Kekuatan Terobosan untuk Nagekeo
Jembatan Dadiwuwu di Kelurahan Lape, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo sudah tampak ramai dilalui oleh kendaraan roda dua dan roda empat yang hendak masuk atau keluar dari Kota Mbay pada Kamis pagi (8/2/2018).
Jalan yang melintas di jembatan ini masih berupa tanah merah sehingga permukaannya tampak bergelombang di sepanjang badan jembatan. Akibatnya, warga yang memacu kendaraan mereka harus segera mengurangi kecepatan agar bisa melintas dengan aman di atas jalan yang bergelombang tersebut.
Jembatan Dadiwuwu merupakan gerbang masuk ke Mbay dari Maumere di jalur utara dan dari Ende di jalur selatan. Jembatan ini merupakan penghubung utama Kota Mbay dengan daerah-daerah bagian timur dan selatan Pulau Flores. Jembatan Dadiwuwu sekarang dibangun dengan ukuran badan yang lebih panjang dan ukuran jalan yang lebih lebar. Perubahan ukuran ini untuk memudahkan mobilisasi semua jenis kendaraan yang berasal dari Larantuka, Maumere, dan Ende.
Jembatan Dadiwuwu saat ini masih dalam proses penyelesaian sebelum berakhir masa kontrak proyek pada 31 Desember 2018. Proses pembangunannya sendiri sudah dimulai sejak pertengahan tahun 2017 dengan biaya sebesar Rp 2,53 miliar. Sebelum dirombak, jembatan Dadiwuwu sering mengalami kerusakan karena ukuran jalan dan badan jembatannya tidak kuat menahan beban kendaraan yang melintasinya.
Mbay saat ini berkedudukan sebagai Ibu Kota Kabupaten Nagekeo sejak pemekaran wilayah pada 2007. Seperti jembatan Dadiwuwu, nasib Mbay sebagai ibu kota kabupaten pun masih dalam proses pembangunan. Sudah satu dasawarsa Mbay menyandang sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Nagekeo, namun pembangunan di kota ini seolah terhenti. Kondisinya tidak beda seperti sebuah perkampungan besar yang dilengkapi dengan satu komplek perkantoran pemerintah.
Kondisi ini menggambarkan pembangunan di Mbay yang sudah tertinggal jauh. Padahal, tahun1990-an Mbay pernah ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan di Flores-Lembata dengan dibentuknya Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu atau Kapet Mbay. Mbay termasuk salah satu dari 12 kapet di wilayah Indonesia bagian timur. Meski menyandang nama Kapet Mbay, cakupan kawasannya meliputi seluruh Flores.
Artinya, dengan predikat sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan Flores pembangunan Mbay seharusnya berjalan lebih cepat sehingga ketika menjadi ibu kota kabupaten, semua infrastruktur dan saranan layanan public sudah siap pakai. Faktanya, semua kebutuhan infrastruktur dan sarana publik harus dibangun kembali.
Sejarah daerah
Nagekeo secara resmi menjadi sebuah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 22 Mei 2007 sesuai dengan amanat UU Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo. Sebagai kepala daerah pertama Kementerian Dalam Negeri menunjuk Elias Djo sebagai penjabat bupati. Kabupaten dengan luas 1.386 kilometer per segi ini memiliki tujuh kecamatan, yaitu Aesesa, Aesesa Selatan, Nangaroro, Boawae, Mauponggo, Wolowae, dan Keo Tengah.
Sebelum pemekaran, Nagekeo merupakan wilayah yang menjadi bagian dari Kabupaten Ngada. Sejarah keberadaan Nagekeo di dalam Kabupaten Ngada bisa ditelusuri sejak pemerintahan kolonial Belanda membentuk otoritas dan administrasi pemerintahan Hindia Belanda di Ngada, pada 1908-1909. Sebelumnya, wilayah Ngada belum berada di bawah otoritas Belanda.
Ketika Belanda membentuk pemerintahan Residen Timor pada 1909, Flores merupakan salah satu afdeeling atau daerah otonom yang diawasi langsung oleh Keresidenan Timor. Afdeeling Flores mempunyai 5 onderafdeeling, yaitu Flores Timur, Maumere, Ende, Ngada, dan Manggarai.
Kelima onderafdeeling ini masing-masing membawahi pemerintahan keswaprajaan yang keseluruhannya berjumlah 9 swapraja. Swapraja tersebut adalah Adonara dan Larantuka (Flores Timur), Sikka (Maumere), Ende dan Lio (Ende), Nage, Keo, Bajawa dan Riung (Ngada), dan Manggarai (Manggarai).
Onderafdeeling Ngada terbagi ke dalam enam wilayah subdistrik yaitu: Ngada, Riung, Tado, Turing, Nage dan Keo. Nage dan Keo merupakan dua kelompok etnis yang memiliki kemiripan dalam bahasa dan adat istiadat sehingga Belanda ingin menyatukan kedua swapraja ini.
Gagasan ini kemudian disampaikan kepada Raja Boawae, Roga Ngole dan Raja Keo, Muwa Tunga pada 1917. Namun, penguasa kedua etnis ini menolak usulan Belanda tersebut sehingga gagasan penyatuan Nage dan Keo tidak terealisasi.
Namun, beberapa tahun kemudian seiring dengan terjadinya regenerasi penguasa kedua etnis ini, proses penyatuan perlahan-lahan bisa terealisir. Puncak dari penyatuan Nage dan Keo terjadi ketika Raja Roga Ngole dari Nage turun takhta dan digantikan oleh putranya Joseph Juwa Dobe.
Pelantikan Joseph yang jatuh pada 26 Januari 1931 dijadikan sebagai momentum penggabungan swapraja Nage dan Keo menjadi Swapraja Nagekeo. Sejak tahun 1931 onderafdeeling Ngada mencakup 3 swapraja yaitu: Nagekeo, Ngada dan Riung.
Seiring dengan terbentuknya Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 1962, kedudukan Nagekeo berada di dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Ngada. Tanggal 28 Februari 1962 pemerintah Provinsi NTT membentuk kecamatan untuk semua kabupaten. Kabupaten Ngada saat itu mempunyai 6 kecamatan, yaitu Ngada Utara, Ngada Selatan, Nage Utara, Nage Tengah, Keo, dan Riung.
Setahun kemudian pemerintah memekarkan lagi Kecamatan Keo menjadi Kecamatan Mauponggo (yang merupakan wilayah Keo Barat) dan Kecamatan Nangaroro (yang merupakan wilayah Keo Timur).
Melalui keputusan tersebut, Nama Kecamatan di Kabupaten Ngada berubah lagi menjadi Kecamatan Ngada Utara menjadi Kecamatan Bajawa, Kecamatan Ngada Selatan menjadi Kecamatan Aimere, Kecamatan Nage Tengah menjadi Kecamatan Boawae, Kecamatan Nage Utara menjadi Kecamatan Aesesa, Kecamatan Keo menjadi Kecamatan Mauponggo, dan Kecamatan Nangaroro.
Dinamika politik di Kabupaten Ngada mengalami pergolakan ketika pemerintah menetapkan Mbay sebagai Kapet pada 1994. Penetapan ini diikuti dengan wacana pemindahan ibu kota kabupaten dari Bajawa ke Mbay. Wacana ini membuahkan perjuangan untuk menjadikan Mbay sebagai ibu kota Ngada. Hasilnya, Mbay akhirnya ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Ngada melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1996.
Sayangnya, buah perjuangan yang manis ini tidak pernah terwujud sehingga warga Kabupaten Ngada tidak pernah menikmati Mbay sebagai ibu kota baru yang menggantikan Bajawa. Salah satu pemicu penelantaran amanat PP No 65 tersebut adalah regenerasi kepemimpinan pemerintahan kabupaten dari Bupati Johanes S. Aoh kepada penggantinya Albertus Nong Botha.
Di tangan bupati baru ini, baik agenda pemanfaatan kebijakan nasional Kapet Mbay maupun pemindahan ibukota Kabupaten Ngada ke Mbay tidak pernah dibahas sehingga mengalami pasang surut.
Dalam kerangka pasang surut inilah muncul keinginan dan semangat dari masyarakat Nagekeo untuk memisahkan diri dari Kabupaten Ngada dan membentuk kabupaten sendiri dengan nama Nagekeo.
Gagasan pemekaran wilayah ini mendapat respons positif dari pusat sehingga tanggal 22 Mei 2007 Kabupaten Nagekeo resmi menjadi sebuah daerah otonom baru di Provinsi NTT. Lingkup wilayah Kabupaten Nagekeo mencakup 7 kecamatan, yaitu Aesesa, Aesesa Selatan, Nangaroro, Boawae, Mauponggo, Wolowae, dan Keo Tengah.
Konfigurasi sosial
Nagekeo sejatinya adalah dua etnis di Flores bagian tengah yang yang disatukan Belanda ke dalam satu swapraja, yaitu Swapraja Nagekeo yang berada di bawah onderafdeeling Ngada. Cyrilus Bau Engo (60) pengamat masalah sosial-budaya Nagekeo menyebutkan, etnis Nage dan Keo merupakan etnis asli di Kabupaten Nagekeo. Kedua etnis ini memiliki perbedaan kultur yang sangat kecil. Saat ini keduanya sudah bercampur baur entah melalui perkawinan atau migrasi penduduk lintas kecamatan.
Cyrilus menuturkan, konfigurasi Nage dan Keo bisa dilihat dari aspek geografis atau sebaran penduduk yang mendiami sebuah kawasan yang ditandai dengan ciri alam tertentu. Secara umum, konfigurasi geografis ini terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan selatan dan utara.
”Kawasan selatan ditandai dengan topografi yang sulit tetapi tanahnya subur. Makanya orang-orang selatan kebanyakan bertani dan beternak,” ungkap Cyrilus kepada Kompas di kediamannya di Boawae.
Wilayah selatan ini menurut Cyrilus didominasi oleh orang-orang Nage. Mereka menempati dataran tinggi dan kawasan perbukitan yang subur. Kecamatan Boawae masih menjadi salah satu pusat permukiman orang-orang Nage sekarang.
Bagi orang-orang Nagekeo dan Flores bagian tengah, Boawae sudah lama dikenal sebagai kawasan pemasok kebutuhan sayur mayur dan tanaman pangan lainnya. Selain subur, Boawae juga memiliki temperatur alam yang dingin karena terletak di dataran tinggi.
Sebaliknya, kawasan utara yang dimulai dari pesisir laut hingga kaki-kaki bukit memiliki topografi alam yang relatif datar sehingga memudahkan mobilisasi orang dan barang antardaerah.
Kawasan utara relatif terbuka sehingga mata pencaharian penduduknya tidak saja bergantung kepada pertanian dan peternakan. Interaksi yang intens dengan masyarakat dari luar membuat kesempatan orang-orang di utara bisa memperoleh mata pencaharian lebih variatif, seperti perdagangan, karyawan, dan buruh lepas.
Menurut Cyrilus, di kawasan utara ini banyak didiami orang-orang Keo. Mereka tersebar di Kecamatan Aesesa, Aesesa Selatan, Wolowae, dan Mbay. Meski daerah-daerah ini dikenal sebagai basisnya orang Keo, saat ini sudah terjadi percampuran yang kuat baik dengan orang-orang Nage maupun dengan orang-orang dari luar Nagekeo. Daerah utara, terutama Mbay dan Wolowae mayoritas penduduknya didominasi oleh orang-orang dari luar Nagekeo, terutama Buton dan Makassar.
Dari aspek agama, mayoritas penduduk Nagekeo menganut agama Katolik. Para penganut agama lain yang cukup kuat di sini adalah Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Bima/Sumbawa dan Makassar. Proses perkembangan agama Islam di Nagekeo sendiri terbilang unik karena pusat pengajarannya terdapat di Boawae yang menjadi basis agama Katolik.
”Para guru agama banyak yang datang belajar kepada pemuka Islam di Boawae tentang praktik ajaran Islam yang benar. Mereka mengajarkan perbuatan-perbuatan yang dibolehkan dan diharamkan dalam Islam,” kata Cyrilus.
Kenyataan ini membuat karakter agama Islam di Nagekeo lebih menyatu dengan masyarakatnya secara keseluruhan karena banyak tokoh-tokoh masyarakat Nagekeo yang bersimpati kepada agama ini dan menjadi pelindungnya.
Salah satu indikasinya adalah kesamaan nama keluarga yang dibawa oleh orang Nagekeo entah yang beragama Katolik maupun Islam. ”Persaudaraan antara orang Katolik dengan Islam diikat dengan kuat oleh adat. Segala permasalahan yang muncul selalu diselesaikan dengan adat,” ungkap pria berusia 60 tahun ini.
Persaudaraan antarumat beragama yang kuat ini juga diungkapkan oleh Yunus Manitima (69) Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Nagekeo. Jumlah umat Islam di Nagekeo menurut Yunus sebesar 10 persen yang mayoritasnya berada di Kecamatan Aesesa, khususnya di Mbay.
Pilbup 2018
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Nagekeo sudah menetapkan 5 pasangan calon yang akan berlaga dalam Pemilihan Bupati Nagekeo pada 27 Juni 2018. Pilbup Nagekeo kali ini diikuti oleh dua paslon petahana yang saling bersaing untuk menjadi bupati selama 5 tahun ke depan.
Elias Djo, Bupati Nagekeo dalam pilbup ini menggandeng Serfasius Podhi sebagai wakilnya melalui Partai Golkar, Demokrat, PAN, dan PKS. Sementara Wabup Nagekeo Paulinus Y Nuwa Veto mengganden Marselinus F Ajo Bupu menggunakan dukungan PDI-P dan NasDem.
Tiga paslon lainnya masih terhitung sebagai wajah lama dalam Pilbup Nagekeo lantaran nama mereka sudah menjadi langganan sebagai cabup sejak pilkada 2008. Yohanes Don Bosco Do terbilang paling sering menjadi cabup Nagekeo dalam Pilkada 2008 dan 2013.
Pilkada kali ini sosok yang lebih terkenal dengan sapaan Dokter Don ini kembali mencalonkan diri sebagai bupati berpasangan dengan Marianus Waja. Partai pengusung mereka adalah PKB dan Gerindra.
Nama Gaspar Batu Bata salah satu cabup sudah pernah muncul sebagai cawabup pada Pilkada 2013. Saat itu Gaspar berpasangan dengan Yohanes Don Bosco Do. Pilbup 2018 ini Gaspar akan bersaing dengan mantan pasangannya, Dokter Don untuk menjadi Bupati Nagekeo yang baru. Gaspar Batu Bata memilih Ndait Adrianus sebagai wakilnya dengan dukungan Partai Hanura dan PKPI.
Pasangan Paskalis MB Ledo Bude-Oskarinis Meta merupakan pendatang baru dan satu-satunya pasangan yang baru pertama kali maju dalam Pilbup Nagekeo. Pasangan ini tentu memiliki rasa percaya diri yang tinggi karena maju tanpa mengantongi dukungan partai politik. Pasangan dengan tagline Pakar ini maju melalui jalur perseorangan setelah berhasil mengantongi dukungan sebanyak 9.827 KTP-el dari tujuh kecamatan di Nagekeo.
Keputusan KPU Kabupaten Nagekeo menetapkan, jumlah minimum dukungan calon perseorangan dalam Pilkada Nagekeo sebanyak 8.568 dan sebaran dukungan paling sedikit di empat kecamatan dari tujuh kecamatan di daerah itu dalam bentuk foto kopi KTP elektronik. Langkah Paket Pakar sempat tersendat, ketika pada verifikasi dukungan tahap pertama hanya 6.531 KTP-el yang memenuhi syarat.
Peta kontestasi
Pilbup Nagekeo meskipun diikuti oleh 5 paslon, kontestasi di antara kelimanya sudah diperkirakan akan berjalan aman dan damai. Pasalnya, paslon-paslon tersebut sudah saling mengenal secara personal dan memiliki kesamaan latar belakang dan identitas sosial, terutama asal daerah dan etnis.
”Potensi konflik pilkada di Nagekeo pasti rendah karena semua masih ada hubungan keluarga, baik di antara calon yang bertarung maupun dengan masyarakat,” ungkap Ketua KPU Kabupaten Nagekeo Wigbertus Ceme.
Menurut pengamatan Wigbertus, selama pilkada langsung diselenggarakan di Nagekeo sejak tahun 2008 belum pernah terjadi konflik terbuka yang melibatkan para pendukung paslon yang dimobilisir dari daerah-daerah yang ada di seluruh Kabupaten Nagekeo.
Potensi konflik pilkada di Nagekeo pasti rendah karena semua masih ada hubungan keluarga.
Untuk meredam konflik, para tokoh yang hendak mencalonkan diri membentuk konfigurasi pencalonan yang mengakomodasi keseimbangan daerah dan etnis. Konfigurasi inilah yang membuat suasana Pilbup Nagekeo selalu berjalan dalam kondisi yang aman. Para paslon hanya bisa dibedakan berdasarkan latar belakang profesi dan dukungan parpol.
Peta politik Kabupaten Nagekeo relatif cair karena tidak ada polarisasi politik atau kemenangan yang diraih satu atau dua parpol secara mutlak dalam pemilu. Hasil Pemilu 2014 menunjukkan, dari 12 partai peserta pemilu, peraih kursi terbanyak DPRD Kabupaten justru terdistribusi pada 6 partai, yaitu NasDem, PKB, PDI-P, Golkar, Gerindra, dan Hanura.
Setiap partai tersebut berhasil meraih 3 kursi. Peringkat kedua adalah Partai Demokrat, PAN, dan PKPI yang berhasil memperoleh 2 kursi. Sementara, PKS hanya meraih 1 kursi. PPP dan PBB gagal memperoleh kursi DPRD.
Sebaran kekuatan politik ini membuat strategi partai politik dalam mengusung calon bupati harus memperhitungkan popularitas calon berdasarkan asal daerah dan hubungan kekerabatan dengan calon pemilih. ”Pengusungan calon oleh partai politik tidak bisa dipetakan berdasarkan ideologi karena pengurus dengan calon yang akan diusung masih bersaudara. Begitu juga dengan pemilih,” kata Cyrilus.
Lemahnya ikatan ideologis ini membuat partai politik sulit mengidentifikasi daerah-daerah yang menjadi basis dukungan secara ril. Selain itu, loyalitas pemilih juga sangat cair sehingga magnet pertarungan pilbup dikonsentrasikan kepada kekuatan sosok masing-masing calon yang direfleksikan melalui popularitas, ketokohan, asal daerah, dan hubungan kekerabatan.
Pasangan Yohanes Don Bosco Do-Marianus Waja yang diusung PKB dan Gerindra merupakan sosok yang merepresentasikan keterwakilan wilayah utara dan selatan. Don Bosco yang berprofesi sebagai dokter dan mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ende ini berasal dari Kecamatan Wolowae di pesisir utara. Sementara wakilnya, Marianus Waja anggota DPRD Kabupaten Nagekeo dari Gerindra berasal dari Kecamatan Mauponggo.
Elias Djo, Bupati Nagekeo mewakili sosok dari Kecamatan Aesesa, sementara wakilnya Serfasius Podhi berasal dari Kecamatan Boawae. Pasangan ini berasal dari dua kecamatan yang menguasai 50 persen lebih pemilih di Nagekeo. Kecamatan Aesesa dengan total pemilih 24.159 orang dan Kecamatan Boawae jumlah pemilihnya 20.022 orang. Sementara total pemilih Kabupaten Nagekeo adalah 85.671 orang.
Pasangan Gaspar Batu Bata-Adrianus Ndait merupakan pasangan yang mewakili kekuatan daerah yang ada di bagian tengah dan selatan. Gaspar yang pernah menjabat Ketua DPRD Nagekeo pada 2009-2014 ini berasal dari Kecamatan Nangaroro, sementara adrianus Ndait, Kepala Bagian Operasi Polres Ngada berasal dari Kecamatan Aesesa.
Pasangan Paulinus Y Nuwa Veto-Marselinus F Ajo Bupu memiliki basis pemilih di bagian tengah. Paul yang masih menjabat Wakil Bupati Nagekeo berasal dari Kecamatan Keo Tengah, sementara wakilnya Marselinus, politisi PDI-P yang menjabat Ketua DPRD Nagekeo berasal dari Kecamatan Boawae.
Calon perseorangan Paskalis MB Ledo Bude-Oskarinis Meta juga mewakili kekuatan kawasan tengah. Paskalis yang berprofesi sebagai pengusaha merupakan tokoh dari Kecamatan Keo Tengah sementara wakilnya Oskar berasal dari Mbay, Kecamatan Aesesa.
Konfigurasi paslon ini menyiratkan pertarungan perebutan suara akan sengit di Kecamatan Aesesa dan Boawae yang menjadi lumbung pemilih terbesar. Ketatnya pertarungan ini juga diindikasikan dengan hadirnya dua sampai tiga tokoh yang berasal dari dua kecamatan ini baik sebagai cabup atau cawabup.
Dengan kata lain, Elias Djo, Adrianus Ndait, dan Oskarinis Meta akan bertarung di Kecamatan Aesesa yang menjadi asal mereka. Sementara di Boawae, diperkirakan akan terjadi rivalitas yang kuat antara Serfasius Podhi dan Marselinus F Ajo Bupu sebagai putra Boawae.
Ketatnya persaingan dalam merebut simpati pemilih di kedua kecamatan ini – juga di 5 kecamatan lain – tidak akan memantik gejolak yang berujung pada konflik sosial. Menurut Cyrilus Bau Engo, konfigurasi ini tidak akan memicu gejolak sosial di Nagekeo. ”Konfigurasi ini hanya membuat pemilih bingung karena semua ada jalinan saudara,” ungkapnya.
Pembangunan daerah
Sejak dimekarkan pada Mei 2007 pembangunan di Kabupaten Nagekeo relatif jalan di tempat. Kondisi ini sangat terlihat jelas di Mbay yang menjadi ibu kota kabupaten. Pusat pemerintahan Kabupaten Nagekeo ini tidak ubahnya sebuah perkampungan besar yang dilengkapi dengan bangunan komplek pemerintahan kabupaten yang relatif baru selesai dibangun. Selain komplek pemerintahan, bangunan yang masih relatif baru adalah Kepolisian Resort Nagekeo.
Fasilitas umum yang tersedia hanya sebuah terminal yang kondisinya juga sudah memprihatinkan. Komplek terminal ini hanya bisa ditandai dengan keluar masuknya bus antarkota lantaran tidak ada penanda fisik terminalnya.
Baru ada satu jalan protokol yang menjadi poros utama yang menghubungkan Mbay dengan daerah-daerah lain di Pulau Flores. Jalannya sudah diaspal dan terlihat mulus. Untuk jalan bisa dikatakan kondisinya sudah baik meskipun masih terdapat kerusakan di beberapa kecamatan.
Perjalanan Kompas dari Maumere ke Mbay pada awal Februari 2018 berhasil merekam kondisi infrastruktur jalan di sepanjang jalur utara Pulau Flores. Khusus untuk Nagekeo, kondisi rusak paling parah terdapat di jalan trans Flores yang melintasi Desa Kaburea, Kecamatan Wolowae. Jalan negara yang menjadi poros transportasi di Desa yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Maukaro Kabupaten Ende ini permukaannya masih berupa tanah.
Kerusakan jalan mulai dari perbatasan kabupaten ke arah kota Mbay dengan panjang kurang lebih dua kilometer. Tumpukan lumpur kering yang menutupi badan jalan cukup mengganggu kelancaran transportasi kendaraan bermotor.
Semua kendaraan yang melintasi jalan ini harus memperlambat jalannya karena harus menghindari lumpur kering yang menutupi permukaan jalan. Menurut keterangan warga, jalan ini akan sulit dilalui ketika hujan turun karena menjadi tempat genangan air.
Kondisi infrastruktur yang rusak ini membuat mobilitas warga dan barang dari daerah ini ke Mbay menjadi terhambat. Akibatnya, Kaburea dan beberapa daerah di Kecamatan Wolowae kondisinya masih tertinggal dan terkesan tidak tersentuh oleh pembangunan. Boleh jadi, lambannya pembangunan ekonomi di sini merepresentasikan respons pemerintah yang lamban terhadap pengembangan ekonomi rakyat.
Kondisi ini bisa dilihat dari laju pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto Kabupaten Nagekeo selama ini. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagekeo mencatat, pertumbuhan PDRB Nagekeo terbilang kecil. Dari tahun 2010 hingga 2015 kegiatan ekonomi yang menunjang pertumbuhan sektor PDRB masih terbilang kecil. Indikasinya adalah nilai pertumbuhan PDRB yang tidak pernah mencapai angka 5 selama 5 tahun terakhir.
Wakil Bupati Nagekeo Paulinus Y Nuwa Veto menuturkan, sejak dulu Nagekeo sudah dikenal sebagai penghasil produk-produk pertanian berkualitas tinggi. Tanahnya yang subur dan iklimnya yang sejuk sangat menunjang pengembangan potensi pertanian.
”Nagekeo terkenal karena pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan. Potensi pengembangannya masih sangat besar. Sayangnya, pengembangan sektor-sektor tersebut hampir tidak berjalan sehingga hasil pertanian tidak membawa kemajuan terhadap pembangunan daerah,” kata Paul.
Hambatan utama dalam pembangunan daerah selama ini adalah kebutuhan lahan untuk pembangunan infrastruktur dan sarana pendukungnya. Lahan di Nagekeo sejatinya masih luas dan mampu menampung pembangunan infrastruktur untuk kepentingan industri manufaktur. Namun, lahan-lahan kosong di Nagekeo hampir semuanya berstatus sebagai tanah ulayat atau tanah adat yang dimiliki oleh klen atau subetnis yang ada di Nagekeo.
Paulinus menyebutkan, salah satu hambatan bagi pemerintah dalam pembangunan di Nagekeo adalah pembebasan lahan yang masih berstatus tanah ulayat. ”Persoalan ini sebetulnya sudah muncul sejak masih bergabung dengan Kabupaten Ngada,” katanya.
Paulinus yang menjadi calon bupati untuk Pilkada 2018 menjadikan persoalan ini sebagai salah satu program prioritas untuk dikerjakan jika dia terpilih menjadi Bupati Nagekeo. Pengalaman sebagai wakil bupati selama lima tahun membuat dia belajar bahwa persoalan yang menghambat penyelesaian masalah ini adalah komunikasi yang terhambat antara pemerintah dengan para pemangku adat. ”Saya akan mendorong supaya kita berani untuk berbicara persoalan ini secara terbuka. Jangan ditutup-tutupi lagi,” tutur Paul di kediamannya.
Semua calon Bupati Nagekeo yang akan bertarung pada pilbup kali ini tentu sudah memiliki program unggulan untuk mengangkat kabupaten ini dari ketertinggalan. Pilbup Nagekeo bukan sekadar ajang kontestasi untuk mengangkat superioritas daerah atau etnis, tetapi sebagai ajang adu gagasan untuk mendapatkan terobosan pembangunan Nagekeo. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)