Dinamika Perebutan Kursi Sulsel Satu
Ada profesor mau jadi gubernur
Ada gubernur mau jadi wakil gubernur
Ada wakil gubernur mau jadi gubernur
Ada tokoh lokal yang menasional
Ada tokoh nasional kembali ke lokal
Itulah anekdot yang berkembang di Sulawesi Selatan selama kontestasi pilkada gubernur 2018. Persaingan keras tak terelakkan, mulai dari bongkar pasang pasangan calon, kontestasi antarsaudara kandung, teman kuliah, hingga dinasti lama versus dinasti baru.
Semuanya ingin merebut kursi nomor satu Sulsel, mengembalikan kejayaan dinasti keluarga, hingga berjanji menyelesaikan persoalan di Sulsel. Sistem patron-klien tidak akan lepas dari budaya Bugis dan Makassar.
Sistem stratifikasi sosial yang membagi masyarakat dalam unit wilayah raja dan pengikutnya tersebut, menurut Christian Pelras dalam buku Manusia Bugis, mengakibatkan terjadinya mobilitas sosial, persaingan di antara mereka yang sederajat, kerja sama antar-strata sosial, dan integrasi dalam berbagai kelompok.
Persaingan perebutan kekuasaan untuk menjadi patron atau pemimpin tertinggi Sulsel tengah terjadi dalam kontestasi pilkada ini. Posisi untuk menjadi patron atau pemimpin tertinggi berlomba-lomba ingin didapatkan karena pasti mereka akan mendapat banyak pengikut yang siap melayani setiap saat.
Sejumlah tokoh masyarakat kualitas nomor satu bertarung untuk mendapatkan patron tertinggi tersebut. Mereka yang sebelumnya telah menduduki jabatan tinggi di pemerintah pusat rela pulang kampung dengan janji mulia untuk membangun kampung halaman.
Tokoh tersebut adalah Nurdin Halid, politisi Golkar yang telah malang melintang di Ibu Kota sebagai Ketua Golkar, Ketua PSSI, hingga Ketua Dewan Koperasi. Nurdin Halid kali ini berpasangan dengan Abdul Aziz Qahar Muzakkar, anggota DPD Sulsel tiga periode.
Seorang wakil gubernur berupaya menjadi gubernur. Dia adalah Agus Arifin Nu’mang yang selama 2008-2018 telah menjadi wakil gubernur di masa pemerintahan Syahril Yasin Limpo.
Anak mendiang Bupati Sidrap (1966-1978) Arifin Nu’mang tersebut ingin menjajal kemampuan menjadi pemimpin nomor satu Sulsel. Dia cukup percaya diri dengan pengalamannya 10 tahun ikut mengelola provinsi produsen padi ini.
Selanjutnya, ada profesor yang ingin menjadi gubernur, yakni Nurdin Abdullah. Profesor lulusan Jepang ini sebelumnya telah memimpin Kabupaten Bantaeng selama dua periode.
Pada kontestasi kali ini, dia ingin mencoba pengalamannya mengelola kabupaten untuk diterapkan dalam lingkup yang lebih luas, yakni provinsi.
Calon terakhir adalah Ichsan Yasin Limpo (IYL). Menurut Firdaus Abdullah, akademisi Universitas Islam Negeri Alaudin, Makassar, IYL adalah representasi kakaknya, Syahrul Yasin Limpo, yang dianggap tokoh lokal yang menasional. Sosok kakaknya cukup kuat membayangi pencalonannya, yang bisa jadi untuk melanjutkan dinasti kekuasaan keluarga Limpo.
Bongkar pasang
Sudah menjadi rahasia umum di Sulsel, Nurdin Abdullah pernah berencana berpasangan dengan Tanribali Lamo. Pasangan ini dikabarkan oleh sejumlah media daring lokal telah membuat tasyakuran peresmian pasangan di Rumah Perjuangan NA, Jalan Haji Bau, Makassar, Agustus 2017 lalu. Bahkan, inisial pasangan calon juga sudah disebarluaskan, yakni NA-TBL.
Namun, peresmian tersebut tinggal kenangan. Nurdin Abdullah tiba-tiba memilih berpasangan dengan Andi Sudirman Sulaiman, adik Amran Sulaiman, Menteri Pertanian. Pasangan Nurdin Abdullah-Tanribali Lamo, menurut Agus Nu’mang, sudah direstui Jusuf Kalla, Wakil Presiden.
Kisah bertemunya Nurdin Abdullah dengan Andi Sudirman juga penuh intrik. Firdaus menyebutkan, dukungan Amran Sulaiman sebenarnya diberikan kepada Agus Nu’mang.
Hanya, karena pantauan hasil survei Nu’mang menurun, Amran mengalihkan dukungan kepada Nurdin Abdullah yang menduduki posisi teratas hasil survei elektabilitas. Namun, syaratnya harus berpasangan dengan adiknya, yang sebelumnya karyawan di perusahaan multinasional di Kalimantan Timur.
Kontestasi program
Tidak berhenti pada bongkar pasang pasangan, persaingan berlanjut pada adu program kerja. Kebetulan Agus dan Nurdin dulu adalah lulusan pertanian Universitas Hasanuddin pada angkatan yang sama.
Dalam debat Pilkada Sulsel pertama, Maret lalu, keduanya menawarkan berbagai program berbeda untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Solusi yang ditawarkan adalah membangun pusat-pusat pertumbuhan baru, membangun tiga aspek (ekonomi, lingkungan, dan sosial), serta membangun infrastruktur yang menjangkau desa terpencil.
Agus Nu’mang menyebutkan, suatu pertumbuhan pasti menghasilkan ketimpangan. Angka rasio gini yang naik ini belum meresahkan karena kemiskinan dan pengangguran turun.
Angka rasio gini Sulsel selama lima tahun terakhir cenderung naik, bahkan tertinggi kedua setelah DI Yogyakarta. Tahun 2017, angka ketimpangan Sulsel adalah 0,429, lebih tinggi daripada angka nasional 0,391.
Adapun angka kemiskinan pada periode yang sama terakhir turun dari 10,32 persen pada 2013 menjadi 9,39 persen pada 2017, disusul angka pengangguran yang menurun 0,26 persen selama lima tahun.
Program yang ditonjolkan adalah pengembangan pusat pertumbuhan Latimojong, Bulusaraung, dan Bawakaraeng (Labuba Malabo). Kawasan Labuba adalah tiga kawasan pegunungan Latimojong, Bulusaraung, dan Bawakaraeng. Selanjutnya adalah kawasan pesisir, yaitu Selat Makassar, Laut Flores, dan Teluk Bone.
Kawasan tersebut akan dihubungkan dengan 500 kilometer jalan strategis. Tujuannya, supaya ada konektivitas antarwilayah dan di dalam wilayah itu sendiri. Keberadaan jalan akan mempermudah arus dan produksi barang dari desa ke kota atau sebaliknya.
Setelah pembangunan jalan, berikutnya adalah program pendidikan dengan membangun 50 SMK unggulan gratis langsung kerja. Selanjutnya adalah mengatasi pengangguran dengan pengembangan wirausaha baru.
Yang menarik dari program Agus-Tanribali adalah program pengentasan rakyat miskin dengan gerakan kesetiakawanan sosial. Program tersebut dimulai dengan pembentukan tim khusus.
Tim tersebut akan mengumpulkan beberapa orang dari golongan menengah atas. Selanjutnya, mereka akan dipersaudarakan dengan keluarga miskin untuk menjadi keluarga angkat.
Keluarga kaya tersebut bisa berbagi uang dan barang yang tidak terpakai kepada keluarga miskin sehingga masalah kemiskinan selesai dengan pola kekerabatan.
Sementara Nurdin Abdullah memilih menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi dengan pendekatan kesehatan. Pembangunan rumah sakit regional di enam wilayah diharapkan menimbulkan multiplier effect bagi sektor lain.
Nurdin mencontohkan, adanya rumah sakit tipe A di Bantaeng bisa menumbuhkan lapangan kerja baru serta menggerakkan sektor properti, pendidikan, dan perdagangan serta jasa.
Selain itu, tujuan utamanya, masyarakat Bantaeng tidak perlu bersusah payah untuk berobat ke Makassar. Kalau rumah sakit sejenis itu bisa dibuat di enam wilayah lain, misalnya di utara dan bagian tengah, hal itu akan mengurangi kesenjangan yang ada.
Selain dari sektor kesehatan, mulai dibangun pusat pertumbuhan baru di sektor wisata. Bira, Selayar, dan Toraja, misalnya, fokus pada kawasan wisata. Sektor pariwisata pasti akan membangkitkan gerak sektor-sektor lain, seperti perdagangan dan jasa, properti, serta pendidikan.
Namun, Nurdin Abdullah dalam sesi debat Pilkada Sulsel sesi pertama mengatakan, mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan tersebut tidak mudah. Harus ada dukungan investasi dari luar.
Selain itu, wilayah harus menyiapkan sistem birokrasi yang ramah investasi. Investasi luar negeri akan mempermudah untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan baru.
Keberadaan investor dari luar ini kembali dipertanyakan Agus Nu’mang dalam debat sesi kedua. Mantan Wakil Gubernur Sulsel tersebut mempertanyakan investasi di Bantaeng yang dianggapnya kurang berhasil karena tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di atas kertas, dari catatan Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan Bantaeng fluktuatif. Tahun 2010, saat Nurdin pertama kali memerintah, angka kemiskinan sampai 10,24 persen. Selanjutnya, pada 2012, angkanya turun menjadi 8,89 persen. Namun, pada 2013, angka kemiskinan malah naik menjadi 10,45 persen, meski sampai 2016 sudah turun menjadi 9,51 persen.
Angka tersebut menjadi titik lemah terbesar Nurdin Abdullah. Dalam beberapa acara di televisi nasional, banyak pihak menyerangnya dengan angka kemiskinan yang terus naik.
Dinasti kekuasaan
Dinasti Yasin Limpo pada pilkada kali ini mendapat perlawanan keras dari Nurdin Halid. Dimulai dari Nurdin Halid yang ”merebut” kekuasaan politik Syahrul Yasin Limpo di Partai Golkar Sulsel.
Akhir 2016, pasca-Munas Golkar, setelah mendapat jabatan Ketua Harian DPP Golkar, tanpa diduga Nurdin Halid kembali ke Sulsel. Selanjutnya, dia mulai mengisi jabatan sebagai Pelaksana Tugas Ketua DPD I Golkar Sulsel setelah selesainya jabatan Syahrul Yasin Limpo.
Belakangan Syahrul merasa tersingkir dari Golkar Sulsel. Pada (21/3) lalu, dia memutuskan untuk berganti bendera politik menjadi Nasdem.
Langkah Nurdin Halid makin jelas saat dia mulai melakukan konsolidasi-konsolidasi politik dan berakhir dengan maju menjadi salah satu calon gubernur Sulsel.
Taktiknya untuk memilih pasangan cukup pas dengan memilih Aziz Kahar Muzakkar. Pemilihan tersebut, menurut Firdaus, karena Nurdin Halid menyadari kekurangannya di masa lalu pernah menjadi tahanan dengan tuduhan korupsi pengadaan minyak goreng dan beras Bulog pada 2004.
Aziz Kahar Muzakkar adalah ulama pemilik Pondok Pesantren Hidayatullah, Makassar, sekaligus anggota DPD tiga periode berturut-turut. Selain itu, Aziz adalah salah satu anak kandung Kahar Muzakkar yang merupakan legenda Sulsel dan dianggap sebagai pelopor perjuangan kemerdekaan oleh rakyat Sulsel.
Aziz ini juga petarung sejati karena telah tiga kali berturut-turut maju dalam kontestasi pilkada, baik sebagai calon wakil gubernur maupun calon gubernur.
Setelah resmi menjadi calon pemimpin Sulsel, Nurdin Halid-Aziz berani melakukan kontrak politik dengan berikrar tidak melibatkan keluarga dalam pemerintahan. Janji tersebut hanya diungkapkan oleh Nurdin Halid-Aziz.
Kontrak politik tersebut secara tidak langsung menyindir keluarga Yasin Limpo yang pada pilkada ini mengajukan Ichsan Yasin Limpo. Hal tersebut menjadi bentuk perlawanan lain Nurdin Halid terhadap keluarga Yasin Limpo.
Meski demikian, sebenarnya janji politik Nurdin Halid adalah pepesan kosong. Buktinya, menantunya, Andi Seto Gadhista Asapa, maju sebagai calon bupati Sinjai pada Pilkada 2018. Secara perlahan, Nurdin Halid mulai membangun dinasti politik dan berharap kemenangannya di pilkada gubernur menjadi pintu pembuka untuk dinasti kekuasaan.
Di sisi lain, Ichsan Yasin Limpo sebagai penerus kekuasaan kakaknya bertahan untuk tetap meneruskan kekuasaan keluarganya. Meski tidak mendapat dukungan partai, ia masih gigih untuk mencoba menggunakan jalur perseorangan dan lolos dengan dukungan 1,8 juta KTP.
Ichsan melakukan manuver dengan memilih wakil bupati Andi Muzakkar. Andi adalah adik kandung Aziz Qahar Muzakkar yang merupakan calon wakil gubernur untuk pasangan calon nomor urut satu. Bisa jadi, menurut Firdaus, itu merupakan langkah Ichsan untuk menggembosi Nurdin Halid.
Sesama saudara Qahar Muzakkar yang maju diperkirakan akan memecah suara di kawasan Luwu Raya sebagai asal dari Aziz dan Andi. Tarik-tarikan suara akan cukup kuat mengingat Andi Muzakkar pernah menjadi Bupati Luwu (2009 dan 2014).
Namun, menurut Luhur Prianto, akademisi Universitas Muhammadiyah Makassar, basis suara saudara sekandung Muzakkar berbeda. Andi Muzakkar (Andi Caka), pasangan Ichsan, cenderung nasionalis dan kental dengan nuansa kebangsaan. Ini berbeda dengan kakaknya, Aziz, yang cenderung lebih fanatik.
Dinamika persaingan akan terus bergerak menjelang Pilkada Sulsel. Intrik-intrik politik akan banyak tercipta, mulai dari media sosial, politik uang, hingga dukungan-dukungan keluarga.
Namun, yang pasti, warga Sulsel tetap menantikan pemimpin yang berkarakter kuat, punya jejaring, serta menyelesaikan persoalan yang ada. Mari kita nantikan pertarungan antara dinasti politik dan adu kekuatan rasionalitas. (LITBANG KOMPAS)