Menang Pileg, tetapi Kalah di Pilpres, Mungkinkah PDI-P Kembali Oposisi?
PDI-P pernah menjadi oposisi saat capres-cawapres yang diusungnya kalah di Pilpres 2004 dan 2009.
Hasil rekapitulasi suara Pemilu 2024 yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum menunjukkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P sebagai partai politik peraih suara terbanyak. Ambisi ”banteng” menggapai kemenangan hattrick dalam pemilihan anggota legislatif pun tercapai. Tak hanya itu, kursi ketua DPR berpeluang direbut jika kelak hasil konversi suara PDI-P ke kursi DPR, partai itu memperoleh kursi terbanyak di lembaga legislatif itu.
PDI-P memperoleh suara terbanyak berdasarkan hasil rekapitulasi suara pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu (20/3/2024) malam. Partai ini memperoleh suara hingga 25,3 juta atau 16,72 persen. Suara partai itu berselisih sekitar 2 juta suara dengan Partai Golkar di urutan kedua. Adapun di urutan ketiga Partai Gerindra dengan raihan suara 20 juta suara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Capaian partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu mengulang keberhasilannya pada pemilihan anggota legislatif (pileg) tahun 2014 dan 2019. Pada Pemilu 2014, PDI-P menjadi partai peraih suara terbanyak setelah meraih 23,6 juta suara atau 18,95 persen suara. Setelah suara dikonversi ke kursi DPR, partai ini berhasil menduduki 109 dari 560 kursi DPR. Partai ini pun berhasil menggeser Demokrat yang pada pemilu sebelumnya menjadi partai pemenang pemilu.
PDI-P kemudian kembali memenangi Pemilu 2019. Tak sebatas itu, raihan suaranya meningkat menjadi 27 juta suara atau 19,33 persen. Begitu pula jumlah kursi DPR meningkat menjadi 128 dari 575 kursi DPR. Dengan aturan di Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), mengamanatkan pemberian kursi ketua DPR untuk parpol pemilik kursi terbanyak, kader PDI-P, yakni Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P Puan Maharani, ditugaskan partainya menjadi Ketua DPR periode 2019-2024.
Baca juga:
> Hasil Pemilu 2024: Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran
> Hasil Pemilu 2024: PDI-P Menang, Ambisi "Hattrick" Terpenuhi
Keberhasilan PDI-P pada Pilpres 2014 dan 2019 itu tak terlepas dari calon presiden (capres) yang mereka usung, Joko Widodo. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dinilai banyak pakar politik menjadi salah satu kontributor terbesar kemenangan PDI-P. Elektabilitasnya yang menjulang di dua pilpres tersebut turut mendongkrak suara PDI-P.
Dengan kemenangan di pilpres itu, PDI-P menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi selama dua periode. Hanya saja, situasi politik berbalik menjelang Pilpres 2024. Jokowi yang merupakan kader PDI-P tak mendukung capres-cawapres yang diusung partainya, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Pasangan calon bernomor urut 3 pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 ini pun gagal meraih suara terbanyak. Bahkan, suara yang mereka peroleh tidak setinggi suara yang diperoleh PDI-P.
Menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana sikap partai ini setelah kandas di Pilpres 2024, tetapi di sisi lain, partai memperoleh suara terbanyak dengan kemungkinan meraih kursi terbanyak di DPR sehingga sekaligus bisa menempatkan kadernya kembali di kursi ketua DPR.
Ketua DPP PDI-P Komarudin Watubun, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/3/2024), mengatakan, idealnya pada pemerintahan selanjutnya, periode 2024-2029, PDI-P kembali berada di luar pemerintahan atau sama seperti saat dua periode pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Kala itu, pada Pilpres 2004 dan 2009, capres-cawapres yang diusung PDI-P kalah, dan partai ini memutuskan berada di luar pemerintahan atau menjadi oposisi. Maka, pada Pilpres 2024 saat capres-cawapres PDI-P kalah dalam kontestasi, idealnya partai kembali menjadi oposisi.
”Ya, idealnya besok tetap harus di luar pemerintahan,” ujar Komarudin.
Baca juga: Jual Nama Presiden Jokowi, PSI Tetap Tak Lolos ke Parlemen
Keputusan berada di luar pemerintahan ini masuk akal karena PDI-P belakangan pun intens mempersoalkan proses Pilpres 2024 yang dinilai sarat dengan pelanggaran. ”Ya, kami harus konsisten supaya jangan terkesan, kalau kita bergabung (ke pemerintahan), ini akan dianggap, ‘wah (sikap keras PDI-P terhadap proses Pilpres 2024 yang penuh pelanggaran) ini sengaja dibuat untuk posisi bargain (tawar-menawar),” ujarnya.
Belakangan, PDI-P terlihat keras mengkritik dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024. Kualitas pilpres kerap disebut dirusak oleh sikap cawe-cawe Presiden Joko Widodo. PDI-P bahkan menyebut, dalam pilpres kali ini, instrumen negara hingga anggaran negara digunakan untuk memenangi kandidat tertentu. Ini tak mengherankan karena putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, juga ikut berkontestasi dalam Pilpres 2024, berpasangan dengan capres Prabowo Subianto.
Untuk menyelidiki dugaan kecurangan tersebut, Ganjar bahkan menggulirkan wacana hak angket di DPR.
Komarudin pun mengungkapkan alasan lain PDI-P harus memutuskan berada di luar pemerintahan, yakni PDI-P harus menghargai perjuangan parpol di koalisi pasangan capres-cawapres lain yang sudah bertarung dan memenangi kontestasi pilpres. ”Biarlah mereka berbagi-bagi (kekuasaan), kebetulan sana koalisi terlalu besar. Jadi kue kecil jangan sampai mereka sendiri berantem, lalu kita tambah-tambah masalah,” ucapnya.
Baca juga: Jokowi Diusulkan Pimpin Golkar, Ujian Sejarah Demokratisasi Partai Beringin
Alasan penting lain, menurut Komarudin, semua pihak sudah bersepakat bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Esensi demokrasi ialah harus ada saling kontrol satu sama lain.
”Jadi lebih baik kalau PDI-P ada di luar (pemerintahan), dalam posisi mengontrol pemerintah yang berkuasa. Apalagi, kami pegang ketua DPR, ya, bagus. Ketua DPR itu menjadi alat kontrol yang efektif bagi presiden. Kan, itu yang sebenarnya diharapkan rakyat,” ujarnya.
Stabilitas pemerintahan
Komarudin berpandangan, tidak elok jika partai yang awalnya memilih berhadap-hadapan pada Pilpres 2024 tiba-tiba justru bersatu atas pertimbangan stabilitas pemerintahan. Ia juga menentang jika ada anggapan kehadiran oposisi justru dinilai tidak bisa menjaga stabilitas nasional.
”Justru itulah yang menjaga stabilitas nasional supaya saling mengingatkan. Kalau ada hal-hal tidak benar yang dilakukan pemerintahan, kita ingatkan. Intinya begitu. Kalau semua di (pemerintahan) sana, lalu ada masalah-masalah, semua saling menutupi aib, itu bukan sebuah pemerintahan yang baik. Bukan menata Indonesia ke depan yang lebih baik,” ucapnya.
Baca juga: Aroma Kepentingan Politik di Balik Pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta
Indonesia ke depan yang lebih baik, katanya, harus penuh dengan saling koreksi satu sama lain sehingga semua pihak semakin dewasa dalam berdemokrasi. Karena itu, tidak boleh ada pihak yang merasa alergi jika ada parpol yang memilih berada di luar pemerintahan.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani tidak ingin berspekulasi terlalu jauh mengenai sikap PDI-P di parlemen nanti terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Begitu pula jika PDI-P memilih berada di luar pemerintahan. Ia tetap meyakini, proses check and balances di DPR akan berjalan dengan baik ke depan.
Baik partainya maupun Prabowo-Gibran juga tidak pernah berkeberatan dengan siapa pun yang akan duduk menjadi ketua DPR nantinya.
Jika merujuk pada UU MD3, kursi ketua DPR tersebut berpotensi diberikan kepada PDI-P. Karena itu, lanjut Muzani, pihaknya merasa bahwa amanat UU MD3 itu harus dilaksanakan, dijalankan, bahkan dipertahankan. Amanat UU MD3 tersebut merupakan produk hukum yang telah bersama-sama disepakati oleh fraksi-fraksi partai di DPR.
”Siapa pun partai yang akan menjadi pemenang, kami tidak keberatan untuk dia menjadi ketua DPR di Senayan ini,” ujarnya.
Baca juga: Kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Bersiap Gugat Hasil Pilpres
Kekuatan di parlemen
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (FISIP UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan, berpandangan, sebenarnya, kuat atau tidaknya oposisi tergantung pada komposisi kursi nanti di DPR. Jika hanya PDI-P atau tambah satu partai lain menjadi oposisi, itu artinya suara oposisi belum dominan di DPR dan tidak akan mempunyai kekuatan yang signifikan.
”Kalau misalnya PDI-P oposisi, sementara partai lainnya memilih berada di pemerintahan, itu paling tidak sama perannya seperti situasi parlemen ini. Sekadar mengkritik pemerintah, kontrol sesuai dengan peran yang dimainkan. Tidak kemudian menjadi lebih kuat pula dengan posisi sebagai ketua DPR,” ujarnya.
Pada periode pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, komposisi partai pendukung pemerintah di parlemen sangat gemuk, mencapai 525 kursi dari 575 kursi atau lebih dari 90 persen kursi di DPR. Hanya Partai Keadilan Sejahtera yang tetap memilih berada di luar pemerintahan.
Pun, lanjut Bakir, posisi ketua DPR hanya bersifat koordinatif. Ketua DPR tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol keputusan fraksi partai lain. ”Dari sisi lobi-lobi, itu pada akhirnya yang menentukan adalah suara partai. Bicara partai, ketua umum partai yang punya peran dalam konteks konsolidasi, termasuk suara di DPR,” ujarnya.
Baca juga: Reportase Langsung Penetapan Hasil Pemilu 2024
Suasana rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/2/2024).
Lagi pula, negara ini tidak menganut sistem parlementer yang kemudian mempunyai posisi kuat untuk melakukan kontrol terhadap pemerintahan. Keputusan berada di dalam atau luar pemerintahan sering kali hanya didasari perbedaan pilihan dalam pilpres.
”Jadi, pertimbangannya bukan pertimbangan ideologis, melainkan pragmatis saja. Partai memilih beroposisi karena memang berbeda pilihan. Dari sini masyarakat melihatnya partai hanya bergerak pada isu-isu yang dimainkan dibandingkan kontrol yang konsisten terhadap pemerintahan,” ucapnya.
Untuk itu, ia tidak terlalu yakin kekuatan partai oposisi nanti bisa mengontrol jalannya pemerintahan secara efektif, apalagi melihat dominasi partai pengusung Prabowo-Gibran yang juga kuat. Belum lagi keputusan di DPR juga sepenuhnya dikendalikan oleh ketua umum partai.
”Jadi, ini memang jangka panjang. Kita berharap punya DPR yang memiliki kontrol kuat dan menyelesaikan secara efektif tugas legislasinya. Sekarang ini semua itu masih jauh panggang dari api. Minimal mereka menyelesaikan tugas mereka sendiri di legislasi, itu, kan, belum tercapai, apalagi untuk mengontrol pemerintahan,” ujarnya.