Dalam Kelindan Primordialisme dan Ketokohan
Jejak primordialisme etnis menjadi pola yang menonjol ditemui dalam kontestasi calon gubernur pada Pilkada Maluku Utara 2018. Faktor ketokohan patron lokal juga tampak menjadi pertimbangan memilih warga, di tengah relatif minimnya rekam jejak para calon pemimpin dalam memajukan Moloku Kie Raha.
Wilayah Maluku Utara yang merupakan daerah kepulauan merupakan kelanjutan dari empat kerajaan besar: Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan yang dahulu konon, sejak abad ke-13 saling bersaudara. Meski demikian, catatan sejarah menunjukkan persaingan yang kuat dari kerajaan-kerajaan tersebut, khususnya Ternate dan Tidore, dalam ekspansi wilayah kekuasaan khususnya ketika era kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis.
Ada sekitar 28 suku asli di Maluku Utara, di antaranya suku Tidore, Ternate, Bacan, Makian, Moti, Sanana, Jailolo, Tobelo, Galela, selain suku-suku luar Maluku. Suku-suku tersebut terkotak-kotak masuk dalam wilayah berdasarkan kerajaan. Saat era pemerintahan kolonial Belanda, komunalisme suku-suku membentuk semacam identitas sosial yang bernuansa politik. Setiap suku berafiliasi dengan kesultanan tertentu. Kesultanan Tidore, misalnya, terkait dengan etnis Tidore, sementara suku Makian terkait dengan kesultanan Ternate.
Dalam beberapa kali pemilihan kepala daerah level provinsi ataupun kabupaten/kota muncul banyak pasangan calon yang sebenarnya merupakan representasi keberadaan etnis yang ada di Malut. Dalam pemilihan gubernur 2008, misalnya, ada empat peserta kontestasi, di antaranya, Thaib Armaiyn, yang berasal dari suku Makian dan wakilnya Abdul Ghani Kasuba, dari suku Togale (Tobelo-Galela). Selanjutnya pasangan calon Abdul Gafur-Abdul Rahim Fabanyo yang representasi dari suku Tidore, Patai, Weda, dan Gane. Dua calon pasangan lainnya dianggap mewakili suku Samad, Galela, dan Morotai (Kompas, 03/11/2007).
Kontestasi Gubernur 2013 bahkan diikuti oleh enam paslon yang mewakili etnis di Malut. Kamarudiin (2013) dalam penelitian Politik Identitas Etnis di Maluku Utara menyebutkan, muncul etnis baru (Makian-Kayoa, Tionghoa, Sanana, Buton) yang bersaing dengan etnis yang menjadi langganan pilgub, yakni Togale dan Tidore, dalam Pilkada 2013.
Etnis Togale diwakili oleh Abdul Gani Kasuba, Sahrin Hamid, dan Hein Namotemo. Etnis Tidore diwakili oleh Syamsir Andili, Muhammad Natsir Thaib, Malik Ibrahim, dan Hasan Doa. Namto Hui Roba dan Benny Laos mewakili etnis Tionghoa. Terakhir, Ahmad Hidayat Mus mewakili etnis Buton.
Pilkada Gubernur 2018 kembali menampilkan tokoh-tokoh yang mewakili berbagai etnis, hanya jumlah dan variasinya tidak sebanyak Pilkada 2013. Berdasarkan hasil pendaftaran paslon pertengahan Januari lalu di KPU Malut, ada empat paslon yang menjadi kandidat gubernur Malut dengan variasi etnis: suku Togale, Makian, Tidore, dan Buton.
Petarung lama
Dua nama utama, Ahmad Hidayat Mus (AHM) dan Abdul Gani Kasuba, kembali muncul dalam Pilkada 2018 ini. Bedanya, Ahmad Hidayat Mus masih setia diusung oleh Partai Golkar dan PPP, sedangkan Abdul Gani Kasuba yang merupakan petahana, berganti partai pengusung dari PKS menjadi PDI-P dan PKPI. Petarungan dua kandidat ini cukup sengit pada Pilkada 2013 dan diperkirakan polanya akan berulang pada Pilkada 2018 ini.
Sebelum bertarung di kancah provinsi, AHM telah mengukuhkan kekuasan di Kabupaten Sula dengan menjadi Ketua DPRD dan Bupati. Tak heran jika pada Pilkada 2013, AHM menang telak di Kabupaten Sula yang merupakan tanah kelahirannya. Selain di Sula, AHM juga unggul di Kabupaten Halmahera Barat dan Halmahera Timur.
Tak hanya di Malut, AHM juga cukup dikenal di kancah politik pusat. Tercatat, dia pernah menjadi Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Indonesia II Partai Golkar. Selain itu, AHM di mata warga Malut juga terkenal dengan pemimpin yang ringan tangan.
Syarifudin Amin, antropolog dari Universitas Khairun, memperkirakan AHM pada pilkada 2018 akan didukung oleh etnis Buton yang merupakan etnis asalnya. Etnis Buton meski merupakan etnis pendatang, keberadaannya cukup tersebar di Malut.
Menurut antropolog IAIN Ternate, Murid Tonirio, warga Buton di Malut memiliki ikatan yang kuat. Data KPU Malut (2013), jumlah pemilih Kabupaten Sula (representasi tempat tinggal Buton) terbesar keempat setelah Kota Ternate, Halmahera Selatan, dan Halmahera Utara. Mereka cenderung akan mendukung calon gubernur yang etnisnya sama. Selain itu, AHM juga akan mendapat dukungan dari suku Makian yang merupakan suku sang wakil, Rivai Umar. Warga Suku Makian tak hanya tinggal di Pulau Makian, Halmahera Selatan, tapi juga tinggal menyebar di penjuru Malut.
Posisi sang petahana Abdul Gani Kasuba (AGK) tentu paling diperhitungkan karena selain gubernur juga pernah menjabat Wakil Gubernur pada periode 2008-2013. Selain itu, AGK dikenal luas oleh warga Malut karena perannya sebagai ulama menonjol saat terjadi krisis sosial di Malut. Di tingkat nasional, AGK juga anggota DPR dari fraksi PKS (2004-2007). Saat Pilkada 2013, Gani unggul di enam dari sembilan wilayah Malut. Hal tersebut membuktikan Gani cukup didukung oleh hampir semua etnis di Malut meski dia berasal dari etnis Togale.
Berbagi suara
Namun, diperkirakan langkah AGK kali ini akan menjadi lebih berat. Adik kandungnya, Muhammad Kasuba, secara mengejutkan juga ikut maju bertarung dalam pilkada Malut kali ini. Muhammad Kasuba yang pernah menjadi Bupati Halmahera Selatan dua periode diusung oleh PKS, partai yang pernah mengusung kakaknya AGK menjadi Gubernur Malut.
Pola dukungan etnis Togale di Halmahera Selatan akan terpecah. Sejumlah warga di Halmahera Selatan di Pulau Bacan menyatakan kebingungannya untuk pilihan calon gubernur. ”Saya bingung akan memilih Kasuba yang mana,” kata Pinoi (45), warga Labuha yang pernah satu sekolah dengan Muhammad Kasuba.
Kegamangan warga Halmahera Selatan tersebut juga terlihat di Kecamatan Bibinoi, yang merupakan asal keluarga besar Kasuba. Sejumlah ibu yang ditemui Kompas juga belum memutuskan afiliasi politiknya. ”So bingung, mau pilih yang kakak atau yang adik. Bagi suara nanti”. Baliho Gani Kasuba dan Muhammad Kasuba yang belum dibersihkan oleh KPU pertengahan Januari lalu juga masih terlihat terpasang di sudut-sudut kampung.
Kiprah Muhammad Kasuba cukup dikenal oleh warga Halmahera Selatan dan diperkirakan didukung penuh oleh warga Halsel. Tak hanya sebagai bupati, menurut Syarifudin, ketokohannya melintasi batas agama dan dikenal cukup toleran dengan saudara-saudara sesukunya yang beragama Kristen. Ketokohan ini menjadi modal kuat MK untuk melawan kakaknya di pilkada 2018.
Faktor ketokohan
Ketokohan calon yang disukai juga menjadi pertimbangan lain dalam memilih kepala daerah. Dhany (35), sopir angkutan Sofifi-Tobelo, menyatakan akan memilih paslon cagub Haji Burhan Abdurrahman-Ishak Djamaluddin meski dia orang Tobelo. Alasannya, selama 10 tahun bekerja di Ternate telah melihat kinerja nyata Haji Bur. Burhan Abdurrahman merupakan wali kota Ternate yang berasal dari etnis Tidore.
Modal ketokohan Burhan Abdulrahman, menurut antropolog IAIN Ternate, Agus SB, patut diperhitungkan karena bisa memimpin Kota Ternate, ibu kota ”faktual” Malut yang dihuni berbagai etnis asli maupun pendatang. Disebut faktual karena sulitnya memindahkan pelayanan dan seluruh perangkat dinas aparatur sipil negara untuk pindah ke Sofifi, ibu kota Malut yang baru. Sofifi terletak di pulau Halmahera, satu jam perjalanan laut dari pulau Ternate.
Program Haji Bur yang cukup terkenal adalah Barifola, dalam bahasa Tidore berarti gotong royong, yaitu perbaikan rumah tak layak huni dengan dana gotong royong warga. Awalnya program yang dimulai sejak 2009 tersebut merupakan kegiatan Ikatan Keluarga Tidore untuk membangun rumah bagi warga miskin Tidore dan Ternate. Kemudian, Barifola juga menjangkau masyarakat di Kabupaten Halmahera Selatan, Halmahera Timur, dan Halmahera Utara. Dana pembangunannya berasal dari swadaya masyarakat dan dikerjakan bersama-sama oleh masyarakat.
Pertimbangan subyektif
Meski demikian, kinerja baik belum sepenuhnya bisa menjadi pertimbangan memilih kepala daerah. Menurut Herman Oesman, sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, warga Malut tidak mengenal rekam jejak calon pemimpin selama ini. Bisa jadi pemimpin yang kinerjanya buruk tetap akan terpilih, sebaliknya pemimpin dengan kinerja baik tidak terpilih.
Hein Namotemo, misalnya, saat Pilkada 2013 lalu tidak terpilih dan hanya menduduki posisi ketiga. Padahal selama dua periode menjabat sebagai Bupati Halmahera Utara (2005-2010 dan 2010-2015) menunjukkan kinerja yang baik terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan tinggi. Hal ini menurut Agus karena warga Malut tidak percaya lagi dengan visi misi janji kampanye calon-calon kepala daerah. ”Tak bisa menjual kecap visi misi ke rakyat Malut,” katanya.
Akhirnya, faktor primordialisme etnis dan figur publik kembali menjadi faktor pertimbangan warga Malut memilih kepala daerah. Meski masih berkarakter ”demokrasi tradisional”, terbukti bisa menjadi sarana meredakan konflik bernuansa SARA di Malut pada tahun 1999-2004. Segi jaminan keamanan itulah yang tampaknya sangat dipentingkan masyarakat Malut. (M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)