JAKARTA, KOMPAS — Partai Golkar diminta tak mengulang kesalahan yang sama dengan memilih politikus bermasalah dan rentan tersangkut kasus korupsi untuk menjadi ketua DPR. Sudah cukup marwah DPR tercoreng akibat kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik yang menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar.
Partai Golkar diminta mengajukan politikus berintegritas dan memiliki rekam jejak yang baik untuk memimpin DPR. Desakan ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil dengan mengajukan petisi yang meminta agar Partai Golkar kali ini memilih Ketua DPR dengan integritas dan rekam jejak yang baik.
Koalisi tersebut terdiri dari pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar; anggota Bawaslu pusat periode 2008-2012, Wahidah Suaib; Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi; Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo; Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jerry Sumampouw; Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam; peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhani; Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia Syamsuddin Alimsyah; serta Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti.
Isi petisi yang mereka ajukan terdiri dari mendukung slogan baru Golkar untuk menjadi partai yang bersih dan menetapkan calon ketua DPR berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria-kriteria tersebut adalah tidak memiliki rekam jejak pernah dipidana, tidak berpotensi bermasalah secara hukum, bukan merupakan pendukung pansus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berjiwa antikorupsi, serta membawa aspirasi rakyat.
Partai Golkar sebelumnya memutuskan tetap mendukung Setya Novanto sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kendati ia memiliki catatan kasus. Novanto dipilih menjadi Ketua DPR pada tahun 2014. Namun, ia kemudian tersangkut kasus dugaan meminta saham kepada PT Freeport Indonesia pada tahun 2015. Novanto memutuskan mengundurkan diri sebagai ketua DPR.
Tahun 2016, Partai Golkar kembali mengusung Novanto sebagai ketua DPR. Keputusan tersebut sempat membuat gaduh di kalangan masyarakat. Sementara itu, Novanto kemudian menjadi tersangka kasus korupsi proyek KTP elektronik pada November 2017.
”Pemilihan Setya Novanto sejak awal mencerminkan ketidakpekaan kepada aspirasi masyarakat. Golkar cenderung menunggu nasi menjadi bubur,” ujar Wahidah. Keputusan Partai Golkar mengajukan Novanto kini memengaruhi kredibilitas DPR dan elektabilitas partai dengan logo pohon beringin itu.
Apalagi, ujar Wahidah, Partai Golkar bergeming ketika Novanto yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar resmi menjadi salah satu tersangka proyek KTP-el. Novanto turun dengan status mengundurkan diri, bukan dipecat secara tidak terhormat. Hal tersebut menunjukkan kelambanan Partai Golkar dalam bertindak.
Roy berharap, kinerja DPR akan semakin meningkat dengan ketua yang lebih baik dan transparan. ”Mereka harus lebih merespons aspirasi masyarakat. Mereka sering mengkritik pemerintah soal anggaran, tetapi harusnya perbaiki diri sendiri,” ujarnya.
Ari menambahkan, ketua DPR yang baru harus merupakan sosok yang antitesis dari Novanto. Dengan demikian, calon yang baru patut memiliki catatan yang bersih, berintegritas, dan antikorupsi. Nilai-nilai tersebut akan menjadi suatu koridor yang mengembalikan dan menjaga marwah DPR.
”Ada dua skenario yang bisa diterapkan dalam memilih ketua DPR baru,” ujar Ari. Pertama, skenario linear. Ari menyarankan agar Ketua Umum Partai Golkar yang baru saja terpilih, Airlangga Hartarto, langsung menjabat rangkap sebagai ketua DPR.
Kedua, skenario nonlinear yang mencalonkan beberapa nama yang telah beredar. Mereka adalah Bambang Soesatyo, Agus Gumiwang Kartasasmita (AGK), dan Aziz Syamsuddin.
Menurut Ari, skenario pertama merupakan cara yang paling cepat. Sementara itu, skenario kedua membutuhkan waktu yang lebih panjang karena membutuhkan kompromi dari berbagai pihak. Pemilihan skenario berdasarkan kondisi politik dan pertimbangan partai.
Sementara itu, Fickar melihat, calon dari ketiga nama tersebut hanya satu nama yang belum pernah dipanggil oleh KPK, yaitu Agus Gumiwang Kartasasmita. Namun, politik adalah hal penuh dengan kemungkinan. Oleh karena itu, calon kuat ketua DPR masih belum dapat dipastikan.
Syamsuddin mengungkapkan, rakyat juga harus tetap waspada mengenai munculnya ketiga nama tersebut. Partai Golkar seyogianya sebagai partai rakyat harus lebih terbuka kepada publik mengenai mekanisme penentuan calon ketua DPR.
MKD lebih terbuka
Syamsuddin menyarankan agar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) membuat publikasi kinerja anggota dewan. Publikasi akan membantu rakyat memantau kerja anggota dewan, membantu partai membuat referensi dalam menetapkan calon pemangku jabatan di struktur DPR, serta mengawasi kerja MKD.
”MKD dibentuk untuk mengembalikan kepercayaan publik. Kalau kepercayaan itu rendah, MKD yang gagal,” ujar Syamsuddin.
Ia juga menyoroti belum adanya publikasi mengenai kinerja anggota dewan membuat parpol cenderung tertutup ketika akan menentukan calon ketua DPR. Partai, dalam kasus ini adalah Partai Golkar, diharapkan segera membuat indikator dalam pengajuan calon.
”Kalau mau disebut sebagai partai bersih, Golkar harus dengan jelas mendesain proses pemilihan dan penyaringannya,” kata Syamsuddin. Proses yang transparan dan terbuka akan lebih memudahkan pemilihan calon yang benar-benar berkompeten.
Jerry menambahkan, mekanisme tersebut harus melibatkan publik bagaimana partai merekrut calon. ”Figur ketua DPR harus yang berwibawa sehingga mampu mengimbangi empat wakil lainnya yang tidak mencerminkan nilai antikorupsi,” katanya. (DD13)