Hasil Pemilu 2024 dan Perubahan Peta Kekuatan Politik di Parlemen
Imbangnya kekuatan politik di parlemen hasil Pemilu 2024 merupakan modal untuk memperbaiki demokrasi Indonesia.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
Perolehan suara hasil Pemilu 2024 mengubah peta kekuatan politik di parlemen yang selama lima tahun terakhir dikuasai partai koalisi pemerintahan. Alih-alih didominasi oleh partai pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pemenang Pemilihan Presiden 2024, saat ini kekuatan gabungan partai politik rival mereka mampu mengimbangi, bahkan sedikit lebih kuat. Jika konstelasi ini bertahan hingga 2029, demokratisasi Indonesia yang belakangan dikabarkan mundur berpeluang untuk kembali berjalan sesuai dengan harapan.
Berdasarkan rekapitulasi suara hasil Pemilu 2024 yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Rabu (20/3/2024) malam, ada delapan partai politik yang bakal melenggang ke Senayan, tempat anggota DPR berkantor, berkat perolehan suara yang melewati ambang batas parlemen, yakni 4 persen dari total suara sah nasional. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen. Hanya parpol yang melewati ambang batas tersebut yang akan diikutkan dalam penghitungan kursi DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Parpol yang lolos ambang batas pada Pemilu 2024 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang meraih 25.387.279 atau 16,72 persen dari total 151.796.631 suara sah nasional, Partai Golkar dengan 23.208.654 suara sah (15,28 persen), dan Partai Gerindra dengan raihan 20.071.708 suara sah (13,22 persen).
Selain ketiga parpol itu, ada pula Partai Kebangkitan Bangsa yang meraih 16.115.665 suara sah (10,61 persen), Partai Nasdem dengan 14.660.516 suara sah (9,66 persen), dan Partai Keadilan Sejahtera yang meraih 12.781.353 suara sah (8,42 persen). Menyusul di dua posisi terakhir ada Partai Demokrat dengan raihan 11.283.160 suara sah (7,43 persen) dan Partai Amanat Nasional yang memperoleh 10.984.003 (7,24 persen).
Dari kedelapan parpol tersebut, empat di antaranya merupakan pengusung pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang memenangi Pemilihan Presiden 2024. Mulai dari Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PAN. Jika diakumulasi, perolehan suara keempat parpol tersebut sebesar 43,17 persen, yang akan dikonversikan menjadi perolehan kursi di DPR. Pada periode 2024-2029, terdapat 580 kursi di parlemen.
Di luar Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN, empat parpol lain merupakan pengusung dua pasangan kandidat rival Prabowo-Gibran. PDI-P merupakan pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Sementara Nasdem, PKB, dan PKS mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Meski belum dikonversikan ke jumlah kursi yang akan didapatkan, akumulasi perolehan suara parpol-parpol tersebut sedikit lebih tinggi ketimbang para pengusung Prabowo-Gibran, yakni 45,41 persen.
Dengan proporsi tersebut, kekuatan politik pendukung pemerintahan baru relatif imbang dengan kekuatan yang berpotensi untuk berada di luar pemerintahan. Meski para elite pengusung Prabowo, terutama dari Gerindra, mengaku terus berupaya mengajak keempat parpol lain untuk bergabung ke pemerintahan nanti, hingga saat ini belum ada keputusan yang dibuat. PDI-P, Nasdem, PKB, dan PKS berpotensi menjadi oposisi pemerintah.
Konstelasi politik di parlemen itu berbeda dengan hasil Pemilu 2019. Pada periode pemerintahan 2019-2024, koalisi parpol pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mendominasi parlemen. Selama sekitar empat tahun, tujuh dari sembilan parpol pendukung pemerintah menguasai 471 dari total 575 kursi di DPR. Kekuatan itu bertambah setelah Demokrat bergabung beberapa pekan lalu sehingga penguasaan kursi di lembaga legislatif itu mencapai 525 kursi.
Dominasi parpol pendukung pemerintah menjadikan jalannya pemerintahan tanpa aral yang berarti dari parlemen. Namun, di sisi lain, mekanisme kontrol (checks and balances) menjadi tergerus. Sejumlah rancangan undang-undang yang menuai kritik publik, misalnya, tetap bisa disahkan. Contohnya, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan yang terbaru rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta.
Tak optimalnya fungsi parlemen ini turut menggerus kualitas demokrasi Indonesia. Mengutip laporan V-Dem Democracy Index 2024, indeks demokrasi Indonesia menurun dari 0,43 pada 2022 jadi 0,36 pada 2023. Bersamaan dengan itu, peringkat Indonesia turun dari peringkat ke-79 menjadi ke-87, di bawah Papua Niugini dan Timor Leste. Penurunan indeks demokrasi bahkan terlihat sepanjang era pemerintahan Presiden Jokowi. Pada 2014, indeks demokrasi masih berada di angka 0,52.
Idealnya menjadi oposisi
Ketua DPP PDI-P Komarudin Watubun mengatakan, untuk menjaga mekanisme kontrol dan demokrasi secara umum, idealnya partainya berada di luar pemerintahan. Semua pihak sudah bersepakat bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Esensi demokrasi ialah harus ada kontrol satu sama lain.
”Jadi, lebih baik kalau PDI-P ada di luar (pemerintahan), dalam posisi mengontrol pemerintah yang berkuasa. Apalagi, kalau kami pegang ketua DPR, ya, bagus. Ketua DPR itu menjadi alat kontrol yang efektif bagi presiden. Kan, itu yang sebenarnya diharapkan rakyat,” ujarnya di Jakarta, Rabu.
Indonesia ke depan yang lebih baik, menurut dia, harus penuh dengan saling koreksi sehingga semua pihak semakin dewasa dalam berdemokrasi. Karena itu, tidak boleh ada pihak yang merasa alergi jika ada parpol yang memilih berada di luar pemerintahan. Selain itu, langkah menjadi oposisi juga merupakan pilihan tepat sebagai konsekuensi dari kekalahan capres-cawapres yang diusung PDI-P, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, di Pilpres 2024.
Jadi, lebih baik kalau PDI-P ada di luar (pemerintahan), dalam posisi mengontrol pemerintah yang berkuasa. Apalagi, kalau kami pegang ketua DPR, ya, bagus. Ketua DPR itu menjadi alat kontrol yang efektif bagi presiden. Kan, itu yang sebenarnya diharapkan rakyat. (Komarudin Watubun)
Sementara itu, kubu Prabowo-Gibran terus berupaya mengajak parpol di kubu lawan pada Pilpres 2024 untuk bergabung. Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, pendekatan terus dilakukan ke semua partai.
”Nanti kita akan terus membangun koalisi besar dengan berbagai macam partai politik yang ada di Senayan dan komunikasi itu sekarang sudah berlangsung. Komunikasi sedang berlangsung dan hasilnya positif,” ujarnya.
Peluang perbaikan
Pengajar Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, melihat, imbangnya kekuatan politik di parlemen hasil Pemilu 2024 merupakan modal untuk memperbaiki demokrasi Indonesia. Sebab, penyelenggaraan Pilpres 2024 yang memunculkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang dipersepsikan banyak pihak bakal mengancam keberlangsungan demokrasi. Selain dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan pilpres, berbagai proses nondemokratik juga mengiringi pencalonan pasangan tersebut.
Oleh karena itu, dibutuhkan kekuatan alternatif di parlemen untuk bisa mengimbangi penguasa. Hal itu hanya bisa dilakukan jika PDI-P, Nasdem, PKB, dan PKS mengambil sikap untuk berada di luar pemerintahan. ”Kalau mereka konsisten sebagai oposisi, ini akan bisa membangun keseimbangan politik, setidaknya bisa mengawal dan menjaga demokrasi yang sekarang ada meskipun dalam level yang relatif minimalis, demokrasi prosedural,” kata Airlangga.
Lebih dari itu, pendapat berbeda dari oposisi yang kuat juga bisa mendesak pemerintah untuk selalu membuat program yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Hal itu yang selama periode 2019-2024 relatif tidak terlihat karena pemerintah dan DPR cenderung selalu satu suara. ”Desakan politik atau pendapat berbeda dari kalangan oposisi tentu akan memberikan tekanan kepada pemerintah atau kekuasaan untuk tetap berjalan di dalam agenda demokrasi,” ujar Airlangga.
Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa tidak mudah bagi parpol-parpol di Indonesia untuk mengambil posisi di luar pemerintahan. Struktur ekonomi politik dari penyelenggaraan demokrasi Indonesia menawarkan lebih banyak insentif atau keuntungan ekonomi politik bagi parpol-parpol jika mereka berada di lingkar kekuasaan. Sebaliknya, hampir tidak ada insentif politik atau kekuasaan yang bisa didapatkan oleh mereka yang menjadi oposisi. Hal itu ditengarai menjadi penyebab keengganan parpol-parpol berada di luar pemerintahan selama ini.
Padahal, tambahnya, parpol-parpol juga bisa mendapatkan keuntungan lain dengan berada di luar pemerintahan untuk mengawal kepentingan rakyat. Keuntungan dimaksud tidak lain adalah legitimasi dan kepercayaan dari publik. Kedua hal itu tentu akan menjadi modal besar untuk mendapatkan dukungan elektoral dan masyarakat pada pemilu lima tahun mendatang.
”Apabila parpol melihat legitimasi publik sebagai pertimbangan ke depan terkait dengan konsistensi posisi politik, tentu (demokrasi) akan menjadi lebih baik karena peluang mereka berpijak di sana akan semakin besar. Tetapi, kalau pertimbangannya adalah insentif material di kekuasaan, tentu akan menjadi lebih berat untuk mengambil posisi sebagai oposisi,” tuturnya.
Dinamika politik dan proses penentuan sikap parpol di luar pengusung Prabowo-Gibran masih akan berlangsung selama tujuh bulan ke depan. Sikap mana yang akan diambil sekaligus akan menunjukkan prioritas dan preferensi mereka. Kepentingan publik dan komitmen melanjutkan agenda demokrasi, atau kekuasaan?