MK Tak Temukan Bukti Ketidaknetralan Aparatur Negara dalam Pilpres
MK tak menemukan fakta hukum penjabat kepala daerah ditunjuk agar bisa memobilisasi pemilih untuk Prabowo-Gibran.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi tidak menemukan bukti yang meyakinkan untuk mengamini dalil yang diajukan tim hukum Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar bahwa Presiden Joko Widodo mengerahkan penjabat kepala daerah di sejumlah wilayah untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Demikian pula dengan dalil tentang ketidaknetralan para menteri Kabinet Indonesia Maju, MK menilai pemohon gagal membuktikan hal tersebut.
Dalam pertimbangan hukum MK yang dibacakan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, Senin (22/4/2024), disebutkan, pengisian penjabat kepala daerah merupakan kewenangan eksekutif, dalam hal ini presiden, sebagai konsekuensi dari pengaturan keserentakan pemilihan kepala daerah. Apabila dalam implementasinya pengisian jabatan penjabat kepala daerah tersebut terindikasi melanggar putusan MK, UU Pemilu, dan Peraturan Mendagri Nomor 4 Tahun 2023, pemohon seharusnya mempersoalkan hal itu kepada lembaga pengawas.
Adapun yang dimaksudkan dengan lembaga pengawas adalah penyelenggara pemilu dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR dapat menggunakan hak dan kewenangannya yang melekat untuk mencegah sekaligus memberikan hukuman jika ada pelanggaran terhadap ketentuan pengisian penjabat kepala daerah seperti diatur dalam putusan MK, UU Pemilu, dan Permendagri.
”Bukan mempermasalahkan saat dianggap ada hubungannya dengan hasil pilpres,” kata Daniel dalam sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden yang diajukan pasangan Anies-Muhaimin di Gedung MK, Jakarta, Senin.
MK juga tidak menemukan fakta hukum mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah yang bertujuan untuk memobilisasi pemilih untuk memengaruhi perolehan suara Prabowo-Gibran. ”Terlebih lagi, proses penunjukan penjabat itu sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana fakta hukum dalam persidangan yang dijelaskan oleh saksi dari Kementerian Dalam Negeri dan DPR. Di samping hal tersebut merupakan bentuk implementasi norma yang menjadi ranah pelaksanaan tugas pemerintahan,” kata Daniel.
Dalam sidang itu, MK juga membahas satu per satu dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan penjabat kepala daerah. Salah satunya Penjabat Gubernur Kalimantan Barat Harisson Azroi yang diduga mengimbau warga agar memilih capres-cawapres yang mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) saat peringatan HUT Provinsi Kalbar, 28 Januari lalu. Berdasarkan laporan Bawaslu, masalah tersebut sudah ditangani dan bahkan sudah dibahas oleh Sentra Gakkumdu yang melibatkan unsur kepolisian dan kejaksaan.
”Berkenaan dengan dalil a quo, Bawaslu telah melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemilu, khususnya terkait dengan netralitas ASN, sehingga tidak relevan lagi dengan dalil untuk memilih presiden yang mendukung pembangunan IKN,” kata Daniel.
Pemohon juga mendalilkan adanya dugaan pelanggaran terkait perintah pencopotan baliho pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) oleh Penjabat Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya saat ada kunjungan Presiden Jokowi ke Gianyar. Dugaan pelanggaran ini pun sudah ditindaklanjuti oleh Bawaslu.
Mengenai penurunan baliho dan bendera partai saat Presiden Jokowi berkunjung ke daerah, menurut MK, hal tersebut lebih bersifat insidental. Penurunan dinilai dilakukan untuk menunjukkan bahwa Presiden bukan representasi dari salah satu partai politik, dan bukan pula menunjukkan keberpihakan Presiden kepada salah satu peserta pemilu. Terlebih lagi, setelah acara kunjungan kerja Presiden berakhir, baliho ataupun bendera tersebut dikembalikan ke tempat semula tanpa adanya kerusakan.
Pemohon juga mempersoalkan tindakan Penjabat Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana yang mengenakan pakaian abu-abu yang mirip dengan atribut pasangan Prabowo-Gibran saat menjemput Prabowo Subianto saat akan berkampanye di Jateng. Menilik bukti yang diajukan oleh Bawaslu, MK menilai dugaan pelanggaran pemilu oleh Nana Sudjana sudah ditindaklanjuti oleh Bawaslu Jateng yang sudah menyatakan tidak ada bukti pelanggaran kampanye.
Menurut Bawaslu, unsur niat untuk menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu tidak terpenuhi. Tindakan tersebut hanya suatu kebiasaan atau penghormatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada setiap pejabat negara yang datang ke daerah. Hal itu sudah umum dilakukan oleh pejabat atau kepala daerah lainnya.
MK juga menyatakan tak bisa menerima dalil pelanggaran yang dilakukan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto saat mengikuti kegiatan HUT Partai Golkar yang berimpitan dengan pembagian sembako dalam kapasitasnya sebagai menteri. Dugaan pelanggaran ini sudah ditindaklanjuti oleh Bawaslu.
Begitu pula dengan dugaan pemanfaatan fasilitas negara saat Menteri BUMN Erick Thohir yang tidak mengajukan cuti atau mundur saat mengikuti kampanye. MK menilai hal ini sudah ditangani oleh Bawaslu.
Namun, MK memberikan catatan mengenai penanganan oleh Bawaslu tersebut. Dalam menarik kesimpulan terkait dugaan pelanggaran pemilu terhadap peristiwa tersebut, Bawaslu belum memperhatikan aspek lain, seperti penggunaan fasilitas negara, citra diri, dilakukan dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara ataupun waktu pelaksanaan yang berada dalam tahapan kampanye pemilu.
Menurut MK, hal ini disebabkan tidak ada persyaratan baku ataupun tata urut atau pisau analisis yang harus digunakan Bawaslu dalam menentukan bagaimana suatu peristwa dianggap memenuhi atau tidak memenuhi syarat materiil. Karena itu, hal ini menyebabkan penarikan kesimpulan dari peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran pemilu tidak dapat dilakukan secara komprehensif.