JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kader Partai Golkar menyatakan sedang melakukan konsolidasi internal untuk mengganti Setya Novanto dari posisinya sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. Status hukum Novanto sebagai tersangka dugaan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik dituding sebagai penyebab merosotnya elektabilitas partai sekaligus mengancam masa depan partai berlambang pohon beringin itu.
Mantan Ketua Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Partai Golkar Yorrys Raweyai, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (17/11), mengatakan, konsolidasi itu terus dilakukan karena tidak mungkin Golkar membiarkan partai tanpa adanya seorang ketua umum yang secara aktif mengurusi partai.
Konsolidasi itu terus dilakukan karena tidak mungkin Golkar membiarkan partai tanpa adanya seorang ketua umum yang secara aktif mengurusi partai.
”Bukan kali ini saja saya bicara bahwa status dia (Novanto) sebagai tersangka itu menghancurkan elektabilitas partai. Sejak April, saya sudah bicara soal itu dan peristiwa ini menjadi pemercepat saja bagi konsolidasi internal untuk mengganti posisinya,” tutur Yorrys.
Yorrys mengatakan, Golkar mulanya masih berpegangan pada asas praduga tak bersalah dengan status tersangka yang disematkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Novanto. Namun, setelah melihat perkembangan yang terjadi sekarang, pembicaraan tentang penggantian Novanto mulai dikonsolidasikan kembali.
Sejak KPK berupaya menangkap Novanto, Rabu (15/11) malam, internal partai mulai melakukan konsolidasi ke dalam soal rencana penggantian Novanto tersebut. Alasannya, penyelamatan masa depan partai jauh lebih penting daripada perseorangan.
”Bukan upaya (mengganti Novanto) karena itu pasti dengan sendirinya dilakukan. Partai pasti punya mekanisme untuk itu. Sebab, dari kemarin saat rumahnya (rumah Novanto) didatangi KPK, konsolidasi ke dalam telah dilakukan dan mudah-mudahan minggu depan ada keputusan soal hal ini,” kata Yorrys, kader Golkar dari Papua.
Sebab, dari kemarin saat rumahnya didatangi KPK, konsolidasi ke dalam telah dilakukan dan mudah-mudahan minggu depan ada keputusan soal hal ini.
Menurut Yorrys, konsolidasi itu akan lebih matang pekan depan. ”Tunggu saja perkembangannya. Lihat nanti, minggu depan,” katanya.
Pada September lalu, DPP Partai Golkar sempat membentuk tim pengkajian elektabilitas Golkar yang dipimpin Yorrys. Tim itu menyatakan elektabilitas Golkar turun karena kasus hukum Novanto sehingga Ketua Umum DPP Partai Golkar yang juga Ketua Golkar itu harus dilengserkan.
Namun, hasil kajian itu tidak berhasil membuat Novanto turun. Sebab, putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penetapan tersangka terhadap Novanto tidak sah dan harus dibatalkan. Sebaliknya, akibat peristiwa itu, Yorrys dicopot dari posisinya sebagai Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Partai Golkar.
Koordinator Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) Ahmad Dolly Kurnia juga mendesak Novanto mundur. Sejak awal, ketika nama Novanto disebut dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Dolly sudah mendesak agar Novanto mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
”Hal itu penting agar SN (Setya Novanto) yang diduga terlibat kasus KTP-el tidak ikut menyeret dan menyandera Golkar. Apalagi, hingga saat ini, setelah berkali-kali melakukan kegaduhan, tentu menjadi tidak ada pilihan lain, wajib hukumnya untuk segera mengganti SN sebagai Ketua Umum Golkar,” tutur Dolly.
Apalagi, hingga saat ini, setelah berkali-kali melakukan kegaduhan, tentu menjadi tidak ada pilihan lain, wajib hukumnya untuk segera mengganti SN sebagai Ketua Umum Golkar.
Pergantian Novanto, menurut Dolly, juga tidak akan mengancam keutuhan Partai Golkar atau membuat internal partai pecah. Sebab, sebagai suatu partai politik, Golkar sudah cukup dewasa.
”Golkar sudah cukup dewasa, memiliki pengalaman, dan mekanisme yang baku dalam mengantisipasi ancaman keutuhan, apalagi hanya sekadar mengganti kepemimpinan yang memang sudah diatur dalam peraturan organisasi yang ada. Justru ancaman yang sesungguhnya nyata adalah keberadaan SN yang apabila dibiarkan terus berlangsung akan mengarah kepada citra buruk dan penurunan elektabilitas Golkar,” papar Dolly.
Tanda-tanda internal Golkar tidak solid menyangkut keberlangsungan kepemimpinan Novanto di partai itu juga terlihat dari pemecatan terhadap Dolly, Agustus lalu. Dolly dinilai melenceng dari kebijakan partai. Pascaputusan praperadilan Novanto, Dolly melaporkan dugaan kejanggalan dalam praperadilan di PN Jaksel yang akhirnya dimenangi Novanto.
Sebaliknya, Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Idrus Marham di sela-sela penutupan atap (topping off) gedung baru di kantor DPP Golkar, pekan lalu, membantah partainya tidak solid. Penetapan kembali Novanto sebagai tersangka dalam dugaan korupsi KTP-el tidak mengganggu internal dan organisasi Partai Golkar.
”DPD provinsi se-Indonesia itu menelepon saya dan mendukung kepemimpinan yang ada dan, yang penting lagi, tetap solid karena kekuatan Golkar ada pada soliditas itu. Betapapun gonjang-ganjing ada, tetapi kalau golkar tetap solid, insya Allah akan tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan partai dan akan diproyeksikan politik akan tetap berjalan,” tutur Idrus.
Menanggapi adanya gejolak di internal Partai Golkar yang meminta Novanto diganti, menurut Idrus, itu hanya riak kecil.
”Saya punya keyakinan, kalaupun ada, itu hanya satu atau dua orang saja. Kan, kita pendekatannya secara institusional. Kalau pendekatannya secara institusional, maka yang memiliki kewenangan untuk itu (mengganti Ketum) sesuai AD ART adalah pimpinan partai golkar provinsi se-Idonesia. Jadi, saya kira, semua provinsi memegang teguh proses demokratisasi tersebut. Pasti ada saja suara-suara itu (meminta Novanto diganti), tetapi kita tetap kembali pada aturan-aturan yang menjadi pedoman partai ini,” papar Idrus.