Jokowi Berperan Penting dalam Pembentukan Kabinet Prabowo-Gibran
Preferensi dari Presiden Jokowi soal kabinet bisa dipertimbangkan, tetapi keputusan akhir tetap di tangan Prabowo.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik anggota Koalisi Indonesia Maju mengakui Presiden Joko Widodo merupakan tokoh yang paling banyak dimintai pendapat dalam pembentukan kabinet lima tahun mendatang. Saran dari Jokowi dinilai penting untuk menjalankan visi keberlanjutan yang diusung oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kehati-hatian juga dibutuhkan dalam pembentukan kabinet karena melibatkan banyak partai politik serta sukarelawan pendukung Prabowo-Gibran.
Enam hari setelah penetapan rekapitulasi hasil Pemilu 2024, pembentukan kabinet yang akan dipimpin calon presiden peraih suara terbanyak, Prabowo Subianto, masih dimatangkan. Dalam proses tersebut Prabowo sempat mengadakan sejumlah pertemuan baik dengan ketua umum partai politik anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusungnya maupun dengan tokoh dari luar koalisi. Baik Prabowo maupun Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden pendamping Prabowo, tidak memungkiri pertemuan di antaranya membahas soal komposisi kabinet.
Selain mendapatkan masukan dari para ketua umum parpol anggota KIM, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengakui, Prabowo juga mendapatkan saran dari Presiden Joko Widodo. Meski tidak menyebutkan secara detail masukan yang dimaksud, ia meyakini bahwa Jokowi memberikan saran penting terkait pembentukan kabinet.
”Secara institusional, saya tidak tahu. Tetapi, secara prinsip, memang Pak Jokowi dipastikan menjadi salah satu orang yang paling banyak dimintai pendapat oleh Pak Prabowo,” katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/3/2024).
Menurut Habiburokhman, hal tersebut wajar karena Prabowo-Gibran mengusung visi untuk melanjutkan program pemerintahan saat ini. Oleh karena itu, Jokowi menjadi sosok yang paling tepat untuk dimintai pandangan mengenai bagaimana menjalankan pemerintahan lima tahun mendatang. Selain itu, secara pribadi, Prabowo yang merupakan rival politik Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019 juga mengakui bahwa dirinya telah belajar banyak dari mantan Gubernur DKI Jakarta itu selama berada di pemerintahan.
Kendati demikian, dia mengaku tidak tahu apakah Jokowi turut memberikan rekomendasi nama-nama untuk mengisi kursi kabinet. Kalau usulan itu ada, hal tersebut dinilai wajar karena siapa pun boleh memberikan masukan kepada Prabowo. ”Ya, bisa saja (Jokowi) memberikan nama, saya pun boleh mengusulkan, kan,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra itu.
Secara prinsip, memang Pak Jokowi dipastikan menjadi salah satu orang yang paling banyak dimintai pendapat oleh Pak Prabowo.
Ditemui secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Gerindra Sugiono mengaku tidak tahu mengenai saran yang disampaikan Presiden kepada Prabowo. Menurut dia, pembahasan soal komposisi kabinet belum dilanjutkan. ”Belum ada (susunan kabinet final). Yang pasti, komposisi kabinet (seperti poster) itu bukan datang dari kami,” katanya sembari menanggapi susunan kabinet Prabowo-Gibran yang beredar di dunia maya.
Anggota Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad H Wibowo, mengatakan hal serupa. Ia tidak memungkiri adanya saran yang diberikan oleh Jokowi kepada Prabowo terkait kabinet, tetapi tidak mengetahui secara detail. Kendati demikian, ia memastikan Presiden Jokowi dan Prabowo merupakan pemimpin yang sama-sama taat konstitusi.
”Jadi, masukan dan saran tersebut (dari Jokowi) tentu sesuai porsinya, penting dan berguna,” kata Dradjad. Akan tetapi, keputusan akhir mengenai kabinet merupakan hak prerogatif Prabowo setelah dilantik menjadi presiden.
Sebelumnya, seusai acara buka puasa bersama sekaligus pembubaran Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran di Jakarta, Senin (25/3/2024) malam, Gibran yang merupakan putra sulung Presiden mengatakan bahwa ayahnya bisa saja memberikan masukan ihwal pembentukan kabinet. Akan tetapi, itu tidak menjadi faktor penentu keputusan akhir karena hal tersebut merupakan kewenangan Prabowo. ”Pak Prabowo yang akan menentukan,” ujarnya.
Gibran menuturkan, pembahasan soal kabinet telah dilakukan oleh Prabowo sejak jauh-jauh hari. Prabowo mendiskusikan hal tersebut dengan sejumlah pihak, tidak terkecuali dirinya. Namun, ia tak menjawab saat ditanyakan soal perkembangan hingga saat ini.
Negosiasi panjang
Peneliti Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, melihat, wajar jika Jokowi memberikan saran pada pembentukan kabinet Prabowo. Preferensi dari Presiden bisa diterima atau dipertimbangkan walaupun keputusan akhir tetap berada di tangan Prabowo. Keputusan dimaksud bergantung pada orientasi politik, pengejawantahan visi dan misi, serta bentuk negosiasi politik yang dilakukan capres terpilih dengan para pendukungnya.
Menurut Wasisto, negosiasi politik yang terjadi dalam pembentukan kabinet ini tidak mudah. Prabowo-Gibran diusung oleh Koalisi Indonesia Maju yang terdiri dari sembilan parpol, di antaranya Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Solidaritas Indonesia. Selain itu, ada pula beberapa parpol pendukung, yakni Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Sejumlah kelompok sukarelawan juga mendukung, salah satunya Projo (Pro Jokowi) yang merupakan kelompok pendukung Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2014 dan 2019.
Tak hanya itu, kubu Prabowo-Gibran juga tengah berupaya untuk mendekati parpol dari kubu lawan guna memperbesar koalisi pemerintahan nantinya. ”Dengan jumlah koalisi yang ada sekarang dan potensi parpol baru bergabung, perlu mekanisme dan negosiasi politik untuk merumuskan kabinet yang ideal. Hal ini untuk mencegah terjadinya kabinet besar seperti halnya kabinet 100 menteri di era Presiden Soekarno pertengahan tahun 1960-an,” ujarnya.
Tanpa negosiasi politik yang tepat, pembagian kekuasaan dalam koalisi yang besar itu berpotensi memicu konflik internal. Umumnya, hal itu akan diselesaikan dengan menciptakan posisi atau lembaga baru. Namun, hal itu harus benar-benar diperhatikan agar tidak berdampak pada terbentuknya struktur pemerintahan yang terlalu besar.
Sebab, kata Wasisto, pemerintahan yang terlalu besar berpotensi pada kinerja yang tidak efektif. Rantai pengambilan keputusan akan lebih panjang, mengingat banyak sekat atau lembaga yang harus dilalui. ”Terlebih lagi kini TNI/Polri aktif bisa duduk di posisi beberapa lembaga sipil,” ujarnya.