JAKARTA,KOMPAS — Persoalan hukum Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto disebut terus memperburuk citra Golkar di mata publik. Elektabilitas pun terus menurun dan dikhawatirkan akan membuat Golkar tak lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2019. Untuk membuat Golkar bangkit, Golkar membutuhkan pemimpin baru.
”Saya sangat prihatin, sangat sedih. Bukan hanya itu, tetapi juga sangat khawatir kalau tidak dikatakan takut. Sebab, kasus Novanto membuat opini publik pada Golkar terus memburuk,” kata Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tanjung, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/11).
Buruknya opini publik pada Golkar otomatis berimbas pada elektabilitas Golkar. Tanpa ada kasus Novanto, dia melihat, elektabilitas Golkar di setiap pemilu di masa reformasi sudah menunjukkan tren penurunan. Apalagi jika ditambah persoalan hukum yang menjerat Novanto, tren itu akan berlanjut di 2019.
”Bahkan, saya dengar, elektabilitas partai saat ini tinggal sekitar 7 persen. Kalau sampai Pemilu 2019 terus menurun, bahkan saat pemilu di bawah 4 persen, boleh dikatakan, dalam bahasa saya, terjadi kiamat di Golkar,” tambahnya.
Sebab, jika elektabilitas di bawah 4 persen, itu berarti Golkar tidak akan lolos ambang batas parlemen. Artinya, Golkar tidak akan memiliki wakil di DPR ataupun MPR.
Untuk mencegah hal ini terjadi, sekaligus membuat Golkar bangkit, solusinya harus ada kepemimpinan baru di Golkar.
”Slogan Golkar saat ini Golkar Bangkit, Golkar Jaya, Golkar Menang. Namun, bagaimana caranya? Satu-satunya cara dengan melakukan perubahan kepemimpinan. Kalau tidak ada kepemimpinan baru, bagaimana bisa Golkar bangkit?” katanya.
Pasalnya, pemimpin ikut berkontribusi besar pada keberhasilan partai. Pemimpin juga akan bisa memengaruhi opini publik terhadap partai. Jadi, jika pemimpin tersebut tak dapat diterima publik, akan sulit bagi partai untuk berhasil.
Tak hanya Akbar Tandjung, Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Rizal Mallarangeng juga mendesak Novanto mundur.
Menurut dia, Novanto seharusnya paham persoalan hukumnya, apalagi diperburuk dengan sikapnya yang mangkir dari panggilan KPK, telah berimbas buruk pada citra Golkar di mata publik. Begitu pula pada citra DPR karena posisinya sekaligus sebagai ketua DPR. Dan, Novanto seharusnya tak membiarkan hal ini terjadi.
”Oleh karena itu, akan lebih baik kalau Novanto mundur dari ketua umum Golkar dan ketua DPR,” katanya.
Sikap mundur ini bukan berarti dia bersalah dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik. Namun, lebih untuk melindungi institusi Golkar dan DPR supaya tidak ikut terseret-seret dalam persoalan hukumnya. ”Sikap seperti ini, barulah negarawan. Contoh yang baik pula bagi publik,” tambahnya.
Secara terpisah, pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengelak dari panggilan KPK. Hal itu karena Setya Novanto menolak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa karena gugatan uji materinya terhadap beberapa pasal di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sedang berproses di MK.
”Prosedurnya jelas, UU yang sedang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang membatalkan UU itu. Jika Novanto masih menghindar, KPK bisa memanggil paksa dan langsung menahan,” kata Refly.