Mengapa Penting Mengingat Kembali Konsensus Keindonesiaan Kita
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
Harian Kompas edisi Selasa (16/5) memuat berita utama di halaman satu tentang bagaimana rakyat Indonesia perlu memperkuat kembali ingatannya tentang bagaimana konsensus yang dibuat saat negara ini pertama kali berdiri. Ingatan soal konsensus keindonesiaan ini terasa sangat dibutuhkan saat ini. Rakyat Indonesia hari-hari terakhir ini seperti telah terbelah akibat polarisasi politik yang terjadi akibat kontestasi Pilkada DKI Jakarta dan vonis bersalah atas perkara penodaan agama terhadap Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama.
Di tengah keterbelahan sikap rakyat saat memandang persoalan kebangsaan, kita sepertinya memang harus diingatkan kembali tentang konsensus awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengapa rakyat di Nusantara yang terdiri dari beragam suku bangsa, ras, agama, dan golongan mampu bersatu menjadi satu atas nama bangsa Indonesia? Perbedaan-perbedaan yang ada selama ini malah justru mampu menyatukan kita sebagai satu bangsa.
Indonesia adalah cerita bagaimana sebuah bangsa mampu lahir dari konsensus modern pendirian sebuah negara. Para bapak pendiri bangsa Indonesia secara sadar memilih republik sebagai bentuk negara karena Indonesia bukanlah negara untuk satu golongan, satu kelompok, atau satu agama saja.
Harian Kompas edisi Senin (15/6) memuat opini yang ditulis oleh sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, berjudul "Kembali ke Republik". Dalam opininya, Robertus menuturkan sejarah pemilihan republik sebagai bentuk negara Indonesia. Perdebatan soal pemilihan republik sebagai bentuk negara, menurut Robertus, juga penting untuk diingat, bahkan sama pentingnya seperti mewacanakan dasar negara.
"Selama ini, diskursus kebangsaan selalu dipusatkan pada dasar negara. Tentu saja ini hal yang sangat fundamental. Namun, diskursus mengenai bentuk negara juga sangat penting untuk dikemukakan kembali," begitu tulis Robertus.
Pemilihan republik sebagai bentuk negara bukan tanpa perdebatan panjang. Robertus menulis, perdebatan tentang ide menggunakan republik sebagai bentuk negara justru tempat paling banyak dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Robertus menulis, "Meski demikian, rumusan Panitia Kecil mengenai republik rupanya tidak dengan serta-merta diterima oleh semua pihak. Dalam sidang itu, perdebatan ide tentang republik muncul dan justru mengambil waktu yang paling banyak dibandingkan dengan perdebatan mengenai soal-soal lain. Kerumitan dan perdebatan serta penolakan sejumlah orang terhadap ide republik ini cukup mengherankan mengingat bahwa dalam suasana sehari-hari, ide republik sebenarnya telah diterima sebagai semacam platform perlawanan terhadap kolonial. Menolak republik mestinya, secara logis, menguntungkan pandangan kolonial."
Mengapa penting mengingat konsensus keindonesiaan kita, seperti halnya mengapa kita perlu diingatkan bahwa para bapak pendiri bangsa ini sepakat dengan ide republik sebagai bentuk negara. Penutup opini Robertus dengan gamblang menjelaskan alasannya.
"Demikianlah negara Republik Indonesia itu terbentuk. Ia diputuskan dalam mekanisme demokratis yang sangat modern, yakni sistem stem atau voting tertutup. Republik dipilih dalam dua kepentingan, yakni sebagai sikap penolakan terhadap pemerintahan kerajaan kolonial sekaligus sebagai sarana bagi kedaulatan rakyat. Dengan itu, jelaslah bahwa sedari awal pendirian Indonesia merdeka memang diarahkan kepada satu bentuk negara demokratis modern. Demokrasi, kedaulatan rakyat adalah skema dasar yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa untuk Indonesia merdeka. Tugas kita menjaga dan memperkaya warisan ini, jangan merusaknya."