Parakitri T Simbolon, Wartawan Pemikir Kebangsaan Itu Telah Berpulang
Sebagai guru jurnalistik, Parakitri mengajar untuk membangkitkan nalar kritis murid-muridnya.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Redaktur Senior Harian KompasParakitri T Simbolon berpulang pada Minggu (24/3/2024). Ia disemayamkan di Rumah Duka Rumah Sakit Carolus, Jakarta, Selasa (26/3/2024), sebelum dikremasi di krematorium rumah sakit tersebut pada hari yang sama. Tak hanya dikenal sebagai wartawan, Parakitri juga dikenal sebagai pemikir keindonesiaan.
Gagasan keindonesiaan yang dikemukakan Parakitri T Simbolon mewujud dalam buku berjudul Menjadi Indonesia yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada tahun 1995. Rektor Universitas Multimedia Nusantara, yang juga wartawan senior harian Kompas, Ninok Leksono, mengatakan, buku itu merupakan salah satu dari proyek penulisan tentang Indonesia yang digagas Kompas pada pertengahan tahun 1990-an. Kompas membentuk tim khusus untuk menuliskan perjalanan Indonesia sejak masih berbentuk Nusantara hingga merumuskan nasionalisme sebagai bangsa Indonesia, masa Orde Baru, hingga gambaran masa depan.
Tim khusus itu dipimpin oleh P Swantoro, pendiri Kompas Gramedia yang juga seorang sejarawan, dan terdiri dari Parakitri, Ninok Leksono, serta Daniel Dhakidae, ilmuwan sosial yang juga menjabat sebagai Kepala Litbang Kompas era 1990-an. Dari ketiga anggota tim itu, Parakitri mendapatkan tugas untuk menuliskan sejarah Nusantara dan proses menjadi Indonesia. Daniel soal Indonesia di masa Orde Baru. Sementara Ninok bertugas menuliskan analisis soal Indonesia di masa depan.
”Di bawah pimpinan almarhum Pak Swantoro, saya, almarhum Mas Daniel Dhakidae, dan Mas PTS (Parakitri T Simbolon) setiap Kamis rapat, sekali waktu juga ’nyepi’ di Puncak,” kata Ninok saat dihubungi dari Jakarta, Senin (25/3/2024).
Meski demikian, hanya Parakitri yang akhirnya menyelesaikan proyek tersebut. Proyek dimaksud berbuah karya Parakitri yang berjudul Menjadi Indonesia, buku yang menjadi referensi penting bagi ilmu sosial di Indonesia. Saat diterbitkan, buku itu dibedah oleh Juru Bicara Presiden periode 1999-2001 Wimar Witoelar dan siswi SMA Tarakanita Jakarta yang juga putri Ninok, Fitri Armalivia, di Bentara Budaya Jakarta.
Menurut Ninok, Parakitri merupakan sosok yang cerdas. Kecerdasannya tidak jarang membuat orang lain minder saat berhadapan dengannya. ”Tidak banyak orang yang cukup PD (percaya diri) untuk berdialog dengan beliau,” tutur Ninok.
Nalar kritis
Wartawan senior harian Kompas, Maria Hartiningsih, mengenal Parakitri sebagai wartawan yang memberikan pelatihan jurnalistik kepadanya dan teman-teman satu angkatannya ketika bergabung di harian Kompas pada 1984. Sebagai guru, Parakitri mengajar untuk membangkitkan nalar kritis murid-muridnya. Caranya, dengan memprovokasi para murid sampai ada salah satu yang melawan gagasannya.
”Setelah pelatihan itu, saya selalu bertanya kepadanya. Meski dalam banyak hal, dia lebih banyak membuat kita berpikir,” ucap Maria.
Menurut dia, hal itu tidak terlepas dari cara pikir Parakitri yang sangat kritis, tidak terkecuali soal kebangsaan. Parakitri tidak menerjemahkan kebangsaan Indonesia, seperti nasionalisme Barat yang menekankan cita-cita ideologis. Menurut Parakitri, kata Maria, kebangsaan Indonesia merupakan proses panjang sejak awal Nusantara hingga menjelang Perang Pasifik.
Kebangsaan juga dipahami sebagai proses yang menghasilkan keseimbangan hubungan antara masyarakat dan negara yang mewujud dalam tradisi, pranata, atau lembaga yang menjadi aturan main, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara. ”Maka, kebangsaan, menurut Parakitri, bukanlah nationalism, melainkan nationhood yang lebih menekankan pada tantangan dan hasil yang sudah dicapai,” tutur Maria.
Tak hanya itu, Parakitri juga memiliki pandangan penting soal rakyat. Menurut dia, Indonesia merupakan negeri tanpa rakyat. Kata rakyat pun merupakan serapan dari bahasa lain. ”Yang ada adalah elite, dan kepentingan elite yang mengatasnamakan rakyat,” kata Maria.
Bagi Maria, Parakitri merupakan guru terbaik yang memberikan pengaruh penting bagi dirinya. Itu merupakan salah satu faktor yang membentuk diri dan karier jurnalistiknya selama ini. ”Pengaruh pemikirannya pada saya adalah saya menjadi sangat kritis. Tidak begitu saja menerima berbagai definisi ideologi besar, seperti pembangunan, termasuk pembangunan berkelanjutan, demokrasi, dan lain-lain,” kata penerima Yap Thiam Hien Award 2003 itu.
Kini, Parakitri telah meninggalkan dunia. Namun, gagasan kebangsaan dan kebiasaan bernalar kritisnya menjadi teladan abadi. Selamat jalan....