JAKARTA, KOMPAS — Pro dan kontra adalah hal yang wajar dalam berdemokrasi. Akan tetapi, seiring dengan waktu, masyarakat harus lebih dewasa dalam menyikapi politik.
Masyarakat juga harus tetap mengutamakan persatuan, terutama saat menghadapi pemilihan kepala daerah serentak pada 2018.
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) yang baru saja dilantik Presiden Joko Widodo sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Agum Gumelar, mengatakan hal itu, Sabtu (27/1), di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Ketua IKAL Kursus Reguler Angkatan (KRA) 25/1992 Jenderal (Pol) Purn Roesmanhadi mengatakan, KRA 25 berupaya memberikan masukan kepada pemerintah terkait perkembangan situasi yang ada saat ini.
”Kami membuat analisis tentang ancaman terhadap sistem kehidupan nasional dari sudut pandang ketahanan nasional,” kata Roesmanhadi.
Agum mengatakan, pro dan kontra dalam demokrasi adalah hal yang wajar. Berkembangnya demokrasi selalu ditandai oleh pihak yang setuju atau tidak setuju. Namun, harus tetap ada rasa persatuan kebangsaan demi kemajuan Indonesia secara umum.
Akan tetapi, jangan sampai kemudian rasa tidak suka itu membuat warga negara Indonesia menghambat program pemerintah dan bahkan bergabung dengan pihak yang radikal.
”Nanti saja tahun 2019 gabung dengan kelompok yang tidak mendukung Jokowi lagi, jangan sekarang gergaji kerja pemerintah,” ujar Agum.
Roesmanhadi menyebutkan, sebagai elemen bangsa, wajib untuk memberikan sumbangsih kepada pemerintah.
Hal inilah yang digagas dan dilaksanakan oleh KRA 25. Ia mengatakan, masukan itu diharapkan bisa menjadi pertimbangan Presiden Jokowi dalam membuat keputusan.
Menurut dia, semua presiden pasti memiliki pertimbangan dan gaya dalam membuat kebijakan.
Oleh karena itu, untuk memberikan masukan yang selengkap-lengkapnya, KRA 25 mengadakan empat diskusi di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan pertahanan.
Ia mengatakan, saat ini Indonesia menghadapi banyak ancaman, baik terbuka maupun tertutup. Apalagi, pada 2018, dalam menghadapi pilkada, masyarakat harus dewasa dalam berdemokrasi.
”Kita boleh memilih siapa saja, tapi setelah pilkada harus kembali bersatu. Agar bisa membangun bersama bangsa ini,” ucap Roesmanhadi.
”Kita harus tetap optimistis terhadap negara dan bangsa. Memang ada pihak-pihak yang ingin menunggangi situasi dan meniadakan NKRI, tapi itu hanya minoritas,” ujar Agum. ”Kita sekarang masih euforia reformasi,” lanjutnya.