepanjang 2010-2016 menonjol di sektor industri pengolahan dan konstruksi.
Di tengah laju pembangunan dan modernisasi kota, wajah asli Kota Palembang sesungguhnya tak bisa melepaskan diri dari jati diri sebagai kota air.
Ciri kota air yang dominan tecermin dari banyak sungai yang melintasi Palembang. Terdapat empat sungai besar (Musi, Komering, Ogan, Keramasan) dan 68 anak sungai yang melintasi dan membelah Kota Palembang.
Lebar sungai-sungai itu antara 103 meter dan 504 meter. Sungai-sungai itu menjadi urat nadi pertumbuhan kota metropolitan Palembang bahkan sejak era Orde Lama.
Tengok pula keberadaan kompleks olahraga internasional Jakabaring. Kawasan yang kini berganti rupa menjadi stadion dan berbagai sarana olahraga berkelas dunia seluas sekitar 130 hektar itu semula adalah kawasan rawa-rawa.
Dalam konteks kepemimpinan daerah, butuh upaya keras paling tidak dua dekade kepemimpinan gubernur dan wali kota untuk membangun daerah Jakabaring.
Saat ini, Palembang juga menjadi kota pertama di Indonesia yang mengoperasikan kereta ringan (light rail transit/LRT) dari kawasan sport centre Jakabaring ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Ini LRT pertama Indonesia yang lebih dulu beroperasi ketimbang LRT ibu kota Jakarta.
Dari sisi politik, jumlah pemilih di Pilkada Palembang diperkirakan 1,1 juta pemilih. Meski relatif sedikit, daya tarik politik Palembang terletak pada masifnya proyek-proyek infrastruktur kota ini. Selain pembangunan LRT dan pengembangan sport centre Jakabaring, juga Tol Palembang-Indralaya sepanjang 23 kilometer.
Berbagai pembangunan itu disiapkan untuk penyelenggaraan Asian Games 2018 dan dalam jangka panjang sebagai perwujudan visi Gubernur Alex Noerdin untuk menjadikan Palembang sebagai kota olahraga internasional.
Penyelenggaraan Asian Games di Palembang, 8 Agustus 2018, tak lepas pula dari karakteristik Kota Palembang yang relatif stabil secara sosial dan politik. Riak-riak konflik sosial atau horisontal terpantau relatif sangat rendah di daerah ini.
Isu-isu yang membelah masyarakat dalam perhelatan pilkada sebagaimana terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017 (kasus penistaan agama) mampu diredam.
Hal itu memberikan suasana kondusif yang memungkinkan Palembang mengajukan diri sebagai tuan rumah penyelenggaraan Asian Games Ke-18. Selepas hajatan Asian Games, sejumlah agenda olahraga internasional sudah direncanakan digelar di Palembang, termasuk rencana menggelar MotoGP 2019.
Lika-liku politik kandidat
Pilkada di kota pempek ini senantiasa terasa hangat karena kuatnya kontestasi. Para pasangan calon yang bertarung rata-rata adalah kandidat yang sudah jauh hari mempersiapkan langkah politik demi memenangi perebutan kekuasaan di kota metropolitan bekas Kerajaan Sriwijaya ini.
Tak hanya itu, pertarungan politik juga melibatkan pemain yang sudah bertarung di pilkada-pilkada sebelumnya dan kembali turun gunung di Pilkada 2018.
Konstelasi ini makin kompleks karena pada saat yang sama pilkada Gubernur Sumatera Selatan juga memiliki karakteristik kontestasi yang mirip. Tak cukup sampai di situ, beberapa nama calon gubernur bahkan punya jalinan kekerabatan dengan kepemimpinan di kabupaten/kota.
Catatan pelaksanaan pilkada di kota ini juga kian menarik karena telah menyebabkan seorang mantan Ketua MK Akil Mochtar masuk penjara.
Ceritanya, dalam penghitungan hasil pilkada Kota Palembang 2013-2018 pasangan Romi Herton-Harnojoyo berselisih suara sangat tipis, hanya 8 suara dengan pesaing beratnya, Sarimuda-Nelly Rasdania. Romi-Harno meraih 316.915 suara, sedangkan Sarimuda-Nelly meraih 316.923 suara.
Pasangan Romi-Harno kemudian mengajukan tuntutan keberatan hasil penghitungan pilkada ke MK. Setelah melalui proses pemeriksaan peradilan oleh Akil, akhirnya kemenangan diputuskan oleh panel hakim konstitusi, yakni Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman ada pada Romi-Harno.
Dalam sidang putusan, Ketua MK Akil Mochtar menetapkan perolehan suara Kota Palembang dengan kemenangan Romi Herton-Harno Joyo dengan perolehan suara 316.919 suara.
Dalam perjalanannya, kemudian terbukti ada malapraktik dalam proses peradilan kasus Pilkada Palembang. Terungkap, Romi dan istrinya menyuap Akil saat menjabat Ketua MK sebesar Rp 14,145 miliar dan 316.700 dollar AS dengan maksud memengaruhi putusan perkara keberatan pilkada yang diajukan Romi.
Akibatnya, jabatan Wali Kota Palembang Romi Herton dicabut. Dia terpaksa meninggalkan kursi wali kota setelah dinyatakan terbukti melakukan suap kasus sengketa Pilkada 2013 kepada Ketua MK Akil Mochtar. Romi divonis bui 6 tahun, sedangkan istrinya empat tahun penjara.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta akhirnya menjatuhkan vonis 6 tahun penjara terhadap Romi. Istrinya divonis 4 tahun bui. Romi Herton meninggal 28 September 2017 pada saat menjalani masa pemidanaan.
Nama Romi dan Sarimuda sebetulnya sudah beredar dalam kontestasi pilkada sejak 2008. Saat itu, Romi maju mendampingi Eddy Santana Putra (ESP), Ketua DPD PDI-P Sumsel sebagai calon wakil wali kota Palembang 2008-2013. Pasangan Eddy-Romi kemudian menang pilkada, mengalahkan tiga pasangan lain, termasuk Sarimuda.
Kini dalam Pilkada 2018 angin politik dukungan berubah. ESP yang dulu merupakan kader PDI-P justru mendukung Sarimuda untuk menjadi wali kota mengalahkan petahana yang didukung PDI-P. Hal ini seiring dengan keluarnya ESP dari PDI-P dan berganti haluan menjadi kader Gerindra Sumsel.
Calon wali kota
Ada empat pasang calon wali kota yang meramaikan bursa Pilkada 2018. Nomor urut 1 adalah Harnojoyo-Fitrianti Agustinda. Pasangan ini diusung PKB, PDI-P, PAN, PBB, dan Partai Demokrat.
Secara dukungan politik mesin partai, pasangan ini adalah yang relatif terkuat. Harnojoyo adalah Ketua DPC Partai Demokrat Palembang, sedangkan Fitrianti alias Finda adalah adik almarhum Romi, mantan wali kota terpilih Palembang. Dia berpengalaman sebagai anggota DPRD Palembang.
Uniknya, meski Fitrianti merupakan kader PDI-P (Bendahara DPC PDI-P Palembang), pencalonannya sebagai calon wali kota Palembang justru diusulkan oleh PKS dan PPP.
Menurut laman berita lokal, PDI-P tidak menyetujui pencalonan Finda dan merekomendasikan kader lain, Yudha Rinaldi, dengan pertimbangan menghindari problem politik hukum di masa depan.
Namun, rekomendasi DPP PDI-P itu nyatanya tak menyurutkan Harnojoyo yang tetap mendaftarkan diri bersama Finda. Pasangan calon ini merupakan pasangan petahana wali kota dan wakil wali kota yang tidak pecah kongsi dan kembali maju dalam pilkada.
Selanjutnya, pasangan calon nomor urut 2 adalah Sarimuda-Abdul Rozak. Pasangan ini diusung Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan Partai Keadilan Sejahtera. Kekuatan politik mesin partai ini masih dibawah Harnojoyo, tetapi relatif tetap menjadi underdog yang mengancam keunggulan politik petahana.
Yang menarik, Sarimuda sudah dua kali gagal dalam upaya menjadi Wali Kota Palembang. Yang terakhir, Sarimuda kalah melawan Romi Herton-Harnojoyo dalam sidang putusan perkara Pilkada Kota Palembang di Mahkamah Konstitusi 2013.
Namun, kegagalan beruntun itu tampaknya tak menyurutkan Sarimuda. Tokoh yang berlatar belakang birokrat karier ini nyatanya tetap gigih bersaing setelah selama 30 tahun berkiprah di berbagai jabatan birokrasi Kota Palembang.
Pasangan nomor urut 3 adalah Akbar Alfaro-Harnoe Roespandji. Akbar Alvaro mewakili profil kalangan muda Palembang yang ingin ikut tampil dalam wajah politik lokal.
Dia adalah Ketua Himpunan Pengusaha Muda (Hipmi) Sumsel. Pasangan calon ini maju melalui jalur nonparpol setelah gagal mendapatkan dukungan Golkar dan PDI-P.
Akbar yang sebenarnya merupakan kader Golkar membuktikan popularitasnya dengan berhasil mengumpulkan dukungan 102.736 KTP melebihi syarat minimal yang ditetapkan KPU Palembang sekitar 95.300 fotokopi KTP.
Pasangan calon nomor urut 4 adalah Mularis Djahri-Sayidina Ali. Dia adalah pengusaha yang pernah berprofesi sebagai polisi (pensiun 2005) dan kemudian terjun ke politik melalui Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Pasangan calon ini maju dengan tiket dari Golkar, PPP, dan Hanura.
Sebagai pengusaha, Mularis memiliki catatan pelaporan harta di LHKPN paling banyak dibandingkan calon lainnya, yaitu Rp 50 miliar. Terkaya berikutnya wakil dari pasangan calon nomor urut 2, Abdul Rozak, dengan kekayaan sekitar Rp 35 miliar.
Berdasarkan aplikasi hasil Sistem Hitung Komisi Pemilihan Umum Sumsel, suara dari pasangan calon nomor urut 1, Harnojoyo-Fitrianti Agustinda (Har-Fit), untuk sementara mengungguli pasangan nomor urut 2, Sarimuda-Rozak, pada Pilkada Palembang dengan selisih 6,02 persen.
Penghitungan suara tersebut belum mencapai 70 persen.
Dari penghitungan tersebut, Harnojoyo-Fitrianti Agustinda meraih 28.827 suara (45,93 persen), Sarimuda-Rozak meraih 25.073 suara (39,95 persen), Akbar-Hernoe mendapat 2.790 suara (4,44 persen), dan Mularis-Syaidina Ali mendapat 6.078 suara (9,68 persen).
Komposisi pemenang ini sesuai dengan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga Indikator Politik yang menunjukkan kemenangan perolehan suara pasangan Harno-Fitrianti dengan perolehan 47,46 persen, Sarimuda-Rozak (36,95 persen), Akbar-Hernoe (4,04 pesren), dan Mularis-Ali (11,55%).
Problem Palembang
Berbagai kemajuan fisik yang saat ini diperoleh Palembang memang bisa menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi memberikan saluran akses masuknya investasi kapital bagi Palembang dan Sumatera Selatan, tetapi juga dituding sebagai bentuk ketimpangan strategi pembangunan yang dijalankan di tingkat provinsi dan kota.
Dari indikator kemajuan pembangunan yang diraih memang terlihat tingginya raihan yang dicapai palembang dibandingkan kabupaten dan kota di Sumsel. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), misalnya, mencapai angka di atas 76.
Kondisi ini timpang dengan kabupaten sekitarnya yang berada di sekitar angka IPM 65.
Besarnya kapital yang masuk di Palembang saat ini juga menyisakan kelompok masyarakat miskin yang dituding masih besar di Palembang dan diduga terbesar di Sumsel. Paling tidak ada 12 persen penduduk miskin dari sekitar 1,6 juta penduduk Palembang (BPS, 2016).
Kemiskinan di kawasan perkotaan biasanya berciri lebih akut daripada kondisi di perdesaan meski secara kasatmata relatif tidak banyak tempat kumuh di Palembang.
Problem lain yang mulai menghadang Palembang seiring pembangunan menjadi kota metropolitan adalah kemacetan di ruas-ruas jalan utama, khususnya di jalan poros Jembatan Ampera yang menghubungkan wilayah Ulu dan Ilir.
Demikian pula kondisi kemulusan jalan raya yang sangat bervariasi, khususnya yang menghubungkan Palembang dengan wilayah Musi Banyuasin dan Ogan Ilir.
Berbagai persoalan itu menanti kerja tangan dingin sang wali kota yang memenangkan Pilkada 2018. Menggerakkan semangat dan kerja nyata ”Wong Kito Galo” untuk tetap menjaga stabilitas dan pembangunan yang terkoordinasi di tengah kebersamaan ”semua saudara kita”. (LITBANG KOMPAS)