Dua Sisi Politik Merangkul Prabowo Subianto
Konsolidasi politik penting. Namun, jika kebablasan, ini akan berujung pada politik kartel yang justru merugikan rakyat.
Kontestasi Pemilihan Presiden 2024 belum usai. Dua pasangan calon presiden-wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud MD serta Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar masih memperkarakan keputusan Komisi Pemilihan Umum, yang menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peraih suara terbanyak di pemilihan presiden, ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, kubu Prabowo-Gibran tampaknya tak terlalu risau. Berbagai upaya untuk mengonsolidasikan kekuatan politik langsung dirintis. Stabilitas jalannya pemerintahan ke depan jadi target. Terlebih banyak program yang ingin diwujudkan di tengah tantangan bangsa yang kian berat.
Tak mudahnya tantangan yang dihadapi bangsa ke depan dituturkan sejumlah pengusaha di sela diskusi Kompas Collaboration Forum bertema ”Arah dan Mesin Kebijakan Ekonomi Pembangunan 2025-2029” di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Jumat (22/3/2024).
Tantangan dimaksud, misalnya, adalah stagnasi pertumbuhan ekonomi, investasi yang belum efisien, hingga ketimpangan sosial dan ekonomi.
Baca juga: Akhir Penantian Prabowo Subianto
”Tantangan ke depan sedemikian berat. Kita punya pasar dan sumber daya yang besar. Namun, jika semua itu tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, saya kira cita-cita kita untuk meningkatkan perekonomian Indonesia dan menyejahterakan bangsa ini sulit tercapai,” ujar Komisaris Utama PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk Anton J Supit.
Selain Anton, hadir pula para pemimpin perusahaan anggota Kompas Collaboration Forum.
Merangkul semua elemen
Memahami beratnya tantangan yang dihadapi, Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, yang juga hadir saat diskusi, menekankan salah satunya soal pentingnya stabilitas politik.
Stabilitas politik tak hanya penting agar pemerintah bisa mengatasi setiap tantangan yang ada, tetapi juga agar program-program Prabowo-Gibran yang memfokuskan pada keberlanjutan program pemerintahan Joko Widodo bisa diwujudkan.
”Tanpa stabilitas, keberlanjutan itu tidak ada,” ucapnya.
Baca juga: PDI-P Berpeluang Kuasai Kembali Kursi Ketua DPR, Golkar Pantang Menyerah
Tak heran jika kemudian kubu Prabowo-Gibran mulai gencar mendekati partai politik (parpol) di kubu lawan, baik parpol pengusung Anies-Muhaimin maupun parpol pengusung Ganjar-Mahfud. Jumat lalu, Prabowo bahkan bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Nasdem Tower, Jakarta. Nasdem merupakan salah satu parpol pengusung Anies-Muhaimin, selain Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera.
Dalam pertemuan, Prabowo mengakui menawari Paloh untuk bergabung dengan pemerintah selanjutnya. Paloh pun menegaskan, kemungkinan bergabung itu ada.
Burhanuddin mengungkapkan, Prabowo memang tengah mencoba mengakomodasi semua kepentingan. Ini bertujuan agar semua pihak bisa turut bersama-sama membangun bangsa. Kesepakatan pun tidak bisa serta-merta hanya dimaknai bersama-sama dalam pemerintahan, tetapi juga bisa dari luar pemerintahan.
”Saya kira, pemaknaan dari demokrasi itu boleh berbeda-beda. Ada orang yang mengatakan pentingnya oposisi supaya ada check and balances. Tetapi, ada juga orang yang mengatakan tidak perlu seperti itu. Check and balances bisa dengan cara lain, misalnya boleh menyampaikan pendapat atau kritik, tetapi tidak usah sampai demo-demo,” tuturnya.
Baca juga: Prabowo: Kami Akan Merangkul Semua Unsur
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman dalam kesempatan terpisah juga mengatakan pertemuan Prabowo dan Surya Paloh bagian dari implementasi politik merangkul yang telah disampaikan Prabowo sejak hitung cepat sejumlah lembaga menyatakan keunggulannya di pilpres 14 Februari lalu.
”Yang terpenting kita harus rukun. Pertengkaran yang berlarut-larut dipastikan tidak akan produktif. Padahal, kan, persoalan-persoalan besar sedang terjadi dan menanti di depan kita,” ujarnya.
Habiburokhman menilai, saat ini tahapan Pilpres 2024 telah hampir rampung. Sisanya hanya tinggal menunggu proses sengketa di MK. Prabowo juga tak ingin membuang waktu. Karena itu, ia langsung menemui elite parpol kubu lain.
”Pak Prabowo enggak mau buang-buang waktu bahwasanya kita harus gerak cepat merangkul semua elemen bangsa ini. Nanti mulai Oktober sudah mulai langsung gaspol,” katanya.
Baca juga: Menang Pileg, tetapi Kalah di Pilpres, Mungkinkah PDI-P Kembali Oposisi?
Bahkan, tidak hanya Nasdem yang didekati. Ada sinyal yang kuat pula Prabowo akan bertemu dengan pimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), salah satu partai pengusung Ganjar-Mahfud, selain PDI-P. Hal ini diakui oleh elite PPP. Komunikasi informal antarpetinggi partai memang telah terjalin dan PPP hanya tinggal menunggu undangan pertemuan.
”Kita boleh bersaing, boleh berkontestasi, tetapi tidak boleh ada dendam di antara kita. Setelah pemilu selesai, semua berkawan. Semua membangun NKRI untuk kemajuan bangsa,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP Achmad Baidowi.
Ikhtiar kubu Prabowo-Gibran merangkul kekuatan politik lain tak lepas pula dari konfigurasi penguasaan kursi di parlemen yang diperkirakan tak dikuasai parpol pengusungnya.
Gabungan kursi di DPR milik Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo-Gibran (Gerindra, Golkar, Demokrat, dan Partai Amanat Nasional) diperkirakan hanya 280 kursi. Sementara 300 kursi DPR diperkirakan dikuasai kubu parpol yang pada pilpres lalu jadi lawan politik Prabowo-Gibran (PDI-P, Nasdem, PKB, dan PKS).
Baca juga: Setelah Bertemu Prabowo, ke Mana Surya Paloh Akan Membawa Nasdem?
Meski demikian, langkah konsolidasi politik kubu Prabowo-Gibran dikritisi oleh peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor. Ia melihat langkah konsolidasi politik bukan demi bangsa, melainkan semata untuk langgengnya kekuasaan.
Ia merujuk kembali momentum ketika Jokowi merangkul Prabowo, lawan politiknya di Pilpres 2019, untuk masuk barisan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Langkah Jokowi ini semakin memperbesar kekuatan koalisi pemerintahan di parlemen.
Implikasinya, apa pun ”order” dari Istana, termasuk rancangan undang-undang (RUU) dari pemerintah, meski menuai penolakan publik, akan tetap mulus pembahasannya di parlemen. Ini seperti persetujuan pengesahan RUU Ibu Kota Negara hingga RUU Cipta Kerja.
”Jadi, kalau kita baca sejarah, itu mengkhawatirkan. Karena ini berarti berpotensi melancarkan semua manuver dan keinginan politik penguasa saja. Jadi, ini lebih terlihat merangkul kekuatan lawan untuk digunakan energinya, untuk memastikan kelancaran langkah-langkah politiknya,” ucap Firman.
Baca juga: Hasil Pemilu 2024 dan Perubahan Peta Kekuatan Politik di Parlemen
Padahal, dalam format demokrasi, hal yang lumrah jika pemenang menjadi penguasa, sedangkan yang kalah berada di luar pemerintahan. Hal tersebut malah dibutuhkan oleh negara.
Sebab, yang terpenting adalah adanya saling kontrol (check and balances) dalam sebuah proses pembuatan kebijakan, bukan membentuk semacam politik kartel (Katz dan Mair, 1995).
”Jadi, kalau semua nimbrung, semua ikut mendapatkan bagian dan peran, maka terkumpullah satu kekuatan politik yang eksklusif sebetulnya, yang tidak terkritisi. Sayangnya juga, mental dan komitmen demokrasi parpol masih belum kuat sehingga mereka suka juga dirangkul. Jadi, bisa dipastikan, ini bukan demi kepentingan bangsa, ini demi kepentingan efektivitas kekuasaan,” kata Firman.