Tarikan Tradisionalitas dan Modernitas di Gianyar
Gianyar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali yang menjadi ikon kekuatan tradisionalitas dengan aktivitas seni dan budaya puri yang kuat, khususnya yang berpusat di Puri Ubud.
Kekuatan kultural ini menjadikan tiap kandidat yang ingin mendapatkan kekuasaan politik cukup berhati-hati dalam mengemukakan program-program pembaruannya.
Di tanah yang dikenal dengan ”Gumi Seni lan Budaya” (Bumi Seni dan Budaya) ini komodifikasi dari aspek tradisionalitas dan adat istiadat justru menjadi penopang utama kehidupan ekonomi wilayah.
Selain Puri Ubud yang selalu menjadi daya tarik wisatawan asing ataupun lokal juga terdapat Pasar Seni Sukawati yang menjadi pusat perdagangan hasil-hasil seni dan berbagai keperluan tradisi.
Di luar itu, tersebar desa-desa wisata yang menopang kontinuitas Bali sebagai destinasi wisata berbasis kultural.
Gianyar juga memiliki obyek wisata alam dan sejarah yang banyak dikunjungi wisatawan, seperti Tirtha Empul, Goa Gajah, Tampaksiring, Sebatu, Yeh Pulu, dan Alam Sidan.
Kekuatan Gianyar dalam mengembangkan pariwisata berbasis kultural tecermin dalam produk domestik regional bruto (PDRB) mereka. Sektor akomodasi, makanan, dan minuman menyumbangkan 25 persen dari total PDRB. Belum lagi jika dikaitkan dengan sektor-sektor terkait.
Pariwisata juga memberikan efek multiflier bagi sektor lainnya, membuka peluang tumbuh kembangnya sektor perdagangan, transportasi, informasi dan komunikasi, jasa keuangan, konstruksi, serta industri di Gianyar.
Jika ditotal, secara kasar 67 persen PDRB didorong oleh semaraknya pariwisata Gianyar yang berpijak pada daya tarik kultural.
Keunikan wisata Gianyar telah membuat wilayah ini cukup diperhitungkan dalam jajaran atas sebagai kabupaten penyumbang kekuatan ekonomi Bali.
PDRB Kabupaten Gianyar berada pada urutan keempat setelah Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Buleleng. Pada tahun 2016 nilainya mencapai Rp 22,22 triliun.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Gianyar bahkan selalu berada di atas pertumbuhan Provinsi Bali. Pada 2016 perekonomian Gianyar tumbuh 6,30 persen, sedangkan Provinsi Bali 6,24 persen.
Tradisi adalah kekayaan yang, dalam lingkup Gianyar, harus tetap dijaga dan dilestarikan. Tidak saja karena adat istiadat ini merupakan warisan leluhur, tetapi lebih dari itu menyangkut masa depan perekonomian wilayah Gianyar sendiri.
Menjaga eksistensi tradisi adalah mempertahankan keberlangsungan ekonomi masyarakat selama aspek kultural ini masih memiliki daya komodifikasi yang kuat.
Pemahaman akan kaitan tradisi dengan banyak hal dalam kehidupan masyarakat Gianyar membuat calon-calon yang akan bertarung memperebutkan kekuasaan tertinggi di Gianyar lebih bersikap hati-hati dalam mengemukakan program-program pembaruannya.
Mereka merasa lebih nyaman berada di balik tabir tradisi daripada menyokong modernitas yang diintrodusir oleh sejumlah kepentingan dan gaya hidup, terutama kalangan menengah atas baru ataupun generasi milenial.
Modernitas juga dibawa oleh wisatawan mancanegara yang menjadikan Bali sebagai salah satu destinasi wisata kelas dunia.
Kelompok pemilih yang tradisional di Bali jumlahnya lebih besar dan solid dibandingkan kelompok yang mendefinisikan diri sebagai kelas menengah atau kelas elite baru.
Mereka dan generasi milenial juga masih memiliki akar di dunia tradisional, bukan merupakan kelompok yang berdiri sendiri.
”Pada dasarnya siapa calon yang mampu menguasai kelompok-kelompok tradisional bisa dipastikan akan memenangkan pertarungan,” ujar antropolog Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Nyoman Yoga Segara.
Calon-calon yang mengusung program pembaruan daerah pada umumnya gamang, apakah akan mengkampanyekan sebagai daerah yang sangat dominan modernisasi pariwisatanya seperti halnya Badung ataukah mempertahankan kekuatan tradisionalitasnya.
Tampaknya mereka cenderung bermain aman dengan mengombinasikan kedua hal itu. Sikap seperti ini juga tecermin dalam aspek kewilayahan. Karena itu, banyak daerah di Gianyar yang di satu sisi berjabat tangan dengan pariwisata, dengan kapital, tetapi di sisi lain mereka mempertahankan kebudayaan.
Berbeda dengan Kuta atau Nusa Dua yang penempatan posisi kepentingannya lebih jelas dengan aroma pariwisata yang dominan, di Gianyar antara kepentingan pariwisata dan mempertahankan kebudayaan cenderung saling tarik-menarik.
”Di sini, aroma puri bahkan sangat dominan,” kata Segara.
Situasi ini membuat calon-calon yang akan mengampanyekan program-programnya agak kesulitan memaparkan secara jelas keberpihakannya.
”Kalau dia terlalu ke kiri, itu sangat riskan dianggap sebagai kekuatan yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan tradisional. Sebaliknya, kalau terlalu ke kanan, ke tradisional, seolah-olah modernisasi dianggap tidak bisa masuk ke situ,” kata Segara.
Tarik-menarik kekuatan tradisional dan modern inilah justru yang pada akhirnya membentuk Gianyar sebagai wilayah wisata berbasis kultural yang cukup seimbang, bahkan menjadi kekuatan ekonomi yang didukung oleh keunikan budaya.
Tradisional dan kapital
Pilkada Kabupaten Gianyar 2018 bisa dibilang sebagai sebuah kontestasi yang memunculkan aspek-aspek tradisional dan modern atau kapital.
Pasangan nomor urut satu, Tjokorda Raka Kerthyasa dan Pande Istri Maharani Prima Dewi atau disingkat Kertha-Maha, mencerminkan perpaduan antara dua kekuatan, tradisional dan kapital.
Tjokorda Raka Kerthyasa alias Tjok Ibah adalah Ketua Umum Pelestarian Warisan Budaya Bali (2003-sekarang). Sementara pasangannya, Pande Istri Maharani Prima Dewi atau Gek Rani adalah pengusaha yang bergerak di bidang perhotelan.
Kertha-Maha diusung oleh koalisi Partai Golkar, Demokrat, Gerindra, PKPI, dan Nasdem dengan dukungan anggota DPRD berjumlah 21 kursi. Mereka mencoba menawarkan formula pembangunan Gianyar dengan tagar ”Koalisi Gianyar Bangkit”.
Meski kata bangkit tampak cukup membius, tetap saja pasangan ini tidak menegaskan perbedaannya dalam visi kultural.
Bahkan, judul visi-misi yang mencantumkan ”Menuju Gianyar yang Anyar” pun terasa lengang dari upaya untuk membuat perubahan mendasar, sebaliknya cenderung menarik pada akar tradisionalitas yang makin kuat.
Misi yang diajukan pasangan ini, di antaranya, adalah mewujudkan Kabupaten Gianyar yang berbudaya, metaksu, modern dengan tidak meninggalkan tradisi positif yang telah ada.
Terasa sloganistis dan bersayap maknanya yang justru menegaskan bahwa mereka cenderung melestarikan tarik-menarik antara tradisionalitas dan modern dalam bingkai kampanyenya.
Pasangan nomor urut dua adalah I Made Mahayastra dan Anak Agung Gde Mayun. Mereka diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mendapatkan 16 kursi DPRD.
Pasangan ini bisa dibilang merupakan kandidat yang meneruskan warisan pendahulunya. I Made Mahayastra adalah Wakil Bupati Gianyar (2013-sekarang).
Ia memiliki pengalaman politik yang terbilang cukup luas karena pernah menjadi Ketua DPRD Kabupaten Gianyar (2004-2013) dan sekarang masih menjabat sebagai Ketua DPC PDI-P Gianyar.
Sementara pasangannya, Anak Agung Gde Mayun, adalah adik dari Bupati Gianyar AA Gde Agung Bharata. Dengan mengambil tagar ”Paket Aman” sebagai perpaduan inisial kedua tokoh, calon bupati dan wakil bupati, pasangan ini seolah memberi pernyataan adanya kontinuitas kepemimpinan atau kebijakan jika mereka terpilih.
Pasangan ini, meskipun coba membangun narasi ”Gianyar menuju Era Baru”, dalam pengembangan misinya juga cukup banyak menekankan pada upaya memperkuat akar tradisionalitasnya, di antaranya memperkokoh kedudukan, tugas, dan fungsi desa pakraman/desa adat dalam menyelenggarakan kehidupan krama Gianyar serta mengembangkan destinasi dan produk pariwisata baru berbasis budaya.
Perang puri
Pilkada Gianyar juga terasa kental dengan nuansa ”perang puri” yang terbangun lewat hadirnya dua tokoh dari puri yang berbeda dalam kontestasi.
Calon bupati dengan nomor urut satu, Tjokorda Raka Kerthyasa, adalah bangsawan dari Puri Ubud, puri terbesar di wilayah Gianyar.
Ia akan berhadapan dengan pasangan yang didukung oleh calon wakil bupati lawannya yang berasal dari Puri Gianyar, yaitu Anak Agung Gde Mayun.
Pilkada Gianyar juga terasa kental dengan nuansa ’perang puri’.
Masuknya kedua tokoh puri tersebut dapat berpengaruh pada rencana-rencana pengembangan yang berbasis pada penguatan aspek-aspek kultural atau setidaknya menjadi penahan bagi modernisasi yang bakal menggerus kekuatan tradisional.
Meski demikian, perebutan pengaruh dalam strategi politik yang efektif di Bali tak bisa lepas dari kekuatan riil yang sesungguhnya saat ini makin memegang peranan penting, yakni kalangan jaba (jabawangsa).
Oleh karena itu, kita bisa menyaksikan dalam Pilkada Gianyar pun komposisi pasangan melibatkan dua dimensi: tokoh puri (bangsawan atau kalangan triwangsa) dan tokoh di luar lingkaran puri (jabawangsa atau sudra).
Belajar dari sejarah, kalangan jaba inilah yang kemudian lebih gigih mengambil inisiatif perubahan, baik ke arah modernitas maupun kesetaraan.
Melihat pada komposisi yang terbentuk, penempatan tokoh dari kalangan jaba juga akan menjadi petunjuk ke arah mana tarikan perubahan akan terjadi.
Apakah pada pendulum tradisionalitas yang menguat ataukah modernitas yang nantinya mengayunkan gerak Gianyar usai terpilihnya pasangan calon dalam pilkada 27 Juni 2018. (LITBANG KOMPAS)