Menantang Petahana Memajukan Tual
Di pertengahan Januari 2018, suasana Desa Kiom di Kota Tual, Provinsi Maluku, tampak semarak. Anak-anak kecil berlarian di jalanan desa yang sudah beraspal mulus sambil sesekali memperhatikan beberapa orang yang sedang menggambari tembok putih rumah warga.
Seorang pelukis menorehkan cat warna merah ke sekeliling lukisan sosok Soekarno dengan peci hitam yang mulutnya terbuka seolah sedang berorasi.
Saat itu, sekitar 10 seniman yang berasal dari Tangerang, Jakarta, dan Yogyakarta sibuk melukis di dinding-dinding putih rumah warga Kiom dengan berbagai bentuk. Ada lukisan sosok pahlawan nasional, seperti Soekarno, Hatta, Pattimura, dan Kartini. Ada pula yang melukis berbagai jenis hewan, mulai dari kupu-kupu, burung, hingga beragam jenis ikan.
Tak ketinggalan lukisan perahu, sosok nelayan sedang melaut, atau lukisan tentang beberapa prajurit yang memanggul senjata di medan perang. Kebangsaan, kebinekaan, dan pahlawan merupakan tema yang dipilih para seniman itu. Atap-atap rumah warga sudah dicat merah, sedangkan tembok rumah berwarna putih. Desa Kiom pun kemudian populer disebut sebagai ”Kampung Merah Putih”.
Kampung Merah Putih terletak di sisi kiri Jembatan Watdek jika kita berkendara dari Kabupaten Maluku Tenggara ke arah Kota Tual. Jembatan Watdek adalah satu-satunya jembatan penghubung Kota Tual dengan wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Sebagai wilayah kepulauan, kedua wilayah ini memang berada di pulau berbeda. Kota Tual yang memisahkan diri dari Kabupaten Maluku Tenggara pada 2007 berada di Pulau Dulah, sedangkan Kabupaten Maluku Tenggara berada di Kepulauan Kei.
Selain Kampung Merah Putih, Kota Tual juga memiliki Kampung Pelangi. Kampung Pelangi merupakan sebutan untuk Desa Wearhir yang terletak di sisi kanan Jembatan Watdek, berseberangan dengan Desa Kiom. Berbeda dengan Kampung Merah Putih, atap dan tembok rumah warga Wearhir dicat dengan sejumlah warna menyerupai pelangi.
Baik Kampung Merah Putih maupun Kampung Pelangi merupakan dua desa yang menjadi sasaran program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), program unggulan Dinas Perumahan dan Permukiman Pemerintah Kota Tual tahun 2017, berupa rehabilitasi permukiman kumuh.
Kota Tual, menurut data Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Provinsi Maluku, memiliki daerah kumuh seluas 133,89 hektar. Wilayah seluas ini menjadikan Tual sebagai kota yang memiliki daerah kumuh terluas kedua di Provinsi Maluku setelah Kota Ambon.
Gugus kepulauan
Kota Tual merupakan satu wilayah di Provinsi Maluku yang terletak di arah selatan daerah ”Kepala Burung” Papua, atau sebelah barat Kepulauan Aru. Dengan luas mencapai 19.342,39 km², sekitar 98 persen wilayah Kota Tual merupakan perairan. Luas perairan yang 19.088 km² tersebut terdiri atas tiga gugusan kepulauan, mencakup gugus Pulau-Pulau Kur, gugus Pulau Tayando Tam, dan gugus Pulau Dullah. Seluruh gugus pulau tersebut memiliki 66 pulau yang sebagian besar (80,3 persen) belum dihuni. Hanya 13 pulau yang saat ini telah berpenghuni.
Pusat Kota Tual berada di Pulau Dullah, yang memiliki dua kecamatan, yaitu Dullah Utara dan Dullah Selatan. Secara keseluruhan, Kota Tual mencakup lima kecamatan, yaitu Dullah Selatan, Dullah Utara, Pulau-Pulau Kur, Kur Selatan, dan Tayando Tam. Dari kelima wilayah itu, Kecamatan Dullah Utara (91,57 km²) dan Kepulauan Tayando Tam (73,74 km²) mempunyai luas daratan terluas.
Jika melihat kepadatan penduduk, Pulau Dullah, yang terdapat pusat Kota Tual, memiliki kepadatan penduduk tertinggi. Kecamatan Dullah Selatan dengan luas daratan 40,75 km² merupakan wilayah terpadat (976 jiwa per km), diikuti oleh Kecamatan Dullah Utara (190,43 jiwa per km). Adapun Kecamatan Tayando Tam yang memiliki wilayah daratan terluas kedua setelah Kecamatan Dullah Utara justru jarang dihuni warga. Kepadatannya terendah, hanya 88 jiwa per km².
Wilayah kepulauan mensyaratkan transportasi laut yang andal untuk memudahkan perpindahan orang ataupun barang. Sejumlah sarana transportasi laut di Kota Tual melayani jalur pelayaran jarak jauh dengan kapal Pelni, pelayaran untuk wilayah sekitar Maluku dengan kapal perintis dan feri, serta pelayaran lokal dengan kapal-kapal rakyat untuk menjangkau pulau-pulau di Tual dan Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara.
Pelabuhan Tual tahun 2018 akan diperluas untuk menambah kapasitas daya tampung penumpang dan barang. Saat ini, pelabuhan Tual hanya bisa menampung maksimal 100 kontainer.
Meskipun demikian, armada laut dirasa masih kurang, terutama untuk menjangkau pulau-pulau terjauh, seperti Kecamatan Pulau-Pulau Kur yang jaraknya sekitar 103 kilometer dari pusat Kota Tual.
Untuk mencapai tempat tersebut, saat ini warga masih sangat bergantung pada kondisi cuaca sehingga penyediaan transportasi laut yang andal serta pembangunan fasilitas publik, termasuk pelabuhan dan dermaga, yang memadai sangat dibutuhkan.
Hasil laut
Sebagai wilayah kepulauan, Kota Tual mengandalkan usaha perikanan. Dalam catatan BPS Kota Tual, kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap PDRB Tual tahun 2016 sebesar 37,82 persen, paling tinggi dibandingkan sektor perdagangan (14,45 persen) yang memberikan kontribusi terbesar kedua. Pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, hampir seluruhnya (90,97 persen) disumbang oleh hasil perikanan.
Produksi ikan tangkap di Tual merupakan andalan wilayah. Angka produksi tertinggi berasal dari Kecamatan Dullah Utara yang mencapai 5.511,58 ton setahun. Diikuti oleh Kecamatan Pulau-Pulau Kur (4.760,44 ton) dan Kecamatan Tayando Tam (4.282,38 ton). Adapun Kecamatan Dullah Selatan berada di urutan keempat (5.519,19 ton) dalam hal angka produksi ikan tangkap meskipun di lokasi ini jumlah rumah tangga nelayannya paling banyak ketimbang di kecamatan lain.
Selain ikan tangkap, wilayah Tual juga kaya hasil rumput laut. Sebagian masyarakat Tual membudidayakan rumput laut untuk dijual dan dikonsumsi sendiri. Penghasil budidaya rumput laut terbanyak adalah masyarakat nelayan di gugus Pulau Tayando Tam dengan produksi setahun mencapai 10.039,26 ton, diikuti oleh masyarakat di Kecamatan Dullah Utara (7.529,45 ton) dan warga Dullah Selatan dengan produksi 5.019,63 ton.
Tanaman yang bentuknya agak berbeda dengan yang ada di Pulau Jawa itu dapat menjadi menu makanan sehari-hari. Biasanya, warga mencampur rumput laut yang telah dicuci bersih dengan parutan kelapa yang disangrai. Dengan tambahan nasi hangat, ikan goreng, dan sambal bawang, campuran rumput laut dan parutan kelapa membuat menu makan siang bertambah lezat.
Meski kaya hasil laut, Tual belum mampu menciptakan nilai tambah produk laut bagi masyarakatnya. Salah satu indikatornya adalah kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Tual yang masih sangat rendah ketimbang sektor yang bersifat ekstraktif, seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan. Data BPS Kota Tual 2016 menunjukkan distribusi sektor industri pengolahan dalam PDRB Tual masih kurang dari 2 persen.
Petahana
Kota Tual secara resmi memisahkan diri dari kabupaten induknya, Maluku Tenggara, pada 17 Juli 2007. Salah satu tokoh pemekaran Tual adalah Mochammad Mahmud Tamher. Ketika masih menjadi Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tenggara, Mahmud Tamher bersama beberapa tokoh berupaya memekarkan beberapa wilayah di Maluku Tenggara, termasuk Kota Tual.
Setelah menjadi daerah otonom, pada pilkada pertama yang dilakukan secara langsung tahun 2008, Mahmud Tamher yang berpasangan dengan Adam Rahayaan yang diusung duet Golkar-PKS merebut kursi wali kota-wakil wali kota Tual. Dalam pilkada yang diikuti lima pasang calon tersebut, Mahmud Tamher-Adam Rahayaan memenangi kontestasi dalam satu putaran dengan perolehan suara 46,07 persen.
Lima tahun kemudian, Tamher-Rahayaan kembali berduet untuk mempertahankan kursi kepala daerah Tual. Pada Pilkada 2013 tersebut, empat pasang calon mengikuti kontestasi, termasuk petahana MM Tamher-Adam Rahayaan. Rekapitulasi suara oleh KPU saat itu menunjukkan petahana terlalu kuat untuk ditumbangkan. MM Tamher-Adam Rahayaan berhasil memenangi kontestasi dalam satu putaran dengan perolehan suara yang bahkan lebih tinggi dibandingkan Pilkada 2008.
Mahmud Tamher-Adam Rahayaan meraup 56,96 persen suara. Pasangan lainnya memperoleh suara di bawah 30 persen. Mereka berturut-turut adalah Usman Tamnge-Arsyad Nuhuyanan (29,07 persen), Baharudin Farawowan-Abet Tetlageni (10,98 persen), dan Bakri Tamher-Lukman Matutu (2,97 persen).
Kemenangan Tamher-Rahayaan ikut ditopang oleh dominasi Golkar di DPRD Tual sejak pembentukan kota otonom Tual. Pada Pemilihan Legislatif 2009, Golkar mendapatkan empat dari 20 kursi yang diperebutkan atau 20 persen dari jumlah kursi DPRD Tual. Lima tahun kemudian, jumlah kursi Golkar bertambah menjadi enam kursi sehingga jabatan Ketua DPRD Tual tetap digenggam partai beringin itu.
Pada Pilkada 2018 ini, tiga pasang calon akan bertarung memperebutkan suara 40.058 pemilih, termasuk petahana Wali Kota Tual Adam Rahayaan. Adam Rahayaan diangkat sebagai Wali Kota Tual pada 2016, menggantikan posisi Mahmud Tamher yang meninggal karena sakit. Jabatan Wakil Wali Kota Tual diberikan kepada kader Golkar, Abdul Hamid Rahayaan. Meskipun demikian, dalam pilkada ini, Adam Rahayaan tidak menggandeng wakilnya, tetapi Usman Tamnge, mantan pesaingnya di Pilkada 2013.
Adu pengalaman
Adam Rahayaan-Usman Tamnge yang memperoleh nomor urut 2 diusung oleh PKS, Gerindra, PAN, PKB, Nasdem, dan Demokrat. Meskipun PKS kali ini pecah kongsi dengan Golkar, pasangan ini didukung kekuatan partai dengan total jumlah kursi terbanyak dibandingkan dua pasangan calon lainnya, yaitu 9 kursi (45 persen).
Kekuatan lain pasangan ini adalah posisi petahana yang telah melekat kepada Adam Rahayaan sejak Pilkada 2013. Dengan posisi tersebut, jaringan birokrasi telah dikuasainya serta popularitas sosoknya tak diragukan lagi.
Usman Tamnge merupakan birokrat yang punya cukup pengalaman di pemerintahan. Ia lama berkarier di biro pemerintahan Provinsi Papua. Namun, untuk menunjukkan darah Tual yang mengalir di dalam tubuhnya, ia mengikuti kontestasi politik di Tual sejak 2013. Meski tidak menang, Usman Tamnge meraih suara terbanyak kedua setelah pasangan Mahmud Tamher-Adam Rahayaan.
Sebagai catatan, baik Adam maupun Usman pernah menjadi tersangka kasus korupsi. Akan tetapi, kasus keduanya tidak berlanjut. Adam Rahayaan menghadapi tuduhan korupsi dana asuransi saat ia menjadi anggota DPRD Maluku Tenggara 1999-2004. Kasusnya berhenti karena Adam Rahayaan telah mengembalikan dana sebesar Rp 180 juta ke kas daerah. Sementara Usman Tamnge menghadapi tuduhan ketika masih bertugas di Papua.
Penantang petahana adalah pasangan Yunus Serang-Eva Fransina Balubun. Pasangan ini didukung oleh duet partai nasionalis Golkar dan PDI-P. Total jumlah kursi di DPRD Tual untuk pasangan ini adalah 6 kursi (30 persen). Meski lebih sedikit dibandingkan pasangan nomor urut 2, Partai Golkar mempunyai suara terbanyak di Tual selama dua kali pemilu legislatif. Popularitas Golkar ikut terdongkrak oleh sosok Mahmud Tamher sebagai tokoh pemekaran dan Wali Kota Tual dua periode.
Tak hanya itu, Yunus Serang memiliki pengalaman mengelola pembangunan daerah saat menjadi Wakil Bupati Maluku Tenggara dua periode sejak 2008. Salah satu pencapaian yang dicatat adalah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Media daring lokal yang mengutip pemaparan Pemerintah Kabupaten tentang nota APBD Maluku Tenggara 2017 menyebutkan, PAD Maluku Tenggara 2017 mencapai Rp 38,10 miliar, sedangkan pada 2013 PAD Maluku Tenggara masih Rp 25,09 miliar. Hal ini berarti dalam kurun waktu empat tahun, Pemkab Maluku Tenggara telah mendongkrak PAD sebesar 52 persen.
Sementara itu, Eva Fransina Balubun adalah perempuan calon satu-satunya dan pertama kali yang maju sebagai calon wakil wali kota Tual. Sebagai politisi, ia telah mewakili PDI-P di DPRD Tual selama dua periode. Pasangan Serang-Eva juga merepresentasikan Tual yang plural. Meski masyarakat Tual mayoritas pemeluk Islam, tidak sedikit jumlah pemeluk Kristen dan Katolik di daerah itu. Representasi ini dianggap penting mengingat Tual pernah mengalami konflik berbasis agama pada 1999 bersamaan dengan kerusuhan Ambon.
Pasangan terakhir adalah Basri Adlly Banjar-Fadillah Rahawarin. Keduanya diusung kekuatan tiga partai, yaitu PPP, Hanura, dan PBB, dengan jumlah kursi dukungan lima (25 persen). Basri Adlly Banjar adalah birokrat karier yang jabatan terakhirnya Sekretaris Daerah Tual. Basri diberhentikan sebagai Sekda Tual oleh Adam Rahayaan pada April 2017 karena dinilai membuka aib pemerintahan Adam saat dengar pendapat dengan DPRD Tual.
Adapun Fadillah merupakan politisi Golkar dan menjadi Ketua DPRD Tual sebelum mencalonkan diri. Kenyataan ini memperlihatkan pasangan ketiga ini berpotensi merebut basis suara Golkar, terutama yang menjadi konstituen dan simpatisan Rahawarin sebagai anggota DPRD Tual, ataupun kelompok yang tidak sejalan dengan petahana.
Potensi konflik
Di samping pengalaman konflik berbau SARA tahun 1999 yang menyebabkan ratusan korban tewas, beberapa kali juga pernah terjadi konflik saat pilkada berlangsung meski tidak menjadi konflik besar. Ketika debat Pilkada 2013 berlangsung, muncul kericuhan antara pendukung Usman Tamnge dan pendukung Tamher-Adam Rahayaan.
Pelanggaran oleh penyelenggara pemilu juga terjadi pada 2014. Akibatnya, setelah Pemilu Legislatif 2014, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan lima komisioner KPU Kota Tual karena terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu dengan mengubah perolehan suara partai politik dan calon anggota legislatif tertentu. Bisa jadi dengan mempertimbangkan pengalaman tersebut, Bawaslu menetapkan Tual sebagai kota paling rawan konflik dalam pilkada tahun ini.
Potensi konflik pun bisa dipicu oleh kondisi sosial ekonomi wilayah. Dengan jumlah penduduk yang paling sedikit kedua setelah Kabupaten Buru Selatan di seluruh Maluku, tingkat kemiskinan di Kota Tual menunjukkan sebaliknya. Angka kemiskinan mencapai 24,47 persen pada 2016. Dari 11 kabupaten/kota yang ada di Maluku, tingkat kemiskinan Tual ada di peringkat keenam. Angkanya juga terus meningkat sejak 2013.
Sementara itu, meski pertumbuhan ekonomi Tual berada di angka 5,81 persen pada 2016, tetapi berada di peringkat keempat terendah di Maluku setelah Kabupaten Seram Bagian Timur, Kepulauan Aru, dan Buru Selatan. Adapun PAD Tual pada 2016 sebesar Rp 20,1 miliar, masih di bawah kabupaten induknya, Maluku Tenggara.
Seluruh gambaran tersebut menunjukkan pembangunan Tual yang masih tertinggal dari wilayah lain di Maluku. Oleh karena itu, seorang warga Kiom, Gazali (28), menuturkan, ”Program Kotaku harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tanpa itu, Kampung Merah Putih hanya tampak bagus di luar, tapi di dalam tetap kumuh.” (LITBANG KOMPAS)