Pemerintah Pusat Tidak Boleh Lepas Tangan
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat didorong untuk terus mendampingi pemerintah daerah di Papua dalam mengelola pemerintahan meski sudah berstatus otonomi khusus. Minimnya pengetahuan tata kelola pemerintahan membuka peluang penyelewengan dana otonomi khusus.
Peneliti Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pegetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, di Jakarta, Rabu (17/1), mengatakan, pemerintah pusat belum mendampingi pemerintah daerah di Papua sejak daerah itu berstatus sebagai daerah otonomi khusus (otsus) pada 2003. Pengawasan penggunaan dana otsus pun belum optimal.
Ia melanjutkan, hal itu membuka peluang penyelewengan dana otsus oleh pemerintah di daerah. Bukan digunakan untuk kepentingan publik, melainkan kepentingan pribadi.
Berdasarkan catatan Litbang Kompas, jumlah dana otsus yang digelontorkan pemerintah pusat ke Papua naik selama lima tahun berturut-turut. Adapun total dana otsus tahun 2014 sebesar Rp 6,77 triliun; Rp 7,19 triliun (2015); Rp 6,59 triliun (2016); Rp 8,2 triliun (2017), dan Rp 8,02 triliun (2018).
Menurut Cahyo, peluang penyelewengan terbuka karena pemerintah daerah di Papua belum memiliki kemampuan tata kelola pemerintahan yang mumpuni. Meski sudah menggunakan sistem pemerintahan modern, para pemimpin masih memosisikan dirinya sebagai kepala suku.
Oleh karena itu, pemimpin merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat. Anggaran dana dari pemerintah pun dianggap sebagai milik pribadi. ”Akuntabilitas masih susah didapatkan dari pemerintah di daerah,” ujar Cahyo.
Para pemimpin di Papua, kata Cahyo, mengalami krisis identitas. Pengetahuan tradisional sudah mulai hilang, sedangkan pengetahuan modern belum diterima dengan baik. ”Ini (ketertinggalan) tidak terjadi semata-mata karena kesalahan pemerintah di daerah, tetapi juga karena pemerintah pusat tidak mendampingi,” ucapnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sumarsono mengatakan, mekanisme pengawasan dana otsus serupa dengan pengawasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengawasan di daerah dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Inspektorat Daerah.
”Sekarang tinggal kualitas DPRP dan Inspektorat Daerahnya,” ujarnya. Dari pemerintah pusat, pengawasan akan dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ia menambahkan, seluruh mekanisme pengawasan itu masih ditambah dengan pemantauan dan evaluasi dari Ditjen Otonomi Daerah. Adapun evaluasi dilakukan setiap enam bulan atau paling telat setahun sekali. ”Kami juga melakukan pemantauan setiap tiga bulan ke Papua,” kata Sumarsono.
Sumarsono mengakui, kemampuan tata kelola pemerintah daerah Papua minim. Pihaknya memberikan pelatikan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) dan para bupati mengenai pengelolaan dana otsus. ”Peningkatan kapasitas tata kelola pemerintahan di Papua membutuhkan kesabaran,” ucapnya.
Infrastruktur sosial
Menurut Cahyo, upaya pemerintah pusat membangun infrastruktur fisik di Papua perlu diapresiasi. Pembangunan jalan Trans-Papua yang menghubungkan antarkabupaten dan antarprovinsi.
Akan tetapi, ia menilai, infrastruktur fisik itu berorientasi pada kepentingan perdagangan dan eksploitasi sumber daya alam, bukan kepentingan kemanusiaan. ”Masyarakat membutuhkan infrastruktur sosial, seperti jalan penghubung antarkampung,” kata Cahyo.
Kejadian luar biasa campak dan gizi buruk yang merenggut 63 nyawa salah satunya terjadi karena ketiadaan jalan antarkampung. Hal itu mengakibatkan masyarakat sulit mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Jarak fasilitas kesehatan dengan tempat tinggal masyarakat relatif jauh.
Kejadian luar biasa campak dan gizi buruk yang telah merenggut 63 nyawa salah satunya terjadi karena ketiadaan jalan antarkampung. Hal itu mengakibatkan masyarakat sulit mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Jarak fasilitas kesehatan dengan tempat tinggal masyarakat relatif jauh.
Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional 18 Jayapura Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Ostman Harianto Marbun mengakui, pemerintah belum memiliki infrastruktur jalan darat di Kabupaten Asmat. Pembangunan jalan di Asmat membutuhkan biaya besar karena wilayahnya didominasi rawa.
Prioritas
Cahyo menilai, selama ini pemerintah pusat masih mengutamakan persoalan politik di Papua. Sekian lama Papua distigmakan sebagai daerah separatis sehingga membutuhkan pengamanan yang ketat. ”Padahal, setiap hari ada orang meninggal karena penyakit,” ujar Cahyo.
Dalam laporan International Coalition for Papua (ICP) 2017, sebanyak 58 anak di Kabupaten Nduga, Papua, meninggal selama 2015-2016 karena wabah kolera. Kejadian luar biasa campak dan gizi buruk yang terjadi selama empat bulan terakhir pun telah merenggut nyawa 67 orang.
Selama ini pemerintah pusat masih mengutamakan persoalan politik di Papua. Sekian lama Papua distigmakan sebagai daerah separatis sehingga membutuhkan pengamanan yang ketat. Padahal, setiap hari ada orang meninggal karena penyakit.
Oleh karena itu, menurut dia, program kesehatan, pendidikan, dan ekonomi rakyat harus menjadi prioritas kebijakan. Penyusunan kebijakan pun perlu melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
”Pemerintah pusat perlu melakukan dialog sektoral dengan pemerintah daerah dan masyarakat,” kata Cahyo.
Suara Papua
Jaringan Damai Papua (JDP) yang terdiri dari sekumpulan kelompok etnis/suku, akademisi, pemuka agama, dan lembaga swadaya masyarakat telah menyusun Indikator Papua Tanah Damai Versi Masyarakat Papua pada 2014. Indikator-indikator itu disusun dalam proses diskusi di antara mereka sejak 2010-2014.
Dalam ranah kesehatan, JDP mencatat 12 indikator antara lain hidup sehat terpenuhi, masyarakat menikmati makanan bergizi, tersedianya sarana dan prasarana kesehatan, dan terdeteksinya jenis penyakit yang dominan di Papua.
Untuk mencapai indikator tersebut, JDP pun menyusun 26 daftar solusi yang sebagian besar ada pada pembangunan infrastruktur kesehatan. Usulan itu di antaranya tersedianya rumah layak huni, air bersih, dan mandi cuci kakus (MCK), fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas sampai tingkat kampung.
”Indikator itu ditolak Menteri Kesehatan pada 2014,” ujar Cahyo yang juga salah satu bagian dari JDP. Menurut dia, Menteri Kesehatan saat itu memprioritaskan pembangunan manusia ketimbang infrastruktur kesehatan.
Namun, pembangunan manusia di Papua tampak tidak terukur. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tidak pernah meningkat signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, IPM Papua 2014 sebesar 56,75. Pada 2015 sebesar 57,25 dan 58,05 pada 2016. (DD01)