Mungkinkah Koalisi Pilpres 2024 Sebangun dengan Pilkada?
Sejumlah parpol memprioritaskan koalisi di Pilpres 2024 untuk menghadapi Pilkada 2024. Apakah semudah itu?
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto seusai pengarahan pada bakal calon kepala/wakil kepala daerah dari Golkar, Sabtu (6/4/2024), menyampaikan, prioritas partainya mempertahankan koalisi partai saat Pemilihan Presiden 2024 di Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional pada November 2024.
Sebelumnya, pertengahan Maret 2024, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno pun mengemukakan keinginan senada. Koalisi serupa dalam menghadapi pemilihan kepala daerah, apalagi jika calon yang diusung berhasil, disebutnya bakal menguatkan tercapainya sasaran agenda ekonomi dan pembangunan nasional yang telah dicanangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Prabowo-Gibran seperti diketahui merupakan pasangan calon presiden-wakil presiden peraih suara terbanyak di Pemilihan Presiden 2024. Pasangan ini diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang di dalamnya ada Partai Golkar dan PAN selain Partai Gerindra dan Partai Demokrat.
Baca juga: Parpol Pengusung Prabowo Mulai Petakan Koalisi Hadapi Pilkada 2024
Jika ditilik ke belakang, bukan kali ini saja muncul keinginan untuk menyelaraskan koalisi parpol di pilpres dengan pilkada. Ide itu bahkan kerap muncul setelah pilpres.
Pasca-Pilpres 2014, misalnya, Koalisi Merah Putih (KMP)—koalisi pengusung capres-cawapres Prabowo-Hatta Rajasa—juga mengungkapkan ambisi itu.
Gemuknya parpol dalam KMP, total enam parpol, menjadi basis dari ambisi tersebut untuk menghadapi pilkada serentak 2015. Dengan kekuatan KMP, pasangan calon di pilkada akan lebih mudah diajukan guna memenuhi ambang batas pencalonan. Tak hanya itu, gemuknya koalisi memunculkan keyakinan pilkada bisa dimenangkan dengan mudah meski realitas di Pilpres 2014, gemuknya KMP tak membuahkan kemenangan bagi Prabowo-Gibran.
Ide itu pun dilontarkan kembali pasca-Pilpres 2019, utamanya untuk menghadapi pilkada serentak 2020. Ide ini disampaikan sejumlah elite parpol di dua koalisi pengusung capres-cawapres di Pilpres 2019, baik Koalisi Indonesia Kerja (pengusung Joko Widodo-Ma’ruf Amin) ataupun Koalisi Indonesia Adil Makmur (pengusung Prabowo-Sandiaga Uno).
Baca juga: PKB Tak Andalkan Koalisi Perubahan di Pilkada
Namun, untuk merealisasikannya tidak mudah. Hal yang tampak lebih dominan justru cairnya koalisi parpol pilpres di pilkada.
Hasil analisis yang dilakukan Litbang Kompas pada Pilkada 2020, misalnya, menunjukkan, peta pola koalisi partai yang tak lagi terpolarisasi seperti yang terjadi di pilpres. Koalisi di antara PDI-P, PKS, dan Gerindra, sebagai contoh, bergerak dinamis.
Bahkan, koalisi antara PDI-P dan PKS tampak lebih mudah dibandingkan antara PKS dan Gerindra yang cenderung kian berjarak. Padahal, PDI-P dan PKS berada di kubu koalisi yang berbeda di Pilpres 2019 dan Gerindra bersama PKS justru berada di gerbong yang sama.
Baca juga: Dinamika Konfigurasi Koalisi di Pilkada 2020
Begitu pula di Pilkada 2015. Mengacu kajian Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), PDI-P berkoalisi dengan PAN mengusung 77 pasangan calon, PDI-P juga berkoalisi dengan Demokrat mengusung 75 pasangan, dan Gerindra berkoalisi dengan PPP mengusung 28 pasangan.
Padahal, di Pilpres 2014, PDI-P dan PPP berada dalam satu gerbong Koalisi Indonesia Hebat dan Gerindra serta Demokrat berada dalam KMP. Rumitnya membuat permanen koalisi di pilpres pada pilkada tak lepas dari sikap pragmatisme parpol dan figur yang ingin maju di pilkada.
Sudah menjadi target utama setiap parpol agar calon yang diusungnya bisa memenangkan pilkada. Kemenangan di pilkada diyakini sebagai jalan untuk menggapai kemenangan lebih besar di pemilu tingkat nasional.
Tak pelak, hal ini karena kemenangan bisa membuka jalan bagi parpol pengusung untuk memperoleh limpahan elektabilitas dari kepala dan wakil kepala daerah, terutama jika mereka memiliki performa yang memuaskan selama menjabat. Belum lagi potensi kucuran finansial dan akses ke fasilitas kekuasaan di tingkat lokal yang bisa jadi ”amunisi” bagi parpol dalam menghadapi pemilihan presiden dan pemilihan legislatif berikutnya.
Demi mengejar target utama itu, parpol pun kerap inkonsisten, tak lagi melihat peta koalisi pilpres. Utamanya, parpol yang memiliki kursi atau suara yang dominan di daerah. Tak akan mudah bagi mereka merelakan tiket pengusungan calon diberikan pada calon dari parpol lain. Mereka akan berusaha mengajukan calon sendiri, utamanya kader, untuk berlaga di pilkada.
Mengacu pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pengusungan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah harus memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota legislatif di daerah yang bersangkutan. Dalam hal ini merujuk pada hasil Pemilu 2024.
Baca juga: PDI-P Diperkirakan Masih Duduki Kursi Ketua DPR
Baca juga: Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju Pilkada Jabar
Hal yang juga tidak mudah adalah berbedanya konfigurasi politik nasional dan daerah. Bangunan koalisi di pilpres memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden, tetapi di daerah, tak jarang bangunan koalisi itu tak memenuhi syarat untuk pengusungan calon. Akhirnya, sikap pragmatis parpol kembali muncul.
Selain itu, raihan kursi/suara parpol di daerah bisa jadi mengubah posisi sentral yang dipegang parpol tertentu sebagai motor penggerak pembangun koalisi di pilpres. PDI-P dan Gerindra, misalnya, yang menjadi motor penggerak di koalisi pilpres, bisa jadi tak memegang peran kunci itu di daerah karena raihan kursi/suaranya tak dominan.
Dengan posisi itu, daya tawar PDI-P dan Gerindra tidak kuat sehingga mau tak mau menginduk pada koalisi yang dibangun parpol yang dominan raihan kursi/suaranya. Parpol ini sangat mungkin bersikap pragmatis, tak lagi melihat bangunan koalisi di pilpres.
Ditambah lagi faktor kandidat yang diajukan parpol. Jika kandidat yang diajukan memiliki bekal popularitas dan elektabilitas yang tinggi, partai-partai politik lain akan tertarik untuk mengusungnya. Maka tidak heran jika di pilkada sebelumnya kerap dijumpai hanya ada calon tunggal saat pilkada di daerah-daerah tertentu.
Baca juga: Bobby Nasution Bakal Maju Pilkada Sumut lewat Golkar
Di sisi lain, kandidat dalam upaya membangun koalisi pencalonannya sering kali tak lagi memedulikan bangunan koalisi di pilpres. Bagi mereka, hal yang penting bisa maju di pilkada, baik dengan parpol dalam satu koalisi di pilpres maupun lintas koalisi. Kian banyak parpol bergabung mengusungnya, bahkan menjadi target utama dari kandidat guna memperbesar potensi kemenangan dan kelancaran jalan pemerintahannya jika kelak terpilih.
Tak hanya sikap pragmatis parpol dan kandidat, lenturnya bangunan koalisi di pilkada sangat mungkin dengan upaya Prabowo merangkul parpol yang jadi lawan politiknya di Pilpres 2024 untuk bergabung dalam pemerintahan ke depan.
Prabowo telah bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh untuk mewujudkan politik merangkulnya tersebut. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun mengindikasikan sikap yang melunak dengan pernyataan salah satu elite partainya bahwa PKB tak pernah oposisi. Ditambah lagi adanya rencana pertemuan Prabowo dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Baca juga: Setelah Bertemu Prabowo, ke Mana Surya Paloh Akan Membawa Nasdem?
Jadi, jika berkaca pada rekam jejak pilkada sebelumnya dan dinamika politik nasional itu, ambisi sejumlah elite parpol untuk menyemai bangunan koalisi yang sama di Pilkada 2024 dengan pilpres bakal menemui jalan terjal.
Namun, jika hal itu berhasil diwujudkan, apalagi calon yang diusung KIM di daerah berhasil menang, akan lebih mudah bagi Prabowo-Gibran untuk memastikan program-programnya berjalan di daerah. Sebab, tak jarang terjadi, akibat perbedaan sikap politik, kepala dan wakil kepala daerah tak sepenuh hati menjalankan program dari capres-cawapres terpilih.