Gerindra Keberatan Jatah Menteri Prabowo-Gibran Berbasis Kontribusi Suara Parpol
Nama calon menteri yang direkomendasikan pimpinan parpol akan lebih diperhitungkan oleh Prabowo-Gibran.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah silang pendapat antarpartai politik anggota Koalisi Indonesia Maju, Partai Gerindra menekankan agar kabinet periode 2024-2029 diisi oleh para tokoh yang memahami dan menyetujui visi dan misi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kontribusi dalam perolehan suara pasangan tersebut dinilai tidak bisa menjadi patokan dalam menentukan alokasi jumlah menteri yang akan didapatkan partai pengusung.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, jelang berakhirnya proses sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), pembicaraan untuk merumuskan komposisi kabinet semakin intensif. Meski tidak menyebutkan secara detail, kursi menteri akan diisi oleh sejumlah tokoh, baik yang berasal dari partai politik (parpol) pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, maupun tokoh dari berbagai macam profesi dan keahlian, juga tokoh daerah. Kendati demikian, menurut dia, menteri yang nantinya dipilih harus sejalan dengan visi dan misi Prabowo-Gibran, baik yang disampaikan dalam masa kampanye maupun debat pilpres.
”Dia akan melaksanakan program kerja dari kebijakan presiden, bukan kebijakan menteri. Maka, sebagai sebuah syarat, pembantu presiden menyetujui program presiden adalah sesuatu yang menjadi keharusan,” kata Muzani saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/4/2024).
Ia menambahkan, belum ada komposisi final dalam rumusan kabinet, baik dari jumlah kursi yang didapatkan setiap parpol maupun nama tokoh yang akan diangkat menjadi menteri. Prabowo masih memetakan sejumlah nama dan memastikan ketepatan penempatan mereka di posisi tertentu. ”Belum ada angka pasti, belum ada posisi yang pasti, karena ini semua masih di-exercise ya, masih terus (dicoba) ini pas atau enggak,” ujar Muzani.
Dia akan melaksanakan program kerja dari kebijakan presiden, bukan kebijakan menteri. Maka, sebagai sebuah syarat, pembantu presiden menyetujui program presiden adalah sesuatu yang menjadi keharusan.
Sebelumnya, di tengah belum tuntasnya penetapan alokasi kursi menteri, terjadi silang pendapat antarparpol anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM). Partai Golkar, misalnya, mengusulkan agar penentuan jumlah menteri yang akan didapatkan ditentukan sesuai dengan kontribusi dalam perolehan suara Prabowo-Gibran. Golkar sempat mewacanakan untuk meminta lima menteri karena memenangi perolehan suara pada 15 provinsi dari total 38 provinsi. Sementara parpol anggota KIM lain, salah satunya Partai Amanat Nasional (PAN), meyakini bahwa pertimbangan strategis Prabowo lebih krusial untuk diperhitungkan.
Menurut Muzani, kontribusi parpol koalisi dalam perolehan suara Prabowo-Gibran tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan jumlah menteri. Sebab, peran setiap parpol dalam hal tersebut tak bisa diukur secara pasti. Alih-alih menghitung kontribusi mereka, rekomendasi nama dari para pemimpin parpol akan lebih diperhitungkan karena indikator untuk menyetujui atau menolaknya akan lebih jelas.
”Yang akan kami perhitungkan adalah orang-orang yang mendapatkan rekomendasi dan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian di bidang yang akan dijabat atau yang diusulkan,” katanya.
Pertimbangan tunggal bisa merepotkan
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, anggota KIM lainnya, melihat bahwa semua faktor memang perlu dipertimbangkan secara proporsional dalam menentukan alokasi kursi menteri. Perumusan komposisi kabinet tidak bisa hanya didasarkan pada kekuatan politik di DPR. Alih-alih memudahkan, pertimbangan tunggal sesuai perolehan suara itu juga dinilai bisa merepotkan nantinya.
Apalagi, menurut dia, selalu ada pertimbangan spesifik yang diambil oleh presiden dalam menentukan menteri. Misalnya, soal kompetensi dan profesionalitas seseorang di salah satu bidang. Pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, contohnya, Yusril diangkat menjadi menteri kendati berasal dari parpol dengan perolehan suara terkecil.
”Jadi, sebenarnya tidak hanya pertimbangan partainya, tetapi juga kemampuan personal orang-orangnya,” kata Yusril.
Ia pun meyakini, Prabowo nantinya akan menggunakan pertimbangan tersebut sehingga kalaupun mengangkat tokoh parpol tertentu juga diiringi dengan penilaian atas kompetensi mereka. Dengan cara itu, menurut Yusril, kabinet yang dibentuk akan bisa benar-benar mencerminkan persatuan nasional.
Bertemu Megawati masih diupayakan
Selain masih memperhitungkan nama-nama yang direkomendasikan pimpinan parpol, para elite partai yang dipimpin Prabowo itu juga masih terus berupaya untuk merangkul lawan politik mereka di Pilpres 2024 untuk masuk ke koalisi pemerintahan. Gerindra terus berupaya mempertemukan Prabowo dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri. PDI-P merupakan parpol pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Pilpres 2024 dan peraih suara terbanyak di Pemilu 2024.
Berdasarkan komunikasi intensif terakhir yang dilakukan kedua belah pihak pada awal April lalu, kata Muzani, belum ada kesimpulan untuk menggelar pertemuan antara Prabowo dan Megawati. Namun, ia menampik kabar yang beredar bahwa Gerindra dan PDI-P tidak menemui kesepakatan karena PDI-P meminta jatah kursi menteri terlalu banyak. Diharapkan, pertemuan kedua tokoh itu bisa berlangsung pasca-adanya putusan MK mengenai sengketa hasil pilpres.
Enggak (PDI-P meminta banyak kursi menteri). Pembicaraannya intensif, produktif.
”Enggak (PDI-P meminta banyak kursi menteri). Pembicaraannya intensif, produktif,” katanya.
Selain itu, Gerindra juga menjajaki komunikasi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), salah satu pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Sama halnya dengan PDI-P, menurut Muzani, hubungan baik dengan PKB juga terjalin dan kemungkinan merangkul parpol tersebut ke koalisi pemerintahan tetap terbuka.
Ditemui terpisah, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, pihaknya masih mengawal gugatan terhadap hasil pilpres di MK. PDI-P masih akan menunggu hasil dari proses tersebut karena langkah partai semestinya dipengaruhi oleh hal-hal fundamental.
”Maka, yang penting bukan siapa bertemu siapa, tetapi bagaimana persoalan-persoalan yang kita hadapi bisa kita mitigasi,” katanya.
Selain proses di MK, menurut Hasto, Indonesia menghadapi masalah besar terkait dengan pertarungan geopolitik yang tidak dikelola dengan baik. Di dalam negeri, ada pula persoalan nepotisme yang semakin akut serta tidak adanya supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Ibu Mega akan bertemu dengan pihak-pihak yang betul-betul memikirkan bangsa dan negara agar kita bisa keluar dari berbagai persoalan yang menghantui kita, seperti masalah ekonomi, tidak adanya supremasi hukum, dan tidak adanya meritokrasi dalam penempatan jabatan strategis,” tuturnya.