Di Balik Pembahasan Kilat RUU DKJ, Benarkah Ada Nama Gibran?
Sorotan di RUU DKJ bukan soal pemilihan gubernur-wagub, juga ketua Dewan Aglomerasi. Terkait Gibran Rakabuming Raka-kah?
Hanya empat hari Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ rampung dibahas oleh Panitia Kerja RUU DKJ. Padahal, dalam proses pembahasannya, tidak hanya masalah pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta yang memperoleh sorotan. Namun, penunjukan ketua dan anggota dewan aglomerasi juga termasuk yang mendapat sorotan tajam.
Pasalnya jika merujuk pada draf RUU DKJ yang telah disepakati di tingkat I antara Badan Legislatif DPR dan pemerintah, dewan aglomerasi itu berpotensi akan dipimpin oleh wakil presiden. Kendati di dalam RUU itu disebut bahwa dewan aglomerasi ditunjuk oleh presiden, tak tertutup kemungkinan presiden akan memberikan kewenangan untuk memimpin dewan aglomerasi itu kepada wapres.
Apalagi, sebelumnya muncul dugaan aturan soal kawasan aglomerasi disiapkan di RUU DKJ adalah untuk Gibran Rakabuming Raka yang pada Pemilihan Presiden 2024 ini maju menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto. Mengacu pada hasil hitung cepat sejumlah lembaga, pasangan Prabowo-Gibran unggul dibandingkan dengan dua pasangan calon lain, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Klausul dewan aglomerasi ditunjuk oleh presiden itu pun disepakati setelah melewati perdebatan panjang. Hal itu pun dianggap bisa menjadi jalan tengah dan lebih konstitusional karena menghormati sistem pemerintahan presidensial. Kawasan Aglomerasi sebelumnya diatur dalam Pasal 51 hingga Pasal 60 RUU DKJ. Ketentuan mengenai Kawasan Aglomerasi nantinya akan ditungkan khusus dalam peraturan pemerintah atau PP.
Baca juga: Hanya Dibahas Empat Hari, RUU Daerah Khusus Jakarta Sudah Siap Disahkan
Sementara dari segi pembentukan undang-undang, praktik legislasi pada RUU ini memperpanjang daftar RUU yang pembahasannya serba kilat. Pembahasan RUU DKJ yang kila itu pun berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi karena partisipasi bermakna atau keterlibatan publik ikut dalam pemberian masukan RUU tersebut diabaikan.
Pantia Kerja (Panja) RUU DKJ menuntaskan pembahasan RUU DKJ pada Senin (18/3/2024) malam. Dalam malam itu pula, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah sepakat untuk membawa RUU DKJ tersebut ke pembicaraan tingkat dua atau dimintakan persetujuan pengesahan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR terdekat atau sebelum akhir Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024 pada 4 April 2024.
Jika ditarik mundur, praktis pembahasan RUU ini hanya berjalan empat hari. Panja RUU DKJ yang dibentuk Baleg DPR menerima tugas untuk membahas RUU DKJ pada 13 Maret 2024. Kemudian, panja secara intensif telah menggelar rapat kerja untuk membahas RUU tersebut pada 14, 15, dan 18 Maret 2024.
Muncul dugaan aturan soal kawasan aglomerasi disiapkan di RUU DKJ adalah untuk Gibran Rakabuming Raka yang pada Pemilihan Presiden 2024 ini maju menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto.
Dalam empat hari pembahasan antara perwakilan pemerintah dan DPR itu pun tidak pernah ada agenda mengundang perwakilan masyarakat Betawi sebagai penduduk asli di Ibu Kota Jakarta serta dari pakar. Selama empat hari tersebut, pantauan Kompas di DPR, perdebatan saat pembahasan hanya berkutat di antara pemerintah dan DPR.
PKS menolak
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat dihubungi di Jakarta, Selasa (19/3/2024), mengatakan, PKS merupakan satu-satunya fraksi yang menolak pengesahan RUU DKJ. PKS menolak karena berbagai hal, salah satunya RUU dibahas secara tergesa-gesa dan berpotensi menimbulkan banyak permasalahan.
PKS menolak karena berbagai hal, salah satunya RUU dibahas secara tergesa-gesa dan berpotensi menimbulkan banyak permasalahan.
Dalam proses pembahasannya, selain soal pemilihan gubernur, Pasal 51 draf RUU DKJ yang mengatur soal kawasan aglomerasi juga mengundang perdebatan di parlemen. Pada mulanya, pasal itu menyebutkan, untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang pada kawasan aglomerasi dan dokumen perencanaan pembangunan, dibentuk Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin oleh wakil presiden. Namun, setelah perdebatan, rumusan dalam Pasal 51 diubah menjadi Kawasan Aglomerasi.
Usulan Dewan Aglomerasi dipimpin Wapres tak pelak menimbulkan spekulasi karena DPR mengusulkan pembahasan bersama RUU DKJ saat tahapan Pemilu 2024 berlangsung. Apalagi, Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan surat presiden (supres) berisi persetujuan pembahasan kepada pimpinan DPR mendekati pemungutan suara Pemilu 2024.
Sejumlah kalangan pun menuding aturan soal kawasan aglomerasi memang disiapkan untuk Gibran Rakabuming Raka yang pada Pemilihan Presiden 2024 ini maju menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto.
Presiden bebas menunjuk
Setelah melewati perdebatan selama sekitar satu jam, dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU DKJ di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (14/3) lalu, akhirnya panja sepakat ketua dan anggota Dewan Kawasan Aglomerasi DKJ ditunjuk oleh presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai klausul tersebut diatur dalam keputusan presiden.
Menurut Ketua Panja RUU DKJ Supratman Andi Agtas, dengan klausul itu, presiden nantinya bebas menunjuk siapa yang bakal menjadi ketua Dewan Kawasan Aglomerasi, baik wakil presiden maupun menteri koordinator. ”Jadi, mau dia (presiden) kasih (mandat) ke wapres atau siapa, tetapi setidaknya problem ketatanegaraan kita selesai,” ucapnya.
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Umbu Rauta, mengatakan, seyogianya pembentukan UU harus tunduk pada ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam penyusunan dan pembahasan RUU ialah pelibatan publik, termasuk di sini RUU tentang DKJ.
Pengabaian partisipasi bermakna dapat menjadi alasan untuk dilakukan pengujian secara formal ke Mahkamah Konstitusi.
Ia melanjutkan, dalam UU tentang Ibu Kota Negara (IKN) diatur jangka waktu pembentukan UU DKJ sebagai pengganti UU tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, yaitu paling lama dua tahun sejak diberlakukan UU IKN. UU IKN disahkan pada 15 Februari 2022 lalu.
Menurut Umbu Rauta, penentuan jangka waktu paling lama dua tahun dalam pembentukan RUU DKJ itu sebenarnya cukup panjang dan memadai. Karena itu, pembentukan UU DKJ dapat melibatkan partisipasi publik secara bermakna, mulai dari mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberi penjelasan atas masukan publik.
”Pengabaian partisipasi bermakna dapat menjadi alasan untuk dilakukan pengujian secara formal ke Mahkamah Konstitusi. Bagi saya, seharusnya pembentuk UU memperhatikan asas-asas dalam pembentukan UU agar menghindari adanya UU yang berpotensial diuji ke MK maupun sebagai wujud penghargaan akan asas demokrasi dalam pembentukan UU. Pada gilirannya akan terwujud produk UU yang responsif dan populis,” ucap Umbu Rauta.
Bermasalah secara konstitusional
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto sependapat dengan Umbu Rauta. Dilihat dari mekanisme pembahasan yang mengabaikan partisipasi bermakna, ia melihat RUU DKJ ini memang bermasalah secara konstitusional. Artinya, jika disahkan, UU DKJ ini sangat rawan dibawa ke MK.
Jika partisipasi bermakna tidak dipenuhi, menjadi cacat formil. Dengan cacat formil, ya seluruh UU itu nanti akan dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945, tidak hanya soal ’item’-nya.
”Jika partisipasi bermakna tidak dipenuhi, menjadi cacat formil. Dengan cacat formil, ya seluruh UU itu nanti akan dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945, tidak hanya soal item-nya,” ucapnya.
Di sisi lain, dengan pembahasan secara kilat ini, menurut Aan, tidak tertutup kemungkinan RUU DKJ akan disisipi materi muatan yang jauh dari yang diperintahkan UU IKN ataupun harapan publik, khususnya masyarakat Betawi. ”Pembahasan yang cepat akan rawan pula dimasuki penumpang gelap, lalu agenda apa pun disisipkan di RUU tersebut. Ditambah lagi, pembahasannya tidak transparan. Ini bahaya sekali,” ujarnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura pun sudah menduga pembahasan RUU DKJ ini akan berlangsung cepat dan mengabaikan paritispasi publik. Sebab, DPR dan pemerintah mengejar keterlambatan penyusunan RUU DKJ yang seharusnya rampung dua tahun setelah UU IKN disahkan.
Artinya, ini bukan tidak mungkin menjadi dasar bagi orang yang tidak sepakat dengan apa yang dimuat atau diatur di dalam UU DKJ nanti untuk mempersoalkannya di MK.
Nyatanya, pembahasan RUU DKJ berakhir seperti undang-undang lain yang juga dibahas kilat, seperti UU MK yang kelar dibahas dalam 7 hari, UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang selesai dalam kurun 14 hari, serta UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang selesai tiga bulan.
”Artinya, ini bukan tidak mungkin menjadi dasar bagi orang yang tidak sepakat dengan apa yang dimuat atau diatur di dalam UU DKJ nanti untuk mempersoalkannya di MK,” ucap Charles.
Menerima masukan
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menganggap perbedaan pendapat mengenai RUU DKJ merupakan hal yang biasa dalam demokrasi, termasuk penolakan dari PKS. Namun, pada akhirnya keputusan tetap diambil atas dasar suara mayoritas. ”Dalam RUU IKN juga saya kira, (komposisi suara DPR), 8 (fraksi setuju) dan 1 (fraksi menolak). Saya kira teman-teman PKS berusaha untuk konsisten, ya,” ujarnya.
Jadi, semua tahapan sudah kami lalu. Jadi, salah juga kalau dibilang tidak ada pelibatan partisipasi publik.
Tito pun tak sependapat dengan anggapan pembahasan RUU DKJ minim partisipasi publik. Sebab, proses pelibatan publik telah dilakukan jauh sebelum pembahasan RUU DKJ. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri telah menggelar uji publik atas RUU usul inisiatif DPR ini beberapa kali sejak 2022.
Selain itu, Baleg DPR juga sejak lama sudah menggelar konsultasi publik, salah satunya dengan mendengar masukan dari berbagai organisasi masyarakat ataupun tokoh-tokoh Betawi. ”Jadi, proses yang ada sudah kami lewati,” ujarnya.
Baca juga: Mendagri Tepis Isu Pengaturan Kawasan Aglomerasi Jakarta Disiapkan untuk Gibran
Wakil Ketua Baleg DPR Abdul Wahid membenarkan bahwa Baleg DPR sudah menggelar konsultasi publik ketika proses penyusunan draf RUU DKJ. Saat itu, sejumlah pakar hukum, pengamat perkotaan, dan lain-lain telah dipanggil untuk memberikan masukan terkait draf RUU DKJ yang akan dibahas bersama pemerintah. ”Jadi, semua tahapan sudah kami lalu. Jadi, salah juga kalau dibilang tidak ada pelibatan partisipasi publik,” ucapnya.
Bahkan, lanjut Abdul Wahid, sebagai bukti Panja RUU DKJ telah mendengarkan masukan masyarakat Betawi, RUU tersebut juga mengatur pembentukan dana abadi kebudayaan bagi pemajuan kebudayaan Betawi di Jakarta. Dana tersebut disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan ketentuan peraturan perundang-undangan. ”Itu, kan, masukan dari mereka (masyarakat Betawi). Kami akomodasi masukan mereka,” katanya.
Anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, mengakui, meski pelibatan masyarakat itu sudah dilakukan, ada beberapa isu yang baru dimunculkan dalam pembahasan RUU, seperti mekanisme pemilihan gubernur Jakarta. ”Itulah dinamika dalam pembahasan undang-undang, ya, selalu begitu, injury time selalu pasti ada yang baru muncul,” ucapnya.