Gugatan Sengketa Hasil Pemilu 2024 Lebih Banyak daripada Pemilu 2019
Problem terkait pemilu yang tidak diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi diyakini lebih besar.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah permohonan sengketa hasil Pemilu 2024 ke Mahkamah Konstitusi atau MK diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan Pemilu 2019. Problem terkait pemilu diyakini lebih besar dari yang sudah diadukan peserta pemilu ke MK.
MK telah menutup pendaftaran permohonan sengketa hasil pemilu pada Sabtu (23/3/2024) malam. Berdasarkan data sementara dari MK, hingga pukul 13.26, Minggu (24/3/2024), tercatat sedikitnya 258 permohonan perkara perselisihan hasil pemilu. Sebanyak 247 permohonan sengketa hasil pemilihan anggota DPR/DPRD, 9 permohonan sengketa hasil pemilihan anggota DPD, dan 2 permohonan sengketa pemilihan presiden (pilpres).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Namun, menurut Ketua MK Suhartoyo, di Gedung MK, Minggu, jumlah permohonan ini masih bisa bertambah karena kelak permohonan dari caleg perorangan yang masih tergabung dengan partai politik (parpol) bakal dipisah. Jika sudah dipisah, jumlah total bisa sekitar 280 permohonan.
Ditambah lagi, biasanya masih ada pemohon yang terlambat mendaftarkan berkas perkaranya, seperti yang terjadi pula di pemilu sebelumnya. Dalam konteks tersebut, MK tidak bisa menolak pemohon yang mengajukan perkara. ”Ya, kami enggak bisa menolak perkara, memang harus kami terima. Cuma nanti akan diputus oleh rapat hakim bagaimana terkait permohonan yang sudah lewat waktu, ada syarat formal yang akan dipertimbangkan,” katanya.
Dengan jumlah mencapai sekitar 280 permohonan, Suhartoyo melanjutkan, artinya jumlah permohonan sengketa hasil Pemilu 2024 bisa lebih tinggi dibandingkan dengan Pemilu 2019. Pada 2019, jumlah permohonan 261 buah.
Berdasarkan data dari MK, pada Pemilu 2019, dari jumlah perkara sengketa hasil pemilu legislatif sebanyak 261 buah tersebut, hanya 13 di antaranya yang dikabulkan. Kondisi mirip terjadi pada Pemilu 2014. Saat itu, jumlah perkara mencapai 296 perkara, tetapi yang dikabulkan hanya 1 perkara.
Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menuturkan, kenaikan jumlah penggugat dipandang wajar karena peserta Pemilu 2024 lebih banyak daripada pemilu sebelumnya. Ini terlihat dari terdapatnya 3 pasangan calon peserta pilpres, 18 parpol nasional, dan 6 partai politik lokal. Di Pemilu 2019 hanya terdapat 2 pasangan calon, 16 parpol nasional, dan 4 partai lokal.
Angka yang masuk ke MK, sangat mungkin merupakan puncak gunung es dari banyaknya masalah hukum pemilu.
”Kedua, Pemilu 2024 terdapat lebih banyak kursi dan daerah pemilihan yang menjadi arena kontestasi, baik untuk DPD, DPR, maupun DPRD. Jumlah provinsi kini bertambah 4 menjadi 38, kursi DPR naik dari 575 menjadi 580, dan dapil nasional dari 80 menjadi 84. Di daerah juga terjadi hal yang sama sebagai konsekuensi pertambahan jumlah penduduk,” katanya.
Selain itu, kenaikan jumlah permohonan bisa dipicu oleh banyaknya problem teknis, khususnya dalam penghitungan dan rekapitulasi suara. Ini memicu ketidakpuasan terkait penetapan hasil perolehan suara.
Puncak gunung es
Menurut Titi, Pemilu 2024 memang menjadi pemilu dengan pelaksanaan teknis yang paling bermasalah sejak pemilu pascareformasi. Kondisi ini diperburuk dengan problem kredibilitas penyelenggara pemilunya.
Oleh karena itu, ia meyakini masih banyak persoalan yang dihadapi peserta pemilu, tetapi tak diajukan gugatan ke MK. ”Jadi, angka yang masuk ke MK, sangat mungkin merupakan puncak gunung es dari banyaknya masalah hukum pemilu. Sangat mungkin perkara lebih banyak dari itu karena ada partai yang melarang calegnya bersengketa di MK,” ucapnya.
Selain karena pertimbangan alat bukti, sengketa antar-caleg dalam satu partai umumnya diselesaikan lewat mahkamah partai. Hal tersebut perlu diwaspadai karena tidak transparan dan akuntabel. Di sisi lain, caleg yang ingin mengajukan sengketa secara mandiri harus mengantongi surat rekomendasi ketua umum dan sekjen partai.