Kehadiran Negara Rawat Imaji Kebangsaan
NUNUKAN, KOMPAS – Kehadiran negara lewat penyediaan infrastruktur dasar semakin dibutuhkan untuk merawat rasa kebangsaan warga perbatasan yang terpinggirkan oleh politik pembangunan selama puluhan tahun. Kehadiran negara membuat warga merasa disapa, lalu menumbuhkan kesadaran bahwa imaji sebagai bangsa Indonesia layak diperjuangkan.
Minimnya infrastruktur dasar selama bertahun-tahun menyebabkan pembangunan di kawasan perbatasan tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Hal ini juga berimplikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Hasil olah data Litbang Kompas terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2015 Badan Pusat Statistik menunjukkan IPM 73 persen dari 134 kabupaten/kota di wilayah perbatasan berada di bawah rata-rata IPM nasional yang ada di angka 69,55 (kategori sedang). Bahkan, IPM 18 kabupaten/kota di perbatasan masuk kategori rendah atau di bawah angka 60. IPM memerhitungkan tiga dimensi besar, yakni usia dan kesehatan, pengetahuan, serta standar hidup layak.
Tim liputan Tapal Batas harian Kompas dalam rentang waktu 13 Juli-6 Agustus mendatangi tiga titik perbatasan darat Indonesia, yakni perbatasan Indonesia-Malaysia di Krayan, Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara), perbatasan Indonesia-Timor Leste di Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, dan Malaka (NTT), serta Indonesia-Papua Niugini di Skouw, Kota Jayapura (Papua). Hasil observasi mengonfirmasi masih adanya ketertinggalan infrastruktur dasar di tiga titik itu.
Dari 23 desa di Krayan, baru delapan desa mendapat aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara. Namun, aliran listrik itu pun baru bisa dinikmati warga 12 jam di malam hari. Akses jalan darat yang tersedia baru bisa menyambungkan ibukota Kecamatan Krayan, Long Bawan, dengan Ba’kelalan dan Lawas di Sarawak, Malaysia. Sementara akses darat dari Krayan ke wilayah lain Indonesia masih belum terbuka. Akses menuju Krayan dari daerah lain di Kalimantan Utara hanya bisa menggunakan pesawat perintis berkapasitas 12 penumpang.
Rumah Sakit Pratama yang dibangun di Krayan Barat belum memiliki fasilitas maupun tenaga medis, sehingga mangkrak. Sementara itu, Puskesmas di Long Bawan hanya bisa melayani kesehatan dasar karena keterbatasan fasilitas. “Untuk mengobati patah tulang saja, orang harus ke Tarakan mengunakan pesawat,” kata Sukirno, Kepala Puskesmas Krayan.
Sempat geram menyaksikan keterbatasan infrastruktur beberapa tahun silam, membuat mantan Ketua Adat Dayak Lundayeh di Krayan Yagung Bangau (74) pernah mengancam hendak memindahkan patok tapal batas RI, sehingga mengeluarkan Krayan dari wilayah RI.
“Bukan kami mau jadi bagian dari Malaysia. Tapi biarkan kami tetap begini saja, hidup di luar Indonesia atau Malaysia kalau tak juga ada perhatian,” katanya.
Kondisi di perbatasan RI dengan Timor Leste maupun RI dan Papua Niugini (PNG) lebih baik, kendati warga juga menghadapi beberapa persoalan yang mirip, seperti keterbatasan fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan akses listrik.
Warga perbatasan Indonesia-Timor Leste masih kesulitan mengakses air bersih. Bahkan, akses air bersih juga sulit didapat di rumah sakit swasta di Atambua, ibukota Kabupaten Belu. Selain itu, untuk listrik misalnya, belum semua warga perbatasan bisa menikmatinya. Warga Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu, masih ada yang belum menikmati listrik PLN.
Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah NTT Paul Manahet menuturkan, pemerintah Timor Leste sempat menawarkan subsidi listrik bagi warga Indonesia di garis batas, tetapi hal itu ditolak oleh Pemprov NTT. “Memang benar listrik itu kebutuhan, tetapi ini menyangkut harga diri bangsa,” kata Paul.
Negara mulai hadir
Kendati warga masih menghadapi keterbatasan tersebut, kehadiran negara selama beberapa tahun terakhir mulai dirasakan warga di tiga titik perbatasan itu. Di Krayan, pada tahun 2016, Depo Pertamina dibangun. Sebelumnya, warga bergantung BBM dari Malaysia.
Di Skouw, selain membangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw yang megah, pemerintah juga memperbaiki jalan menuju kampung-kampung di Distrik Muara Tami yang berbatasan dengan PNG. Sejak tahun 2015, Kampung Skouw Sae, Skouw Yambe, dan Skouw Mabo di Distrik Muara Tami, teraliri listrik selama 24 jam. Di Skouw Sae, infrastruktur air bersih tengah dipasang.
Benyamin Retto (52), petani asal Kampung Skouw Sae mengaku warga sedikit banyak tak lagi merasa dilupakan oleh negara, sehingga merasakan kebanggaan sebagai bagian dari bangsa Indonesia. “Kami melihat pembangunan sekarang mulai mengarah ke sini,” katanya.
Di perbatasan Indonesia-Timor Leste, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tengah membangun jalan perbatasan Sabuk Merah sektor timur yang membentang dari ujung utara di Motaain, Belu, hingga ke Motamasin, Malaka di ujung selatan.
Kepala Balai Pelaksana Jalan dan Jembatan Nasional Wilayah NTT Kementerian PUPR Bambang Nurhadi mengatakan, jalan nasional perbatasan sepanjang 176,19 kilometer itu ditargetkan rampung pada 2019. Hingga saat ini ada 25 km jalan yang benar-benar belum terhubung. Di sektor barat, pemerintah berencana membangun jalan perbatasan sepanjang 130,88 km, dari Oepoli ke Wini.
Pengajar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Augustinus Setyo Wibowo mengatakan, kehadiran negara di perbatasan akan membuat warga yang selama ini merasa tak tersentuh, menjadi merasa disapa. Mereka jadi lebih bisa membayangkan diri sebagai orang Indonesia karena imaji sebagai bangsa Indonesia itu tiba-tiba menjadi dekat dengan keseharian mereka.
“Kehadiran negara perlu diapresiasi. Kehadiran negara di perbatasan yang selama ini cenderung berpendekatan politik lewat kehadiran polisi dan tentara, sekarang juga lewat hal yang terlihat seperti jalan, listrik, air, infrastruktur komunikasi,” katanya.
Prioritas pembangunan
Perhatian pemerintah terhadap kawasan perbatasan, menurut Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Boy Tenjuri mulai diinstitusionalisasi pada tahun 2010 lewat pembentukan BNPP. Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla semakin mendorong hal itu melalui strategi membangun Indonesia dari pinggiran.
Hal ini antara lain terlihat dari naiknya alokasi anggaran untuk kawasan perbatasan, yakni dari Rp 9,5 triliun di tahun 2015, menjadi Rp 13 triliun di tahun 2016, dan menjadi Rp 16,9 triliun di tahun 2017. Namun, alokasi anggaran itu, kata Boy, masih berada di bawah kebutuhan ideal di atas Rp 20 triliun per tahun. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan prioritas kawasan yang dibangun.
“Dari pada disebar tetapi tidak terasa dampaknya, lebih baik dipilih daerah prioritas tetapi berkesinambungan,” kata Boy.
Data BNPP, ada 778 kecamatan di 134 kabupaten/kota di 23 provinsi yang berada di kawasan perbatasan. Pemerintah pada tahun 2015-2019 diproyeksikan baru mampu menyentuh 187 kecamatan di 41 kabupaten/kota di 13 provinsi. (REK/IRE/GAL/JOG/AGE/JAL/MKN)