Kaum Elite Bangsawan di Tanah Kapur
Kabupaten Sumba Tengah memiliki moto ”Tana Waikanena Loku Waikala” atau secara harfiah berarti tanah penuh harapan atau negeri yang menjanjikan kesejahteraan masyarakatnya. Selama ini, kondisi sosial masyarakat relatif lebih tenang dan tidak tampak ada gejolak dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten tetangganya di Pulau Sumba.
Namun, di balik situasi masyarakat yang relatif tenang tersebut, kondisi perpolitikan jelang pilkada serentak, 27 Juni 2018, sangat dinamis. Kondisi perpolitikan yang dinamis ini tecermin dari kontestasi peserta Pilkada Bupati Sumba Tengah 2018.
Dalam pilkada kali ini KPU Kabupaten Sumba Tengah menetapkan lima pasangan calon bupati dan wakil bupati yang akan bertarung dalam pilkada.
Kendati pada penetapan awal, yakni 12 Februari 2018, KPU Sumba Barat sempat hanya meloloskan empat pasangan calon, belakangan keputusan itu diubah sesuai keputusan Panwaslu setempat.
Salah satu pasangan yang tidak lolos administrasi, Umbu M Marisi-Tagela Ibiaola, akhirnya maju sebagai pasanagan calon kelima dalam Pilkada Bupati Sumba Tengah dengan nomor urut 5.
Lolosnya lima pasangan calon dalam Pilkada Bupati Sumba Tengah ini membuat pesta demokrasi di wilayah yang dulunya merupakan bagian dari Kabupaten Sumba Timur menjadi semakin hangat. Masyarakat Sumba Tengah memiliki lebih banyak pilihan untuk menentukan calon pemimpin mereka selama lima tahun ke depan.
Latar belakang beragam
Frederiek Djara Wellem dalam bukunya, Injil dan Marapu, mengungkap bahwa pengaruh stratifikasi sosial di masyarakat Sumba masih kuat. Ada kecenderungan yang kuat untuk memilih dan mengangkat seorang pemimpin, baik pemimpin di pemerintahan maupun gereja yang berasal dari golongan bangsawan atau golongan orang merdeka.
Strata sosial yang ada di masyarakat Sumba terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan tertinggi adalah kaum bangsawan atau disebut maramba. Golongan bangsawan terbagi menjadi dua, yaitu bangsawan tinggi dan bangsawan biasa atau sering disebut bangsawan mendamu atau kalawahi (anak gundik).
Golongan bangsawan tinggi inilah yang nantinya akan menjadi raja. Golongan bangsawan biasanya memakai gelar tertentu di depan namanya. Bangsawan laki-laki memakai gelar Umbu atau Tamu Umbu, sementara bangsawan perempuan memakai gelar Rambu atau Tamu Rambu.
Golongan kedua adalah golongan orang merdeka atau kabihu. Golongan ini merupakan golongan yang komposisinya terbanyak di masyarakat. Mereka adalah rekan kerja atau kolega para bangsawan dalam hidup bermasyarakat. Ketiga, golongan paling rendah adalah golongan hamba atau disebut Ata.
Masih kuatnya pengaruh stratifikasi sosial di masyarakat Sumba hingga saat ini mengakibatkan dalam setiap mencari pemimpin di masyarakat, baik di pemerintahan maupun gereja, akan selalu muncul tentang sosok calon pemimpin dengan sebuah pertanyaan: ”Anak siapa?”.
Hal ini menjadi indikator dalam pergaulan sosial bahwa asal-usul dari calon pemimpin itu menjadi faktor yang sangat penting. Calon tersebut dari keluarga bangsawan atau bukan nantinya akan berdampak pada penghormatan dan ketaatan terhadap pemimpin baru.
Menengok dari gelar Umbu pada nama-nama pasangan calon bupati dan wakil bupati yang akan berlaga dalam pilkada bupati di Kabupaten Sumba Tengah, tidak mengherankan hampir seluruh pasangan calon berasal dari kalangan bangsawan.
Dari lima calon bupati, ada empat yang memiliki gelar Umbu di depan namanya. Mereka itu adalah Umbu Besi, Umbu Dondu, Umbu Samapaty atau lebih dikenal dengan Umbu Kupang, dan Umbu Marisi. Hanya calon bupati nomor urut dua, yakni Paulus SK Limu yang di depan namanya tidak ada gelar Umbu. Mayoritas calon bupati bergelar Umbu ini menunjukkan bahwa stratifikasi sosial di Sumba Tengah masih kuat.
Menurut Wellem, dalam kehidupan masyarakat Sumba, golongan bangsawan sangat dihormati dan disegani, bahkan hingga sekarang walaupun mereka tidak lagi mempunyai kedudukan politis formal. Pada masa penjajahan VOC, kaum bangsawan yang diakui dan dilegitimasi sebagai raja.
Hak dan wewenang mereka diakui oleh penguasa kolonial pada waktu itu. Anak-anak dari golongan bangsawan inilah yang waktu itu boleh menikmati pendidikan yang dibuka oleh penguasa.
Hal ini berlangsung terus dari saat pemerintah Hindia Belanda berkuasa hingga di awal Pemerintah Republik Indonesia dan kemudian kekuasaan raja berakhir pada 1958.
Raja yang masih memerintah saat itu dijadikan pegawai negeri oleh pemerintah. Namun, hal itu tidak berarti kekuasaan dan pengaruh raja lenyap. Selain menjadi penguasa nonformal di masyarakat, para pejabat di pemerintahan pada umumnya berasal dari golongan bangsawan atau raja karena anak-anak golongan inilah yang bisa menikmati pendidikan.
Pertarungan antarelite
Komposisi kelima pasangan calon yang bersaing menjadi peserta Pilkada Sumba Tengah tahun ini terlihat jelas didominasi pertarungan antarkaum bangsawan dan elite atau pejabat pemerintahan Sumba.
Umbu Dondu adalah wakil bupati petahana selama dua periode berturut-turut, sedangkan Paulus SK Limu adalah Kepala Inspektorat Provinsi Nusa Tenggara Timur dan sebelumnya pernah menjadi penjabat bupati Sumba Barat pada 2016.
Umbu Besi-Umbu Windi, yang maju lewat jalur perseorangan, selain bangsawan, juga pejabat di lingkungan Pemda Kabupaten Sumba Tengah.
Suatu hal yang cukup mengejutkan adalah Umbu Besi adalah adik kandung Umbu Dondu. Artinya, ada dua bersaudara yang maju sekaligus di pilkada yang sama.
Pilkada Sumba Tengah kali ini selain diikuti oleh pejabat lokal juga diikuti oleh peserta dari ”Jakarta”, yaitu orang Sumba tetapi berkarier di Jakarta. Mereka itu adalah Umbu Kupang atau Umbu Samapaty dan Umbu Marisi.
Umbu Kupang adalah seorang pengacara di Jakarta dan pengusaha berbagai bidang usaha, selain juga aktif di bidang olahraga tenis tingkat nasional. Umbu Kupang pernah mencalonkan diri menjadi bupati Sumba Barat di pilkada sebelumnya tetapi tidak terpilih.
Demikian juga dengan Umbu Marisi yang mengawali karier sebagai dokter di sebuah puskesmas di Kabupaten Sumba Timur hingga akhirnya menduduki jabatan sebagai direksi di PT Askes (2008-2013). Umbu Marisi juga pernah gagal sebelumnya saat bertarung sebagai calon bupati di Pilkada Sumba Barat.
Melihat latar belakang pasangan calon, konstelasi Pilkada Sumba Tengah akan diwarnai dengan pertarungan ketat antarbasis keluarga dan basis ekonomi kuat.
Umbu Dondu sebagai wakil bupati petahana selama dua periode tentu memiliki keuntungan yang lebih besar, terutama dalam hal popularitas dibandingkan calon lain. Namun, di sisi lain label petahana ini bisa juga menjadi beban apabila melihat perkembangan ekonomi dan kesejahteraan di Sumba Tengah selama 10 tahun terakhir yang cenderung stagnan, bahkan memburuk.
Tak hanya itu, majunya Umbu Besi, adik kandungnya sendiri, juga sebagai calon bupati sangat mungkin akan mengurangi elektabilitas Umbu Dondu di kalangan keluarga besarnya. Suara dari keluarga ataupun kerabat dari Umbu Dondu akan terbelah, sebagian pasti akan beralih ke Umbu Besi.
Terkait hal ini, komentar penduduk Waibakul ibu kota Sumba Tengah cukup menarik. ”Umbu Dondu sudah terlalu tua untuk menjadi bupati. Sumba Tengah perlu orang baru yang lebih segar yang mampu mengubah Sumba Tengah ke arah yang lebih baik lagi,” kata David, penduduk Waibakul.
Lolosnya Paulus SK Limu-Daniel Landa juga merupakan fenomena menarik. Paulus Limu adalah calon bupati satu-satunya yang beragama Katolik. Calon bupati lain selain Paulus beragama Protestan.
Merujuk apa yang terjadi selama ini di Pulau Sumba, NTT, dari empat kabupaten di Pulau Sumba, tiga kabupaten, yakni Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat, dan Sumba Tengah, yang menjadi bupati adalah selalu yang beragama Protestan.
Adapun kabupaten di ujung barat, yakni Kabupaten Sumba Barat Daya adalah kabupaten ”jatah” bupati beragama Katolik. Komposisi 3-1 ini, walaupun tidak pernah terlontar secara eksplisit dalam kampanye atau pernyataan-pernyataan politik pihak yang terlibat, dalam kenyataannya terjadi.
Hal tersebut menjadi faktor yang penting sebagai dasar pertimbangan keputusan politik, baik dari partai politik maupun masyarakat pemilih.
Kemiskinan meningkat
Munculnya dua calon bupati dari ”Jakarta” atau orang Sumba yang sudah sukses di Ibu Kota, yakni Umbu Marisi dan Umbu Samapaty, menimbulkan harapan. Jika menang, dengan pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki diharapkan muncul program-program konkret mengangkat Sumba Tengah menjadi wilayah yang lebih maju.
Hal ini karena kondisi ekonomi dan kesejahteraan Kabupaten Sumba Tengah saat ini memang cukup memprihatinkan. Persentase jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun semakin tinggi. Jika pada 2012 persentase penduduk miskin sebesar 32,1 persen, tahun 2016 malah meningkat menjadi 36,6 persen atau paling buruk di antara seluruh kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Indeks Pembangunan Manusia tahun 2016 juga masih jauh di bawah rata-rata nasional, yakni sebesar 58,52 (IPM nasional 70,18). Demikian halnya dengan pertumbuhan ekonominya yang juga paling rendah di NTT, yakni tahun 2016 hanya sebesar 4,82 persen
Melihat kondisi ekonomi dan kesejahteraan Sumba Tengah yang masih memprihatinkan tersebut, terbentang luas pekerjaan rumah dari para pasangan calon yang berlaga dalam pilkada bupati Sumba Tengah, 27 Juni nanti.
Dinamisnya konstetasi dalam pilkada karena diikuti banyak calon, yakni lima pasangan calon dan dengan latar belakang basis massa serta ekonomi yang kuat, mudah-mudahan dapat menghasilkan pasangan bupati dan wakil bupati yang punya komitmen kuat untuk sungguh-sunguh membangun Sumba Tengah.
Dengan demikian, moto Sumba Tengah, Tana Waikanena Loku Waikala atau secara harfiah berarti tanah penuh harapan atau negeri yang menjanjikan kesejahteraan masyarakatnya, bisa benar-benar terwujud. (ANUNG WENDYARTAKA/LITBANG KOMPAS)