Aroma Kepentingan Politik di Balik Pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta
Sejumlah anggota Baleg DPR menduga ada aroma politik di balik kesepakatan RUU DKJ.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Tak lama setelah rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) dibuka di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (18/3/2024), pemerintah tiba-tiba memberikan usulan baru mengenai mekanisme pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Pemerintah mengusulkan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih tak harus memenuhi syarat meraih suara 50 persen plus satu seperti saat Jakarta masih bersatus ibu kota negara, tetapi cukup meraih suara terbanyak.
Sejak awal, pemerintah memang menginginkan gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta dipilih secara langsung, bukan diangkat oleh Presiden seperti usulan dalam draf RUU DKJ buatan DPR. Saat rapat panja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro kemudian mengusulkan klausul tambahan, calon gubernur dan wakil gubernur cukup meraih suara terbanyak untuk memenangi pilkada.
Klausul itu berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Pasal 11 Ayat (1) UU tersebut mengatur, calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih harus memperoleh 50 persen plus satu suara sah nasional (Pasal 11 Ayat 1).
Suhajar mengungkapkan, mekanisme pilkada Jakarta nantinya sama dengan daerah khusus dan daerah otonom lainnya.
Pada awalnya, tak satu anggota panja Baleg DPR pun yang menanggapi ataupun menyanggah usulan tersebut. Namun, lima menit berselang, semua fraksi tiba-tiba menyatakan setuju saat Ketua Panja Baleg DPR untuk RUU DKJ, Supratman Andi Agtas, menanyakan persetujuan kepada para yang hadir. Politikus Partai Gerindra itu pun langsung mengetuk palu tanda usulan pemerintah itu disetujui.
Padahal, pada rapat sebelumnya, 14 Maret 2024 lalu, mekanisme pemilihan gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta yang diusulkan diatur dalam Pasal 10 Ayat (2) RUU DKJ sempat diperdebatkan oleh pemerintah dan Baleg DPR. Para anggota Baleg berkukuh dengan usulan mereka, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD. Sebaliknya, pemerintah juga tetap mempertahankan usulan gubernur dan wakil gubernur Jakarta dipilih langsung oleh rakyat.
Kembali ke rapat pada 18 Maret 2024, setelah semua setuju dengan mekanisme pilkada Jakarta yang diusulkan pemerintah, pembahasan RUU DKJ dilanjutkan dengan mendiskusikan pasal-pasal lain, seperti pengaturan pengalihan aset hingga kewenangan kekhususan Jakarta setelah tak lagi menjadi ibu kota negara. Rapat kemudian diskors karena waktu menunjukkan jam buka puasa.
Pukul 19.00, rapat dilanjutkan kembali. Namun, menurut informasi yang diterima Kompas, sebelum rapat tersebut dibuka untuk umum, Panja RUU DKJ menggelar rapat tertutup. Dalam rapat tertutup itu, pemerintah mengusulkan mekanisme yang berbeda untuk pilkada Jakarta. Pemerintah ingin mekanisme pilkada Jakarta dikembalikan lagi ke UU DKI Jakarta. Artinya, gubernur dan wagub Jakarta terpilih harus mendapatkan suara 50 persen plus satu.
Sejumlah anggota Panja Baleg untuk RUU DKJ tidak terima dengan sikap pemerintah yang plin-plan tersebut. Salah satunya anggota panja dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo. ”Kalau (rapat) terbuka, saya marah itu. Gimana pemerintah, pagi begini, sore berubah. Ini pemerintah plin-plan,” ujarnya.
Namun, apa daya, usulan baru pemerintah yang meminta gubernur dan wagub Jakarta harus mendapatkan suara 50 persen plus satu akhirnya disepakati oleh panja Baleg DPR dan pemerintah. Hanya dengan membahas selama 15 menit, mayoritas fraksi setuju dengan usulan pemerintah. Hanya Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menolak usulan tersebut.
Firman menduga, ada kepentingan politik di balik perubahan aturan yang sekejap itu. ”Setiap undang-undang itu, kan, selalu ada pergerakan. Mesti ada kebutuhan dan kepentingan di situ. Itulah dinamika dalam pembahasan undang-undang, ya, selalu begitu, injury time selalu pasti ada yang baru muncul. Tetapi, harus diingat, gubernur adalah pemimpin rakyat, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jadi, bukan dari orang tertentu, untuk orang tertentu,” ucapnya.
Wakil Ketua Panja RUU DKJ dari Fraksi PKB Abdul Wahid pun membaca hal yang sama. Menurut dia, perubahan aturan dalam waktu singkat itu tidak mungkin terjadi di ruang kosong. ”Tentu ini ranah politik, tentu kami menganggap ini ruang-ruang politik, pasti ada,” katanya.
Namun, ia tidak mengetahui secara pasti terkait apa kepentingan pemerintah meminta gubernur dan wagub Jakarta harus mendapatkan suara 50 persen plus satu. Sejumlah alasan yang dikemukakan pemerintah dalam rapat hanya bersifat normatif. Pertama, Jakarta merupakan kota global yang diasumsikan sebagai kota ekonomi dan perdagangan. Karena itu, dianggap harus mempunyai tingkat kepercayaan yang kuat dari masyarakat dan ini dicerminkan dari hasil pilkada yang harus didukung 50 persen plus satu suara.
Perubahan aturan dalam waktu singkat itu tidak mungkin terjadi di ruang kosong. Tentu ini ranah politik, tentu kami menganggap ini ruang-ruang politik, pasti ada.
Alasan kedua, Jakarta nantinya akan menopang daerah di sekitarnya dengan menjadi kawasan aglomerasi sehingga pemimpin Jakarta harus kuat dan banyak mendapat dukungan dari masyarakatnya. Alasan terakhir, secara finansial, Jakarta dianggap pemerintah mampu untuk menggelar pilkada sebanyak dua putaran.
”Padahal, prinsipnya, kan, setelah ibu kota pindah ke Ibu Kota Nusantara, Jakarta menjadi daerah biasa saja. Kecuali kekhususannya soal kota global dan perdagangan. Itu yang kami pegang,” ucap Abdul Wahid.
Di akhir pengambilan keputusan beleid itu, Supratman sebagai pimpinan Panja RUU DKJ menegaskan bahwa setiap argumentasi yang disampaikan oleh fraksi-fraksi tidak salah. Ia justru berkelakar, Firman hanya kaget pemerintah mengubah aturan dalam waktu seketika. Padahal, hal itu merupakan hal yang biasa.
”Pak Firman tadi cuma kaget saja. Kok, tiba-tiba dalam waktu seketika, pemerintah berubah. Padahal, biasanya juga kita di DPR seketika juga berubah keputusan. Tergantung perintah, iya kan. Jadi biasa saja,” katanya.
Dampak tak transparan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menduga, perubahan kilat sikap pemerintah terkait mekanisme pemilihan gubernur dan wagub Jakarta memang tak bisa tidak karena ada kalkulasi politik pemerintah, dalam hal ini Presiden. Sebab, pemerintah juga tidak bisa menjelaskan kepada publik terkait alasan rasionalitas perubahan klausul itu.
”Jadi, jelas ada kepentingan langsung dari pemerintah di pilkada Jakarta yang membuat mereka akhirnya rela melepaskan mekanisme yang berlaku standar di pilkada daerah lain dan memilih mekanisme khusus untuk DKJ walau mekanisme itu memang sudah berjalan sebelumnya di DKI,” tutur Lucius.
Lebih dari itu, keputusan membuat proses pilkada Jakarta berbeda dari daerah lain juga merupakan keputusan yang aneh. Sebab, proses yang berbeda ini bisa menghambat keserentakan pelantikan gubernur yang sedang diupayakan melalui revisi UU Pilkada.
Padahal, peluang untuk menyamakan pilkada Jakarta dan daerah lain sebenarnya terbuka pada revisi UU DKJ ini. Pilihan untuk kembali ke mekanisme 50 persen plus satu suara itu sulit dipahami. Skema keserentakan pilkada bisa terganggu karena ada satu provinsi yang justru menganut mekanisme yang memungkinkan pilkada berlangsung dua putaran.
”Jadi, ya terlihat sekali, sikap plin-plan pemerintah ini karena hitung-hitungan strategi menghadapi pilkada Jakarta beberapa bulan mendatang,” tuturnya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menegaskan, tak dimungkiri memang pembahasan RUU disusupi kepentingan politik tertentu, apalagi pembahasannya dilakukan secara tertutup. ”Ini dampak tidak ada transparansi dalam proses pembahasan. Ditambah lagi pembahasan cepat, tentu materi RUU sangat rawan dimasuki penumpang gelap. Ini bahaya sekali,” ucapnya.