Berkaca Kasus Gibran, PDI-P Evaluasi Rekrutmen Calon Kepala Daerah
Pemilihan calon kepala daerah yang mengutamakan faktor kedekatan dengan elite terbukti memunculkan masalah.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkomitmen untuk lebih selektif dan hati-hati dalam menjaring bakal calon kepala daerah. Kapasitas kepemimpinan serta komitmen kandidat terhadap rakyat menjadi prioritas ketimbang popularitas dan kedekatan dengan elite.
Empat bulan jelang pendaftaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, yakni pada akhir Agustus 2024, partai-partai politik (parpol) sudah mulai menjaring bakal calon kepala daerah. Pengurus daerah sejumlah parpol, tidak terkecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mendaftarkan diri menjadi bakal calon kepala daerah. Kesempatan itu dibuka untuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia. Seluruh kalangan masyarakat baik kader parpol maupun bukan, bisa mendaftarkan dirinya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P Komarudin Watubun saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (6/4/2024), mengatakan, meski dibuka untuk masyarakat umum, kader PDI-P akan diprioritaskan untuk dicalonkan sebagai kepala daerah. Pencalonan kader krusial mengingat fungsi utama parpol adalah menghasilkan kader-kader untuk mengabdi kepada masyarakat, bukan kepada partai. Selain itu, penilaian akan keberpihakan bakal calon kepada masyarakat juga akan menjadi sorotan utama ketimbang kedekatan kandidat dengan elite partai.
“Partai harus mengintrospeksi diri ke dalam untuk ke depan lebih berhati-hati. Tidak perlu juga (kandidat) yang populer-populer, tetapi harus orang yang tulus, ikhlas, untuk pengabdian kepada rakyat,” kata Komarudin.
Ia melanjutkan evaluasi tersebut tidak terlepas dari kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka pada Pilkada 2020. Saat itu, Gibran yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo mendapatkan rekomendasi dari DPP PDI-P untuk menjadi calon wali kota Surakarta. Padahal, sebelumnya partai sudah memiliki kandidat lain yang sudah mengikuti proses seleksi sesuai mekanisme kepartaian tetapi digantikan begitu saja oleh Gibran.
Komarudin tidak memungkiri, pemberian rekomendasi kepada Gibran lebih dipengaruhi faktor kedekatan dengan elite ketimbang mekanisme formal partai. Namun, setelah terpilih, loyalitas kepada partai menjadi persoalan tersendiri. “Karena pakai jalur-jalur khusus, akhirnya kami terlibat risiko juga sekarang,” ungkapnya.
Persoalan loyalitas keluarga Jokowi terhadap PDI-P mengemuka seiring dengan penyelenggaraan Pilpres 2024. Gibran yang merupakan kader PDI-P maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping calon presiden (capres) Prabowo Subianto yang diusung Koalisi Indonesia Maju. Adapun PDI-P mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Meski tidak pernah menyatakan dukungannya secara resmi, gerak-gerik Jokowi juga dinilai banyak pihak memihak kepada pasangan Prabowo-Gibran. Tak hanya Jokowi dan Gibran, Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution, menantu Presiden yang juga kader PDI-P, belakangan ikut menyatakan dukungan resmi untuk Prabowo-Gibran.
Komarudin melanjutkan, ke depan, pemilihan kandidat akan dimulai dengan memperhatikan hasil survei untuk mengetahui sejauh mana dukungan rakyat. Kendati demikian, popularitas tidak menjadi faktor utama karena parpol dan infrastrukturnya bisa digunakan untuk mempopulerkan bakal calon yang tepat. “Tetapi jika ada tokoh yang dipopulerkan oleh partai, jangan sampai lupa diri. Karena kalau dia lupa diri, tentu akan lupa pada rakyat. Kalau lupa rakyat, lupa sumber,” ujarnya.
Perekrutan secara demokratis
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, pengalaman PDI-P dalam pencalonan Gibran penting untuk diperhatikan parpol lain. Sebab, peristiwa tersebut menunjukkan bahwa partai bisa menggugurkan kadernya yang sudah mendapatkan tiket pencalonan sesuai dengan prosedur seleksi internal partai demi tokoh tertentu. Padahal. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, mengatur bahwa rekrutmen kepala daerah dan wakil kepala daerah harus dilakukan secara terbuka dan demokratis.
Menurut Titi, perekrutan kandidat secara demokratis salah satunya bisa terwujud jika anggota dan pengurus partai lebih aktif dalam mencermati kebijakan partai. Mereka harus menjalankan fungsi kontrol agar pencalonan kepala daerah daerah dilakukan sesuai dengan prosedur organisasi dan prinsip demokratis. Sebab, selama ini pengambilan keputusan didominasi oleh elite partai.
“Jangan sampai suara pengurus daerah dibajak oleh kepentingan pragmatis elite DPP partai. Sudah menjadi rahasia umum, rekomendasi DPP tidak lepas dari anasir praktik transaksional yang dalam banyak kasus membuat aspirasi daerah tereliminasi, bahkan berujung pada konflik vertikal,” ujar Titi.
Jika aspirasi pengurus lain dikorbankan demi kepentingan elite tertentu, menurut dia, soliditas partai menjadi taruhan. Kebijakan yang tidak sejalan dengan aspirasi pengurus dan akar rumput sangat mungkin memunculkan ketidakpuasan yang berdampak pada perpecahan atau konflik berkepanjangan di internal parpol.
“Bisa juga pendatang baru yang mendapatkan tiket (pencalonan kepala daerah) dari partai justru tidak loyal dan melemahkan partai akibat ambisi politik personal yang ingin diperjuangkan,” ujar Titi.
Tanpa soliditas yang utuh, kerja pemenangan juga diprediksi tidak optimal. Hal tersebut yang dalam banyak contoh kasus menjadi pemicu banyak kandidat menggunakan politik uang sebagai jalan pintas mendapatkan suara karena tidak mendapatkan dukungan dari parpol.