Pengungsi Rohingya, Hoegeng, dan Oei Tjoe Tat
Peraturan baru digodok guna menghalau pengungsi Rohingya. Eks Kapolri Hoegeng pernah melakukannya di era Soekarno.
Suatu saat, Hoegeng Iman Santoso, Kepala Kepolisian Negara RI periode 1968-1971, yang pertama kali bertugas di luar korpsnya sebagai polisi dan ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Imigrasi (kini Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM), dipanggil mendadak Presiden Soekarno ke Istana Merdeka. Hoegeng yang belum lama dilantik sebagai Kepala Jawatan Imigrasi pada 19 Januari 1961 terkejut. Pasalnya, ia tidak merasa ada kesalahan sebagai Kepala Jawatan Imigrasi.
Saat tiba di Istana Merdeka, Presiden Soekarno kemudian menyatakan adanya laporan bahwa Hoegeng disebut-sebut bersikap diskriminatif dan anti-China. Sempat terkejut dengan tuduhan tersebut, Hoegeng langsung bertanya balik dan menanyakan dari mana Presiden Soekarno mendapat laporan tersebut. Setelah Presiden menyebutkan asal-usul tuduhan tersebut dan menyebutkan nama Menteri Negara Oei Tjoe Tat, Hoegeng langsung menjelaskan panjang lebar.
Menurut Hoegeng, saat itu banyak sekali imigran gelap dari Indo-China yang masuk ke Indonesia sebagai pengungsi. Mereka datang dengan kapal-kapal layar dari perairan Indo-China menuju wilayah Indonesia. Padahal, Indonesia saat itu, negara yang tengah menghadapi berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Salah satu yang paling utama saat itu, pemerintah tidak memiliki dana dan mampu mengatasi masalah jika harus menanggung kehidupan mereka sebagai pengungsi di Indonesia.
”Memberi makan kepada rakyatnya sendiri saja sulit pada waktu itu, apalagi memberi makan kepada bangsa lain,” kata Hoegeng.
Baca juga: Pengungsi Rohingya Kembali Datang, 137 Orang Masuk ke Aceh Timur
Dengan pertimbangan itu, saat kapal-kapal layar mereka berbondong-bondong masuk ke wilayah perairan Indonesia, Hoegeng pun segera menggusah (mengusir) mereka kembali ke lautan bebas.
”Hoegeng mengantar kapal mereka sampai ke luar perbatasan Indonesia agar bisa menuju negara lain. Apakah itu berarti Hoegeng anti-China?” tanya Hoegeng lagi kepada Presiden Soekarno, seperti dikutip dari halaman 15-17, buku karya Suhartono, Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan (Penerbit Buku Kompas, 2013, halaman 57-59), yang diterbitkan ulang pada 2021 dalam edisi revisi dengan judul dan penerbit yang sama.
Presiden Soekarno pun akhirnya yakin dengan penjelasannya. Hoegeng kemudian tak lagi dituduh anti-China, dan pulang meninggalkan Istana menuju kantornya kembali, yang saat itu berada di Jalan Teuku Umar. Meski diadukan sesuatu yang tidak benar, Hoegeng tidak memiliki rasa benci dan kemarahan kepada Oei Tjoe Tat yang dinilai salah menangkap kebijakannya menghalau imigran gelap saat itu.
Memberi makan kepada rakyatnya sendiri saja sulit pada waktu itu, apalagi memberi makan kepada bangsa lain.
Konteks masa kini
Dengan refleksi kisah Hoegeng menggusah imigran Indo-China pada waktu itu, apa yang kini tengah dilakukan Pemerintah Indonesia seperti dikutip dalam berita ”Kewenangan Institusi: Terus Mengalir, Pengungsi Rohingnya Diusulkan Dihalau di Laut” (Kompas.id, 22/3/2024), mungkinkah dapat diterapkan?
Dalam berita tersebut, pemerintah akan merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri. Salah satu usulan sebagaimana dikutip dari sumber Kompas di berita tersebut, pengungsi akan dihalau di tengah laut, selain akan diatur pula upaya-upaya diplomasi yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menekan negara asal pengungsi sehingga masalah ini tak berkepanjangan.
Dari informasi yang dihimpun Kompas, hal lain yang bakal diatur dalam revisi perpres itu ialah instansi mana yang nantinya akan ditunjuk untuk menghalau pengungsi dari luar negeri agar tidak asal masuk ke wilayah Indonesia.
”Hal lain yang bakal diatur dalam revisi perpres itu ialah instansi mana yang nantinya akan ditunjuk untuk menghalau pengungsi dari luar negeri agar tidak asal masuk ke wilayah Indonesia. Sebab, ketika pengungsi sudah masuk ke Indonesia dan berada di daratan, konteksnya menjadi kemanusiaan. Jadi, harus ada institusi di laut yang menghalau itu,” kata sumber tersebut.
Sementara itu, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Silmy Karim, saat ditemui di Gedung Kompas Gramedia, Jumat (22/3/2024), mengatakan, Perpres Nomor 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri harus direvisi. Menurut dia, penanganan masalah pengungsi dari luar negeri yang diatur dalam perpres tersebut masih belum terlalu efektif.
”Memang ada rencana direvisi. Kan, kalau di dalam perpres itu, yang menangani itu pemerintah daerah. Nah, itu, kan, tidak realistis dari sisi pembiayaan, fasilitas, dan lain-lain. Makanya, (Perpres No 125/2016) itu prioritas direvisi,” ujar Silmy.
Dilihat juga, institusi mana yang sudah memiliki infrastruktur dalam menangani masalah tersebut. Kalau pemerintah daerah, kan, enggak mungkin karena beban anggaran dan lain-lain. Kalau Kementerian Luar Negeri juga tidak punya anggota di daerah.
Direktorat Jenderal Imigrasi, lanjut Silmy, sudah memberikan masukan mengenai materi revisi itu. Salah satunya, perlu ada ketegasan institusi yang menangani pengungsi dari luar negeri. ”Dilihat juga, institusi mana yang sudah memiliki infrastruktur dalam menangani masalah tersebut. Kalau pemerintah daerah, kan, enggak mungkin karena beban anggaran dan lain-lain. Kalau Kementerian Luar Negeri juga tidak punya anggota di daerah,” tutur Silmy, tanpa mau merinci masukan Ditjen Imigrasi seperti apa.
Sebab, ketika pengungsi sudah masuk ke Indonesia dan berada di daratan, konteksnya menjadi kemanusiaan. Jadi, harus ada institusi di laut yang menghalau itu.
Baca juga: Sampai Kapan Aceh Menampung Rohingya?
Gelombang kedatangan pengungsi
Rohingya merupakan salah satu etnik di Myanmar. Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah Indonesia semakin sering menjadi tujuan pengungsian warga Rohingya yang datang menggunakan perahu. Krisis politik dan etnik di Myanmar menyebabkan masalah Rohingya menjadi isu kawasan setelah hampir satu juta warga Rohingya sejak 2017 meninggalkan Negara Bagian Rakhine akibat aksi kekerasan militer Myanmar.
Hingga kini, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi masalah pengungsi, yaitu Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), memperkirakan, hingga pertengahan 2023, terdapat sekitar 1,29 juta jiwa pengungsi dari Myanmar yang tersebar di banyak negara (Kompas.id, 11/12/2023).
Baca juga: Rohingya, Narasi Penolakan, dan Tanggung Jawab RI-ASEAN
Sejak pertengahan November 2023, gelombang pengungsi etnik Rohingya, Myanmar, memang terus mendarat di Indonesia, tak habis-habisnya. Gelombang pertama tiba pada 14 November 2023. Ketika itu sedikitnya 196 imigran Rohingya mendarat di pesisir Desa Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh.
Hingga 10 Desember 2023, tercatat ada sembilan gelombang kedatangan para pengungsi Rohingya yang membawa sekitar 1.600 orang. Mereka semua terdampar di Provinsi Aceh yang tersebar di Kota Sabang, Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe.
Kabar terbaru, Rabu (20/3/2024), kapal pengangkut pengungsi Rohingya tenggelam di perairan Aceh Barat. Kapal itu mengangkut 142 pengungsi Rohingya. Peristiwa ini terungkap berkat laporan nelayan yang menyelamatkan enam korban. Hingga Kamis (21/3/2024) malam, sebanyak 75 orang telah diselamatkan oleh nelayan dan Basarnas.
Sebagai negara Pancasila, sila kedua kemanusiaan menjadi dasar langkah pemerintah. Namun, di sisi lain, tak sedikit yang menolak kedatangan para pengungsi. Pasalnya, para pengungsi dapat menambah beban ekonomi dan menimbulkan konflik sosial bagi masyarakat sekitar.
Selama ini, gelombang kedatangan para pengungsi dalam waktu singkat dengan jumlah besar ini berujung pada berbagai pendapat dari sejumlah kalangan masyarakat. Sebagian kalangan menginginkan Pemerintah Indonesia menampung para pengungsi karena alasan kemanusiaan.
Sebagai negara Pancasila, sila kedua kemanusiaan menjadi dasar langkah pemerintah. Namun, di sisi lain, tak sedikit yang menolak kedatangan para pengungsi. Pasalnya, para pengungsi dapat menambah beban ekonomi dan menimbulkan konflik sosial bagi masyarakat sekitar.
Selama ini, pengungsi yang banyak mendarat melalui perairan di Aceh menjadi beban Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, misalnya, kerap memberikan bantuan masa darurat kepada pengungsi Rohingya berupa pakaian, obat-obatan, dan makanan.
Belakangan ini, penanganan pengungsi dari Rohingya menimbulkan masalah. Pemerintah tingkat kabupaten kota, provinsi, dan pusat pun saling lempar tanggung jawab ketika dihadapkan pada kasus pengungsi Rohingya yang terus berdatangan di wilayah Indonesia. Tak heran jika Pemerintah berencana merevisi Perpres Nomor 125 Tahun 2016.
Pengungsi dari Luar Negeri
Menanggapi peningkatan arus pengungsi Rohingya yang masuk ke Indonesia, pada Desember 2023, Presiden Joko Widodo menyampaikan, pemerintah akan terus mengutamakan kepentingan masyarakat setempat dalam menangani pengungsi. Bantuan kemanusiaan sementara kepada pengungsi akan diberikan, dengan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat lokal.
Presiden Jokowi menilai, fenomena bertambahnya pengungsi Rohingya ke Indonesia diduga kuat karena adanya keterlibatan jaringan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), terutama di Provinsi Aceh. Karena itu, ia menekankan, untuk menangani hal tersebut, pemerintah akan terus meningkatkan koordinasi dan kolaborasi dengan sejumlah pihak, salah satunya organisasi internasional.
Bantuan kemanusiaan sementara kepada pengungsi akan diberikan, dengan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat lokal.
Tentu kini, bukan hanya semata-semata persoalan anggaran negara yang tengah cekak, melainkan buntut persoalan yang ditimbulkan jika pemerintah harus menampung ribuan pengungsi Rohingya dan negara lain tanpa mampu memulangkan ke negara asalnya, atau ke negara lain yang bersedia menampung. Selain masalah ekonomi, politik, hukum, dan keamanan, tentu juga masalah sosial di wilayah yang akan dijadikan tempat penampungan ribuan pengungsi asal Rohingya dan negara lainnya.
Pemerintah Daerah Aceh, misalnya, tentu sudah kewalahan meski ada sebagian warga dan tokoh di Jakarta yang menolak langkah pemerintah pusat dan daerah jika tidak menerima dan menampung para pengungsi yang jumlahnya semakin membengkak itu. Apalagi, jika terbukti adanya sindikat perdagangan orang yang memanfaatkan, dan pihak lain ikut campur dan mengambil keuntungan dengan adanya persoalan di sejumlah negara dengan berbagai cara ”mengirim” pengungsi ke Indonesia dan negara lainnya.
Membaca berita soal pengungsi Rohingya, langkah pemerintah merevisi Pepres No 125/2016, yang salah satu usulannya mengenai institusi mana yang memiliki kewenangan untuk menghalau kapal-kapal pengungsi gelap jika ingin masuk, tentu harus dibahas secara komprehensif. Sebab, jika akan ada usulan menggusah pengungsi di lautan bebas, artinya mengubah substansi dari perpres tersebut.
Substansi dari perpres tersebut sebenarnya justru Pemerintah Indonesia ingin menolong sementara sebelum mereka dikembalikan lagi ke negara asal atau negara lain yang siap menampungnya.
Substansi dari perpres tersebut sebenarnya justru Pemerintah Indonesia ingin menolong sementara sebelum mereka dikembalikan lagi ke negara asal atau negara lain yang siap menampungnya. Pasal 5 UU No 15/2016 menyebutkan, ”Penemuan pengungsi” dalam keadaan darurat di perairan wilayah Indonesia dikoordinasikan dan dilaksanakan oleh lembaga yang menyelesaikan urusan di bidang pencarian dan pertolongan.
Baca juga: Pengungsi Rohingya di Antara Kewajiban Kemanusiaan dan Hukum
Pasal selanjutnya, lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pencarian dan pertolongan melaksanakan operasi pencarian dan pertolongan terhadap kapal yang diduga berisi pengungsi yang melakukan panggilan darurat. Bahkan, selanjutnya, diatur soal operasi pencarian dan pertolongan yang melibatkan instansi terkait, meliputi TNI, Polri, kementeri terkait di bidang perhubungan dan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keamanan dan keselamatan laut, atau yang disebut dengan nama badan keamanan atau kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait lainnya yang melaksanakan tugas di perairan wilayah Indonesia.
Kini, jika ingin merujuk kisah Hoegeng menggusahpengungsi Indo-China pada tahun 1960-an itu, tentu bukan Ditjen Imigrasi Kemenkumham, seperti pernah dilakukan Hoegeng yang memimpin penggusahan kapal-kapal pengungsi Indo-China dulu. Seperti kita tahu, aparat yang memiliki kewenangan di laut dan memiliki armada adalah Badan Keamanan Laut (Bakamla), Direktorat Polisi Air Mabes Polri, dan TNI Angkatan Laut.
Apakah lembaga-lembaga ini yang nantinya akan diputuskan melakukan penghalauan di tengah laut Indonesia? Ataukah, justru sebaliknya, usulan tersebut kandas di tengah jalan karena pertimbangan kemanusiaan yang tinggi di negeri Pancasila ini?
Masalah pengungsi tentu tidak harus menjadi beban Pemerintah Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional melalui lembaga PBB, UNHCR. Yang pailng utama sebenarnya masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu di negeri asal para pengungsi agar warganya nyaman dan tenteram tinggal di tanah airnya sendiri.