Jalan Jokowi dan Politik ”Harajaon”
Semenjak terminal Bandar udara Silangit, Siborong-borong, diresmikan akhir November 2017, geliat Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, mulai tampak. Bagi warga Tapanuli Utara, kehadiran bandara internasional yang menjadi gerbang pariwisata ke Danau Toba itu tidak hanya sekadar menjadi ikon baru daerah.
Bukan pula hanya bersoal bagaimana dampak dari potensi melonjaknya kehadiran wisatawan. Namun sederhananya, kehadiran bandara sekaligus menjadi sebagian jawaban dari penantian warga akan perbaikan berbagai sarana dan akses transportasi berkualitas yang menunjang keseharian aktivitas mereka.
Manfaat yang paling terasa, setidaknya saat menjajal perjalanan jalur keluar dari bandara, Siborong-borong, menuju Tarutung, ibu kota pemerintahan kabupaten Tapanuli Utara.
Jalan mulus lintas tengah Sumatera sepanjang 36 kilometer yang sebagian berkontur perbukitan itu dapat dilalui kurang dari sejam. Masih terlihat beberapa aktivitas perbaikan pada bahu jalan, terutama di beberapa ruas jalan berkelok dan bersisi jurang.
Mendekati Tarutung, jelang kawasan wisata hotspring Sipoholon yang berkelok-kelok itu mulai bertumbuh bangunan-bangunan mewah. Resor dengan hotel bermunculan di sela bukit dan pepohonan pinus. Praktis, jalan, bandara, ataupun sarana penunjang yang mudah terlihat secara kasatmata tersebut mengindikasikan derap perubahan tengah berproses di Tapanuli Utara.
Namun, benarkah demikian?
Tampaknya, belum semua warga menyimpulkan sama. ”Ah, belum banyak itu (perubahan), masih sama saja, lihat nanti di Tarutung,” kata Tobing (48), sopir rental mobil kelahiran Hutatoruan, Tarutung.
Ia menilai, Tarutung sebagai ibu kota kabupaten yang punya sejarah permukiman dan pemerintahan sejak era kolonial Belanda itu seharusnya menjadi rujukan perubahan.
Harapan semacam itu masih jauh panggang dari api. Kendati demikian, terhadap berbagai perbaikan akses jalan yang mendukung aktivitasnya tiap hari, ia mengakui. Hanya, tersisip muatan kritik dalam balasan jawabannya, ”Jalan memang baik sekarang, tetapi ini semua jalannya Jokowi.”
***
Jalan Jokowi juga ikut disebut-sebut dalam perbincangan warung kopi. Jelang tengah malam, Simorangkir (40), Hutapea (37), dan Tambunan (28), pemasok hasil bumi, masih tampak asyik-masyuk berbincang ditemani kopi, suhat (talas), dan pisang goreng di sebuah kedai kopi wilayah Hutabarat.
Tiga mobil bak Mitsubishi L300 mereka yang penuh muatan durian terparkir di pinggir jalan lintas tengah Sumatera. ”Ada 800 durian Pahae (salah satu kecamatan penghasil durian di Tapanuli Utara) tiap mobil. Semua dibawa ke Medan untuk pancake,” kata Tambunan.
Sudah lebih sejam beristirahat, ketiganya belum juga beranjak. ”Tenang saja, tidak lagi terburu-buru, tepat pagi sudah sampai Medan,” jamin Simorangkir.
Sebagai pemburu hasil bumi, terutama durian, ketiganya sudah hafal betul jalur-jalur jalan dan perhitungan waktu perjalanan. Kali ini, masih sekitar 300 kilometer lagi jarak yang harus mereka lalui hingga tiba di Medan. ”Karena jalan Jokowi ini, jauh lebih lancar,” kata Hutapea.
”Jalan Jokowi” nyatanya bukan nama formal suatu jalan. Namun, nama Jokowi melekat menjadi penanda jalan. Begitu sering Presiden Joko Widodo mengunjungi Sumatera Utara dan memantau langsung pembangunan fisik wilayah membuat warga merujuk perbaikan infrastruktur, termasuk jalan arteri yang menghubungan antarprovinsi, kabupaten, dan kota itu identik dengan sebutan populer: Jokowi.
Melalui infrastruktur jalan, popularitas namanya merembes ke berbagai lapisan masyarakat di Sumatera Utara. Kehadiran negara di Sumatera Utara, termasuk Tapanuli Utara, terlegitimasikan, setelah berkali-kali provinsi ini tercoreng kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparatur pemerintahan tertinggi (gubernur).
Menjadi menarik juga mengaitkan seberapa besar karya-karya para pemimpin lokal, seperti gubernur, bupati yang selama ini berkiprah ataupun para calon pemimpin yang kini tengah gencar mengumbar janji perbaikan di ajang pilkada.
Kabupaten Tapanuli Utara saat ini tengah berproses dalam pencarian orang nomor satu di kabupaten berpenduduk sekitar 297.806 jiwa.
Persoalannya, apakah sedemikian minimnya kreasi kinerja pemerintahan daerah ataupun sosok kepemimpinan yang muncul selama ini sehingga tidak jauh merasuki ruang-ruang ingatan warganya?
***
Jika dipersamakan dalam suatu hierarki keluarga Batak, Tapanuli Utara lebih cocok sebagai ompung (kakek) berusia lanjut. Jejak historis Tapanuli Utara yang panjang dapat dirunut semenjak era pemerintahan kolonial Belanda.
Pulau Sumatera kala itu terbagi dalam 10 regentschappen (keresidenan) dan Sumatera Utara terbelah menjadi Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli.
Keresidenan Tapanuli berpusat di Sibolga, sejak tahun 1910 mencakup afdeling Nias, Sibolga (Tapanuli Tengah), Mandailing dan Angkola (Tapanuli Selatan), dan Batak Landen (Tapanuli Utara). Dalam kekiniannya, Tapanuli Utara menjadi kabupaten dengan 15 kecamatan.
Tapanuli Utara tergolong kabupaten induk setelah beberapa kali dimekarkan hingga terbentuk Kabupaten Dairi (1956), Toba Samosir (1998), dan Humbang Hasundutan (2003). Tarutung menjadi ibu kota pemerintahan Tapanuli Utara.
Semenjak pemerintahan Belanda, Tarutung (selain Sibolga) sudah menjadi kota rujukan. Sebagai pusat pemerintahan, sudah barang tentu berbagai fasilitas pendukung politik pemerintahan, perekonomian, hingga sosial terpusat di Tarutung.
Kantor-kantor pemerintahan, pusat perdagangan, jasa keuangan perbankan, jasa distribusi dan transportasi, penginapan, hingga sarana pendidikan berbagai jenjang tersedia di Tarutung.
Selain pemerintahan, wilayah ini menjadi salah satu pusat penyebaran misi keagamaan Kristen Protestan. Di Tapanuli Utara, secara statistik sekitar 95 persen penduduknya beragama Kristen, dengan sebesar 90 persennya Protestan.
HKBP, gereja Batak yang kini diperkirakan memiliki 4,5 juta pengikut tersebar hingga Amerika Serikat itu, sejak 1861 sudah muncul dan berpusat di Pearaja Tarutung.
Menjadi pertanyaan, apakah sejarah ekonomi dan pemerintahan yang panjang berimplikasi pada posisi dan eksistensi Tapanuli Utara saat ini?
Sayangnya, keuntungan-keuntungan historis yang melekat tidak selalu identik dengan jaminan perkembangan sosial ekonomi yang melekat saat ini. Setidaknya, membaca data pencapaian ekonomi wilayahnya saat ini, perkembangan Kabupaten Tapanuli Utara tidak spektakuler.
Data BPS terakhir (2016) menunjukkan, kontribusi Tapanuli Utara terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Sumatera Utara kurang signifikan. Sejak 2014 hingga 2016 dengan perhitungan harga konstan, porsi PDRB relatif tidak berubah, masih 1,1 persen. Dengan proporsi sebesar itu, Tapanuli Utara berada pada urutan ke-20 dari 33 kabupaten dan kota di Sumatera Utara.
Di sisi lain, PDRB per kapita atas harga berlaku kabupaten ini pada 2016 sebesar Rp 21,3 juta atau separuh dari PDRB per kapita Sumut (Rp 44,8 juta). Laju pertumbuhan PDRB-nya 4,12 persen. Dibandingkan dengan semua kabupaten hasil pemekarannya, Tapanuli Utara relatif tertinggal.
Masih kecilnya kontribusi ekonomi Tapanuli Utara tidak lepas dari corak pengelolaan ekonomi kabupaten ini. Sektor pertanian menjadi andalan utama, yang bergantung pada tanaman pangan dan hasil alam.
Distribusi PDRB menurut lapangan usaha, hampir separuh (46,61 persen) bergantung pada pertanian. Selanjutnya, lapangan usaha konstruksi (13,57 persen), perdagangan besar dan eceran (12,81 persen), serta administrasi pemerintahan (9,54 persen).
Distribusi lapangan usaha semacam ini menjadi persoalan klasik di sebagian besar wilayah yang bersandar pada sektor pertanian. Lapangan usaha yang terbentuk pada sektor tersebut masih bertumpu pada aspek pertanian produksi ataupun pemanfaatan hasil alam dan belum banyak beranjak pada aspek pengelolaan ataupun industri.
Di Tapanuli Utara, industri pengolahan hanya berkonstribusi 2,01 persen dari nilai total kegiatan ekonomi (PDRB) di sana. Gambaran paling nyata, pedagang hasil bumi cenderung menjadikan Tapanuli Utara sebagai basis produksi dan pengumpulan hasil alam, tetapi tidak dimaksudkan untuk mengolahnya menjadi bahan jadi.
Durian yang dihasilkan di sejumlah kecamatan di Tapanuli Utara diolah menjadi pancake di Medan. Dengan kondisi demikian, nilai tambah pengelolaan komoditas pertanian tidak terkonsentrasi di wilayah produksinya.
Dengan segenap posisi ekonomi dan persoalan yang dihadapi, ekonomi Tapanuli Utara tetap bertumbuh. Hanya saja, pertumbuhan yang dicapai selama ini mengundang pertanyaan lebih jauh, sampai seberapa besar perkembangan itu termanfaatkan warga Tapanuli Utara?
Lebih konkret lagi, dalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, secara khusus dalam aspek pendapatan, kesehatan, pendidikan, yang dapat dilihat dari perkembangan besaran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), seberapa besar pencapaian kabupaten ini?
Merujuk data BPS, Tapanuli Utara memang bertumbuh. Dibandingkan dengan capaian rata-rata IPM Provinsi Sumatera Utara, capaian Tapanuli Utara berada di atas provinsi.
Posisi Tapanuli Utara hanya terkalahkan oleh kabupaten hasil pemekarannya, Toba Samosir. Sementara, kabupaten pemekaran lainnya, seperti Dairi, Humbang Hasundutan, hingga Samosir (Pemekaran dari Toba Samosir), masih di bawah Tapanuli Utara.
Namun, jika dicermati dari laju perkembangan setiap kabupaten yang termekarkan tersebut, perkembangan Tapanuli Utara relatif kurang kompetitif. Sejak tahun 2011 hingga 2016, jika dirata-ratakan setiap tahunnya meningkat 0,59 persen.
Kecuali Toba Samosir yang juga relatif rendah (0,52 persen), semua kabupaten pemekaran meningkat lebih besar. Laju rata-rata IPM Tapanuli Utara bahkan lebih rendah dari laju rata-rata IPM Provinsi Sumatera Utara.
Dari berbagai indikator IPM yang tercermati, tampaknya masih terdapat titik krusial di Tapanuli Utara yang menghambat laju pencapaian indeks yang lebih tinggi. Indikator Angka Harapan Hidup yang merujuk pada pembangunan aspek kesehatan relatif paling rendah di antara kabupaten pemekaran.
Tahun 2016, angka harapan hidup di Tapanuli Utara 67,71 tahun. Sementara, secara berturut Dairi 67,95 tahun, Humbang Hasundutan 68,26 tahun, Toba Samosir 69,25 tahun, dan Samosir 70,47 tahun. Tapanuli Utara masih lebih rendah dari angka harapan hidup rata-rata Provinsi Sumatera Utara yang sebesar 68,33 tahun.
Bupati Tapanuli Utara periode 1999-2004 RE Nainggolan menyadari berbagai ketertinggalan kabupaten ini. Ia menceritakan, semenjak awal kepemimpinannya teridentifikasi keunggulan ekonomi wilayah yang bertopang pada pertanian.
Pemetaan dan perencanaan wilayah berdasarkan potensi pertanian dan keunggulannya sudah berlangsung hingga sampai pada pemetaan kualitas lahan yang cocok diproyeksikan bagi produksi tanaman tertentu. Begitu pula ekonomi sektor lainnya.
”Saat itu jelas bahwa Tapanuli Utara harus berpijak pada pertanian dan pariwisata,” kata RE Nainggolan. Pada dua sektor itu fokus pengembangan dilakukan.
Dalam perjalanannya, jika setelah dua dasawarsa kemudian Tapanuli Utara masih bergulat dalam persoalan dasar ekonomi dan cenderung menjadi kurang kompetitif, perlu dikaji faktor yang menghambat gerak pertumbuhan kesejahteraan wilayah dan warganya.
Sampai di sini, banyak hipotesa penyebab yang menarik ditelaah kebenarannya. Satu hipotesa yang paling menonjol, faktor perpolitikan lokal, lebih khusus lagi kepemimpinan dan proses perekrutan politik yang menyertanya hingga kultur politik masyarakat Tapanuli Utara dinilai turut berkontribusi terhadap corak kesejahteraan wilayah.
Konteks pemberlakuan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung untuk kali ketiga berjalan di Tapanuli Utara menjadi relevan dikaji.
***
Mencermati perilaku politik masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara yang kini tengah disibukkan oleh kontestasi pemilihan umum kepala daerahnya, tidak lepas dari ulasan Lance Castles dalam mahakaryanya, The Political Life of Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940.
Disertasi Castles di Universitas Yale, Amerika Serikat, (1972), ini menjadi klasik lantaran masih tetap relevan dirujuk tiap-tiap kalangan dalam memahami berbagai fenomena politik kekinian di Tapanuli.
Dalam karyanya itu, Castles menunjukkan bagaimana kekuatan ataupun konflik politik kepartaian sudah muncul di Keresidenan Tapanuli seperempat abad menjelang akhir penjajahan Belanda di Indonesia.
Saat itu, di tengah kecenderungan meningkatnya tekanan pemerintahan kolonial terhadap masyarakat Batak, organisasi Hatopan Kristen Batak (HKB, Perkumpulan Kristen Batak) didirikan di Balige, September 1917.
Dipimpin oleh Mangihut Manullang dan Polin Siahaan, organisasi pribumi Batak ini menggariskan perjuangannya pada upaya memperkokoh persatuan dan memajukan kehidupan sosial umat Kristen Batak.
Di sisi lain, Christelijk Etische Partij (CEP), Partai Protestan yang dipimpin orang Belanda, hadir dengan cabang di Tapanuli. Dengan dukungan elite pemerintahan Belanda serta melalui garis pendekatan etis, kekuatan politik CEP mulai berpenetrasi di kalangan orang Batak sekaligus menjadi penanding HKB.
Sekalipun kedua kekuatan politik kerap saling bersaing dan tidak jarang berkonflik, tetapi faktanya kedua organisasi itu tidak pernah melahirkan banyak pengikut. Menurut Castles, sekalipun demikian, bukan berarti masyarakat Batak Toba menjauhi politik.
Sebaliknya yang terjadi. Setiap perkawinan yang merupakan persekutuan marga-marga, misalnya, membentuk kekerabatan yang kuat dalam topangan politik. Begitu pula, pentingnya nilai hasangapon (kehormatan) memaksa hampir setiap orang Batak untuk ikut dalam perebutan kepemimpinan.
Akibatnya, di Tapanuli melimpah jumlah calon pemimpin dan sebaliknya minim pengikut.
Perebutan harajaon (kekuasaan sebagai pimpinan) tidak hanya terbatas pada jabatan resmi di pemerintahan, tetapi juga jabatan pemimpin agama. Pasalnya, pada jabatan pemerintahan dan agama yang dinilai mampu mendatangkan kehormatan sekaligus kekebalan dari sistem kerja rodi.
Bagi para Residen Belanda, sikap ataupun kultur mengejar harajaon orang Batak semacam ini jelas menghalangi administrasi pemerintahan yang efisien.
Itulah mengapa, Residen Belanda saat itu, Vorstman, (1915-1921) ataupun penerusnya, WKH Ypes (1921-1925), disibukkan dalam eksperimen pencarian model kepemimpinan dan proses perekrutan yang paling tepat dalam satuan wilayah kekuasaan tertentu, negeri, huta (kampung) berdasarkan pendekatan adat ataupun secara modern.
Menarik mencermati paparan Castles, saat itu model pemungutan suara langsung dengan kartu suara sudah diterapkan. Namun, implikasi pemungutan suara langsung cukup fatal. Harajaon dalam banyak kasus diraih tidak pada mereka yang dianggap layak.
Mereka yang terpilih karena memberikan janji yang memikat pada kenyataannya sering ingkar. Masalah lainnya, korupsi dan politik uang marak. Pesta-pesta besar guna mencari dukungan banyak dilakukan. Sogok-menyogok sebagai pelicin menjadi pemandangan umum.
Buntutnya, pertikaian sering terjadi pada saat calon yang kalah menagih kembali uang yang telanjur diberikan kepada pendukungnya. Konflik semakin sering terjadi disebabkan pula karena jumlah calon pemimpin yang bersaing jarang di bawah 12 orang dan bahkan sering kali di atas 40 atau 50 orang.
Dengan segenap dampak yang ditimbulkan, tahun 1934 sistem pemungutan langsung diganti dengan sistem konsultasi adat. Caranya, penduduk dikumpulkan tetapi tidak memilih. Tiap-tiap calon pemimpin saat itu diizinkan satu per satu berkampanye.
Para tetua kampung pada akhirnya menyatakan pendapat mereka dan menyetujui calon yang diusulkan kepada residen. Dalam praktik, sistem demikian dianggap malah beralih menjadi mimpi buruk bagi pemerintah kolonial.
Castles mengungkapkan, pernah terjadi catatan konsultasi adat hingga 450 halaman panjangnya dengan beberapa meter panjangnya pohon silsilah tokoh yang direkomendasikan. Padahal, di sisi lain pemerintah harus menenangkan 50 wakil pihak-pihak kalah yang protes ke kantor keresidenan lantaran rekomendasi tetua kampung.
***
Dalam dimensi waktu yang berbeda, warga Tapanuli Utara kini kembali disibukkan dalam konstestasi politik mencari sosok bupati yang paling layak memimpin mereka untuk periode jabatan hingga 2023.
Terdapat tiga pasangan yang akan bersaing, yaitu pasangan Jonius Taripar Parsaoran Hutabarat-Frengky P Simanjuntak, Nikson Nababan-Sarlandy Hutabarat, dan pasangan jalur independen Chrismanto Lumbantobing dan Hotman P Hutasoit.
Secara silsilah kekerabatan, tiap-tiap sosok masih memiliki garis silsilah marga yang terkait dengan wilayah di Tapanuli Utara, yang sekaligus menunjukkan dominasi putra daerah dalam kontestasi kali ini.
Namun, jika ditilik dari latar belakang, setiap pasangan tergolong beragam. Calon petahana Nikson Nababan berhadapan dengan penantangnya, Jonius Taripar Parsaoran Hutabarat, Kapolres Tapanuli Utara yang memiliki gelar doktoral di bidang kimia. Di sisi lain, kehadiran Chrismanto Lumbantobing yang diidentikkan dengan ayahnya, Torang Lumbantobing, Bupati Tapanuli Utara (2004-2014).
Sosok Torang Lumbantobing, lebih dikenal dengan julukan Toluto, di Tapanuli Utara tergolong unik. Ia menjadi bupati menduduki jabatan dua periode dengan mekanisme pemilihan yang berbeda.
Pertama, menjadi bupati periode 2004-2009 berlandaskan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan mekanisme pemilihan DPRD. Saat itu, ia sebagai Ketua DPRD Tapanuli Utara dan dipilih sebagai bupati dengan dukungan 31 dari 40 anggota DPRD.
Pada periode jabatan kedua dilakukan secara langsung dengan berlandaskan UU No 32/2004. Saat itu, terdapat enam pasangan bersaing. Selain petahana Torang Lumbantobing-BP Silaban, terdapat Samsul Sianturi-Frans Sihombing, Sanggam Hutapea-Londut Silitonga, Roy Mangotang Sinaga-Djundjung Hutauruk, Wastin Siregar-Norman Silitonga, dan Edward Sihombing-Alfa Simanjuntak.
Hasilnya, dimenangkan kembali petahana walaupun berbagai gugatan ketidakpuasan dilakukan oleh hampir semua pihak yang dikalahkan. Bahkan, pada saat itu kantor KPU Tapanuli Utara dibakar massa yang menuntut dilakukan pemilihan ulang.
Dinamika Pilkada Tapanuli Utara kembali berlangsung pada 2013 yang diikuti oleh delapan pasangan calon. Secara berturut-turut, pasangan Sanggam Hutagalung-Sahat Sinaga, Ratna E Lumbantobing-Refer Harianja, Bangkit P Silaban-David Hutabarat, Saur Lumbantobing-Manarep Manalu, Nikson Nababan-Mauliate Simorangkir, Banjir Simanjuntak-Maruhum Situmeang, Margan Sibarani-Sutan Nababan, dan Pinondang Simanjuntak-Ampuan Situmeang.
Begitu banyaknya peserta membuat suara pemilih tidak terkonsentrasi pada salah satu pasangan calon. Terdapat tiga pasangan perolehan tertinggi yang bersaing ketat, yaitu Bangkit Silaban-David Hutabarat (22,53 persen), Saur Lumbantobing-Manarep Manalu (27,66 persen), dan Nikson Nababan-Mauliate Simorangkir (24,98 persen).
Namun, lantaran tidak ada satu pun yang mampu meraih suara 30 persen, maka dilakukan pilkada putaran kedua dengan peserta Saur Lumbantobing-Manarep Manalu dan Nikson Nababan-Mauliate Simorangkir.
Persaingan putaran kedua tergolong menarik lantaran faktor dukungan Toluto ikut berperan pada adik kandungnya, Saur Lumbantobing. Sementara, Nikson Nababan merupakan sosok politisi tergolong baru berlatar belakang mantan wartawan dan pengusaha yang juga merupakan adil Sukur Nababan, politisi nasional PDI-P yang juga dikenal sebagai pengusaha.
Persaingan keduanya pada putaran kedua dimenangkan tipis Nikson Nababan-Mauliate Simorangkir (52,65 persen). Pasangan Saur Lumbantobing- Manarep Manalu menguasai 47,35 persen.
Oleh karena itu, jika pada Pilkada 2018 ini kembali faktor Toluto hadir melalui anaknya, Chrismanto Lumbantobing, dan coba menguji kekuatan petahana Nikson Nababan, mengindikasikan tidak lepasnya politik kekerabatan dalam Pilkada Tapanuli Utara.
Rudolf Sirait, Ketua KPU Tapanuli Utara, tidak menyangkal model persaingan dengan melibatkan faktor kekerabatan menjadi pemandangan yang sering dijumpai di Tapanuli Utara.
Hanya saja, ia menilai keunggulan pasangan tetap saja ditentukan oleh seberapa besar intensitas perhatian para calon terhadap konstituen pendukungnya. Nikson Nababan sebagai petahana jelas memiliki jaringan pendukung yang besar.
Sebagian besar partai politik berada di belakang petahana. Jonius TP Hutabarat sebagai sosok politisi baru dengan latar belakang sebagai Kapolres di Tapanuli Utara punya kekuatan yang signifikan.
Sementara faktor Toluto pada Chrismanto Lumbantobing yang dibuktikan oleh dukungan riil hingga sekitar 30.000 warga pada pencalonannya. Dalam persoalan ini, ia menganggap ketiga pasangan calon yang saat ini berkompetisi sama-sama berkualitas. ”Ketiganya punya modal sosial yang kuat,” kata Sirait.
Hingga akhir April lalu, beberapa hasil survei opini publik sudah memublikasikan hasilnya, yang mendudukkan petahana Nikson Nababan masih terlalu kuat. Hasil survei LKPI di awal April 2018 menunjukkan pasangan Nikson Nababan-Sarlandy Hutabarat meraih 57,2 persen.
Sementara, Jonius T Hutabarat-Frengki Simanjuntak 17,9 persen dan Chrismanto Lumbantobing-Hotman P Hutasoit 18,6 persen. Begitu pula survei yang dilakukan Charta Politika menunjukkan pasangan Nikson Nababan-Sarlandy Hutabarat meraih 57,7 persen. Jonius T Hutabarat-Frengki Simanjuntak 22,7 persen. Posisi terakhir, pasangan Chrismanto Lumbantobing-Hotman P Hutasoit 8 persen.
Dengan publikasi berbagai hasil survei, apakah langkah Nikson Nababan dalam memperpanjang kekuasaannya bakal terwujud? Apabila diasumsikan tidak ada persoalan dalam kualitas penyelenggaraan ataupun penyelenggara survei tersebut, perbedaan dukungan yang besar sebagaimana digambarkan dalam hasil survei meringankan langkah politik Nikson Nababan sebagai pemimpin Tapanuli Utara.
Hanya peristiwa mahabesar saja yang mampu membalikkan kondisi secara radikal. Namun, sekalipun tampak kecil tidak berarti peluang kemenangan tertutup rapat bagi pesaing lainnya.
Hanya saja, di balik kontestasi kali ini, dinamika politik warga Tapanuli Utara di dalam pencarian pemimpin mereka tetap saja sama. Kultur politik harajaon sebagaimana yang digambarkan Castles di masa lalu tetap menjadi landasan.
Kekerabatan, politik uang, protes dan gugatan kecurangan, hingga aksi-aksi kekerasan dalam jalannya Pilkada era kini tetap tidak terhindarkan, sebagai ekses dalam merebut harajaon.
Bagi pemerintahan kolonial Belanda, menghadapi kultur semacam ini memang merepotkan. Castles mengutip paparan Residen Tapanuli saat itu, WKH Ypes kepada penggantinya, PC Arends, ”Mendengarkan dan meneliti semua keluhan memerlukan kesabaran yang luar biasa, tetapi hal itu berhasil mempertahankan hubungan (penduduk) dengan pemerintah.”
Dengan menuruti politik harajaon orang Batak, para Residen Belanda berhasil mempertahankan Tapanuli sebagai kawasan yang tenang dalam bagian yang strategis dari kemaharajaan Belanda.
Begitu pula saat ini, sekalipun sisi-sisi negatif sulit terhindarkan, kultur politik demikian dapat pula berbuah manfaat. Harajaon tidak selalu ditempatkan pada sisi politik mendapatkannya, tetapi dalam kekiniannya, menjadi lebih penting ditempatkan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap amanat rakyat yang sudah diraih.
Dalam hal ini, bisa jadi kini Presiden Joko Widodo berhasil menanamkannya bagi masyarakat Tapanuli Utara dan umumnya Sumatera Utara. Perbaikan ruas-ruas jalan raya pun menjadi rujukan namanya. Pada giliran selanjutnya, tentu saja suatu pertaruhan bagi pasangan calon bupati dan wakil bupati yang berhasil memenangkan Pilkada Tapanuli Utara. (LITBANG KOMPAS)