Merindukan Sang Penunggang Kuda Pelor
Pemilihan kepala daerah Kabupaten Lembata bukan hanya pertarungan antarelite, tetapi merupakan pertaruhan masyarakat dalam meraih kembali ruh perjuangan, yang sempat pupus terampas kepentingan elite. Di balik riuhnya tarikan elite yang kini berkontestasi, ada harapan besar perubahan akan datang lewat sosok pemimpin baru.
Daerah ini hanya sempat menikmati sekejap saja buah dari otonomi daerah, yakni sejak pembentukannya pada tahun 1999 hingga 2001. Setelah itu, pemerintahan menjadi panggung atraksi politik yang hanya dimainkan oleh sesama elite, para penguasa yang kian asing di mata masyarakat. Gerak masyarakat kian sayup-sayup terpinggirkan dari pembangunan menara-menara simbol kekuasaan baru di Lewoleba, pusat pemerintahan Lembata.
Kabupaten Lembata merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Flores Timur. Namun, berbeda dengan pemekaran daerah yang banyak terjadi setelah rezim otonomi daerah berjalan, perjuangan masyarakat Lembata untuk menghadirkan pemerintahan mandiri di pulau yang dulu bernama ”Lomblen” ini sudah berlangsung puluhan tahun. Pada awal 1954 telah timbul keprihatinan akan situasi yang terjadi di tanah Lomblen yang diliputi keterbelakangan, keterisolasian, kemelaratan, kemiskinan, dan kebodohan.
Seorang yang dipenuhi oleh gagasan akan pembaruan bernama Petrus Gute Betekeneng, konon dengan menunggangi seekor kuda yang diberi nama ”Pelor”, berkeliling ke enam Hamente (sekarang kecamatan), yaitu Kedang, Lewotolok, Lewoleba, Kawela, Lamalera, dan Lebala untuk meyakinkan para kapitan, para kakang, para kepala desa/kepala kampung, para kepala sekolah, para pastor paroki dan imam masjid, para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, agar bersatu menjadi komponen pembaru. Inisiatif ini kemudian melahirkan Statemen 7 Maret 1954 yang menyerukan persatuan masyarakat yang selama ini tersegregasi ke dalam kelompok Demon (gunung/darat) dan Paji (pesisir), dan menuntut Lomblen mempunyai pemerintahan sendiri untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik, mandiri, sejahtera, maju, dan aman.
Sejak itu, perjuangan tak pernah berhenti untuk mewujudkan suatu pemerintahan sendiri, terpisah dari Kabupaten Flores Timur yang berada di Pulau Flores, sebelah barat Pulau Lembata. Hingga akhirnya, pada tahun 1999 pemerintah pusat dan DPR mengabulkan keinginan tokoh-tokoh masyarakat, menjadikan Lembata sebagai kabupaten sendiri dengan dipimpin oleh salah seorang inisiatornya, Petrus Boliona Keraf. Seusai terpilih sebagai bupati, pembenahan infrastruktur, khususnya jalan raya, segera dilakukan. Sebuah kantor bupati yang megah juga dibangun di Lusikawak, di ketinggian dan menghadap laut. Sayangnya, periode kepemimpinannya berlangsung singkat, hanya dua tahun sehingga kantor bupati yang hampir jadi itu terpaksa ditinggalkannya.
Rezim pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD kemudian mengubah peta perpolitikan Lembata. Petrus yang tersingkir digantikan oleh Andreas Duli Manuk. Sejak periode Duli Manuk, berbagai proyek elitis mulai menghiasi Lembata. Ia tak menyelesaikan pembangunan kantor bupati yang sudah dimulai oleh Petrus Boliona Keraf, meskipun anggaran penyelesaian tetap diusulkan ke DPRD. Sebaliknya, ia membangun kantor baru di Lamahora, dengan usulan dana yang berbeda. Sehingga, dalam periode kepemimpinannya, de facto ada tiga kantor bupati. Selain itu, juga dibangun proyek penyulingan air bersih di Ile Ape, pabrik es di Waijarang, dan depo minyak atau jobber (fasilitas penimbunan BBM). Pembangunan proyek-proyek itu diduga penuh dengan penggelembungan anggaran, dan yang menyedihkan adalah ketika pada akhirnya semua proyek itu tidak dipakai. Bahkan, bupati lebih suka menempati rumahnya sendiri yang disewa dengan anggaran pemerintah, daripada menempati dua rumah dinas jabatan yang sudah disediakan. Gejala seperti ini juga menjadi fenomena umum di kalangan anggota DPRD. Pada periode ini, pembangunan lebih bermakna sebagai menegakkan mercusuar kekuasaan elitis daripada memberikan manfaat kepada masyarakat umum.
Walaupun kemudian rezim pilkada langsung menggantikan rezim DPRD, tetapi peniadaan kepentingan publik tetap menjadi persoalan yang utama. Sosok baru yang menggantikan Duli Manuk dalam pilkada langsung periode kedua, yakni Eliaser Yentji Sunur, juga masih meneruskan permainan yang sama. Alih-alih dekat dengan masyarakat, bupati yang dalam KTP berdomisili di Bekasi, Jawa Barat, ini dipandang lebih sering tidak berada di Lembata. Rangkaian perjalanan dinas ke luar Lembata yang terlalu sering dilakukan bupati mantan anggota DPRD Kota Bekasi Jawa Barat dari PDI Perjuangan ini, menimbulkan polemik, baik di kalangan DPRD ataupun masyarakat.
”Dia juga selalu disibukkan oleh konflik dengan DPRD,” kata GGS, warga Lewoleba. Selain dipandang menjalankan pemerintahan berbasis konflik, Sunur juga dipandang otoriter dan represif. Kecurigaan menggunakan ijazah palsu juga sempat mencuat menjelang pendaftaran Pilkada 2017.
Lima Pasang Calon
Sunur maju kembali sebagai calon bupati pada pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 15 Februari 2017 setelah menghadapi beberapa masalah terkait keabsahan persyaratan. Namun, berbeda dengan sebelumnya yang didukung oleh PDI Perjuangan, kali ini ia memakai kendaraan politik Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Ia maju bersama calon wakil Thomas Ola, anggota Dewan Pakar Partai Nasdem Nusa Tenggara Timur (NTT). Mendapat nomor urut 5 dalam pilkada, pasangan calon ini masih cukup populer di kalangan masyarakat. Namun, ketidakhadiran pasangan ini dalam debat publik yang diselenggarakan KPU Lembata, membuat banyak spekulasi negatif beredar.
”Sunur tidak berani berhadapan dengan mantan Wakil Bupati Viktor Mado yang sekarang juga maju sebagai calon bupati karena semua rahasianya kan sudah dipegang calon Nomor Urut 2,” kata MDS, tukang ojek di Lewoleba.
Pasangan calon Eliaser Yentji Sunur-Thomas Ola (Paket Sunday) akan berhadapan dengan empat pasang calon lainnya dalam Pilkada Lembata 2017. Pertama, ia akan berhadapan dengan mantan wakilnya, yaitu pasangan Viktor Mado dan Muhammad Nasir (Paket Viktori) yang diperkirakan akan menjadi rival berat. Tiga pasangan lainnya adalah Herman Yosef Loli Wutun-Yohanes Vinny K Burin (Paket Titen), Lukas Lipataman Witak-Ferdinandus Leu (Paket Winners), dan Tarsisia Hani Chandra-Linus Beseng (Paket Halus). Paket Viktori diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Paket Titen diusung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Paket Winners diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat. Sedangkan Paket Halus merupakan calon perorangan.
Seperti halnya terjadi pada daerah-daerah lain, fenomena ”loncat pagar” atau berpindah dukungan partai demi mendapatkan tiket menuju kekuasaan juga terjadi di Lembata. Ini terjadi, terutama pada calon-calon yang tidak mendapat dukungan dari partainya sendiri, tetapi tetap ingin maju dalam kontestasi pilkada. Eliaser Yentji Sunur adalah kader PDI-P yang pernah menjadi anggota DPRD Bekasi dari partai ini dan dalam pilkada sebelumnya (2011) juga dicalonkan oleh partai berlambang banteng tersebut.
Namun, dalam pilkada kali ini dukungan PDI-P beralih kepada mantan wakilnya (Viktor Mado) sehingga ia mencari dukungan dari partai lain, yaitu Golkar, Nasdem, dan Hanura. Sementara itu, Herman Yosef Loli Wutun adalah Penasihat Partai Golkar NTT (2005-2009), tetapi kali ini mendapat dukungan dari Partai Gerindra dan PKS setelah Golkar lebih memilih Sunur.
Kekuatan Dukungan
Membaca kekuatan para kandidat dalam Pilkada Lembata 2017, lebih merupakan sebuah usaha menghitung secara matematis peta dukungan di tengah kurangnya publikasi survei independen yang dilakukan di daerah ini. Tampaknya, ini pula yang dilakukan oleh masyarakat Lembata sekarang, beberapa hari menjelang pilkada. Berdasarkan rangkuman pendapat warga, setidaknya pertarungan utama akan membentuk segitiga konsentris antara calon Nomor Urut 1, 2, dan 5. Perebutan sengit memperebutkan pendukung lama tentu terjadi antara Sunur dan Viktor. Di luar dukungan konstituen partai, mereka akan bergelut di ceruk yang sama mengingat kedua calon bupati merupakan mantan pasangan Bupati dan Wakil Bupati Lembata periode 2011-2016.
Meski demikian, penantang paling berat bagi keduanya sebetulnya adalah Herman Yosef Loli Wutun, sosok yang sebetulnya pernah memenangi dukungan dalam pilkada putaran pertama tahun 2011. Dalam pilkada tersebut, Herman Yosep Loli Wutun yang berpasangan dengan Viktus Murin dan diusung Partai Golkar mengantongi perolehan 15.101 suara atau sekitar 26,4 persen dari total suara sah.
Sebaliknya, paket Eliaser Yentji Sunur-Viktor Mado Watun yang diusung PDI-P hanya meraih 13.083 suara atau sekitar 22,9 persen. Namun, dalam pilkada putaran kedua, Sunur memenangi pilkada dengan meraih 27.015 suara (51,45 persen), sedangkan Herman memperoleh 25.485 suara (48,55 persen). Dalam pilkada sekarang, tampaknya Herman mampu menghimpun kembali dukungan yang relatif solid dari mantan pemilihnya di pilkada sebelumnya.
”Dulu, dalam pilkada sebelumnya, saya memilih Herman. Sekarang pun saya akan memilih dia lagi,” kata CMS, warga Desa Lamalera. Hal senada juga dikatakan oleh ISM, nelayan Lewoleba. ”Tidak percaya lagi kepada calon nomor 2 dan 5. Jika mereka memimpin, akan sama saja, tidak ada perubahan. Orang di sini lebih suka nomor 1 karena ada harapan perubahan,” katanya.
Akan tetapi, di mata KSK yang bergelut di media massa, kekuatan calon nomor 5 cukup berimbang dengan calon nomor 1. ”Kelompok menengah atas tampaknya lebih ke nomor 1, tetapi kalangan bawah di sini bisa jadi tetap akan dikuasai oleh calon nomor 5,” katanya.
Berbagai penafsiran terus berlangsung, tetapi kecamuk antara realitas dan harapan juga berjalan seiring dengan pertaruhan. Pada saat seperti ini, selalu muncul tanda tanya besar: ”Akankah pemimpin baru itu seorang penunggang kuda Pelor, yang sudi berkeliling ke kampung-kampung untuk mewujudkan mimpi bersama 63 tahun yang lalu?”
Artikel Terkait: