Eks PPLN Dipidana Percobaan, Hakim Ketua Ceramahi: Jangan Jadi ”Robin Hood”
Ketujuh terdakwa menerima putusan hakim, sementara jaksa pikir-pikir. Hakim minta agar mereka tak menjadi ”Robin Hood”.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tujuh terdakwa eks Panitia Pemilihan Umum Luar Negeri Kuala Lumpur dijatuhi hukuman 4 bulan penjara dengan masa percobaan selama 1 tahun. Setelah selesai membacakan putusan, Ketua Majelis Hakim Buyung Dwikora memberi pesan bagi para terdakwa agar niat baik juga dibarengi dengan menaati aturan yang berlaku.
”Menyatakan terdakwa Umar Faruk, Tita Oktavia Cahya Rahayu, Dicky Saputra, Aprijon, Puji Sumarsono, A Khalil, dan Masduki Khamdan Muchamad terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, memalsukan data dan daftar pemilih baik yang menyuruh, yang melakukan maupun yang turut serta melakukan,” kata Ketua Majelis Hakim Buyung Dwikora.
Perbuatan para terdakwa, kata Ketua Majelis Hakim, terbukti melanggar dakwaan pertama, yaitu Pasal 544 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Atas perbuatan mereka, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 bulan dengan masa percobaan selama 1 tahun. Pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali apabila para terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan selama 1 tahun berakhir. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp 5 juta subsider 2 bulan kurungan.
Menyatakan terdakwa Umar Faruk, Tita Oktavia Cahya Rahayu, Dicky Saputra, Aprijon, Puji Sumarsono, A Khalil, dan Masduki Khamdan Muchamad terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, memalsukan data dan daftar pemilih baik yang menyuruh, yang melakukan maupun yang turut serta melakukan.
Putusan tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim dalam sidang tindak pidana pemilu yang terjadi di wilayah kerja Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/3/2024). Dalam sidang tersebut, Buyung Dwikora didampingi hakim anggota Arlen Veronica dan Budi Prayitno.
Adapun para terdakwa dalam kasus tersebut adalah Umar Faruk selaku Ketua PPLN Kuala Lumpur beserta para anggota PPLN Kuala Lumpur nonaktif, yakni Tita Oktavia Cahya Rahayu, Dicky Saputra, Aprijon, Puji Sumarsono, A Khalil. Terdakwa terakhir, Masduki Khamdan Muchamad, hanya menjadi anggota PPLN Kuala Lumpur dari Februari sampai 17 Mei 2023.
Punya tanggungan keluarga
Majelis hakim menilai, hal yang memberatkan terdakwa adalah selaku penyelenggara pemilihan umum seharusnya melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu, akibat perbuatan para terdakwa dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di Kuala Lumpur, Malaysia.
Adapun hal yang meringankan adalah para terdakwa belum pernah dipidana sebelumnya, hasil tindak pidana para terdakwa yang berakhir pada pemungutan suara telah dianulir oleh Komisi Pemilihan Umum atas rekomendasi Badan Pengawas Pemilu dan dilaksanakan PSU pada 10 Maret 2024. Hal meringankan lainnya adalah sebagian terdakwa merupakan mahasiswa pascasarjana yang tengah menempuh kuliah di Malaysia serta sudah memiliki tanggungan keluarga.
Hal meringankan lainnya adalah sebagian terdakwa merupakan mahasiswa pascasarjana yang tengah menempuh kuliah di Malaysia serta sudah memiliki tanggungan keluarga.
Putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum, yakni 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Selain itu, jaksa menuntut para terdakwa dijatuhi hukuman denda masing-masing sebesar Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan.
Khusus bagi terdakwa Masduki, jaksa menuntut yang bersangkutan untuk dijatuhi hukuman penjara 6 bulan tanpa masa percobaan. Namun, dalam putusannya, majelis hakim menyatakan tidak sependapat karena hingga saat ini tidak ada putusan hukum ataupun putusan etik yang membuktikan Masduki telah melakukan pelanggaran dalam merekrut Petugas Pemutakhiran Data Pemilih Luar Negeri (Pantarlih LN) Kuala Lumpur.
Maka, majelis hakim berpendapat, cukup manusiawi dan adil apabila pidana yang perlu dijalani para terdakwa tidak dijalani di lembaga pemasyarakatan, tetapi cukup dijalani melalui pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai para terdakwa terbukti menetapkan daftar pemilih sementara selain data yang telah dilakukan coklit oleh pantarlih yang mana hal itu tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Selain itu, mereka terbukti melakukan pemindahan metode pemilih dari tempat pemungutan suara ke metode kotak suara keliling dan pos tanpa dilengkapi data berupa alamat yang lengkap. Akibatnya, banyak surat suara yang dikirimkan melalui metode pos akhirnya dikembalikan.
Namun, majelis hakim menilai, para terdakwa yang sebagian merupakan dosen tidak layak menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. ”Maka, majelis hakim berpendapat, cukup manusiawi dan adil apabila pidana yang perlu dijalani para terdakwa tidak dijalani di lembaga pemasyarakatan, tetapi cukup dijalani melalui pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan,” kata majelis hakim.
Terhadap putusan tersebut, semua terdakwa menyatakan menerima. Sementara, jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir.
”Jadi, niat baik harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Itu saja pesan moralnya.
Pengakuan para terdakwa menyatakan, sebagai PPLN Kuala Lumpur, mereka justru ingin berbakti kepada negara dan ingin berbuat baik agar jangan sampai ada warga negara Indonesia yang kehilangan hak pilihnya.
”Robin Hood”
Sebelum menutup sidang, Ketua Majelis Hakim Buyung Dwikora menyampaikan kepada para terdakwa bahwa berbuat baik tidak cukup hanya dengan bermodalkan niat baik. Pernyataan ketua majelis hakim tersebut merujuk pada pengakuan para terdakwa yang menyatakan, sebagai PPLN Kuala Lumpur, mereka justru ingin berbakti kepada negara dan ingin berbuat baik agar jangan sampai ada warga negara Indonesia yang kehilangan hak pilihnya.
Menurut ketua majelis hakim, orang yang berbuat baik hanya bermodalkan niat baik itu seperti kisah ”Robin Hood” yang diceritakan selalu berbuat baik dan membagikan uang kepada orang miskin dengan merampas harta orang kaya yang jahat. Meski membagikan uang ke orang miskin itu baik secara moral, hal itu tetap salah di mata hukum.
”Jadi, niat baik harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Itu saja pesan moralnya,” kata ketua majelis hakim.