Seruan Salemba 2024, Akademisi Kembali Berkumpul Soroti Kemunduran Demokrasi
Akademisi dan masyarakat sipil mengkhawatirkan kemunduran demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini. ”Salemba” pun berseru.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan akademisi hingga masyarakat sipil kembali menyoroti kemunduran demokrasi di akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Mereka berkumpul dan berupaya mengingatkan penguasa agar tidak semena-mena menggerus nilai demokrasi. Seruan yang sama dinilai bakal terus berkumandang dari daerah lain.
Ratusan akademisi yang terdiri dari dosen, guru besar, mahasiswa, dan pemerhati berkumpul dalam forum ilmiah universitas se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang diselenggarakan di Gedung IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024). Isi diskusi tertuang sebagai Seruan Salemba 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kegiatan itu dihadiri oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Hariadi Kartodihardjo, dosen dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun, ahli filsafat moral Franz Magnis-Suseno, dosen dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa, dan lainnya.
Salah satu pembicara, ekonom senior, Faisal Basri, mengutip laporan V-Dem Democracy Index 2024 yang menunjukkan indeks demokrasi Indonesia terus menurun dari 0,43 pada 2023 menjadi 0,36. Bersamaan dengan itu, peringkat Indonesia pun turun dari 79 ke 87, di bawah Papua Niugini dan Timor Leste.
Faisal pun menyebut tren penurunan indeks demokrasi di era pemerintahan Presiden Jokowi. ”Skornya turun mendekati nol. Saat Presiden Joko Widodo dilantik pertama kali (2014), demokrasi Indonesia mencapai level tertingginya, sedangkan sekarang demokrasi menurun,” ujarnya.
Degradasi demokrasi nasional, kata Faisal, disebabkan oleh pelemahan institusi penegak demokrasi oleh penguasa. Ia menduga ada kepentingan tertentu untuk melanggengkan anggota keluarga Presiden di pemerintahan.
Skornya turun mendekati nol. Saat Presiden Joko Widodo dilantik pertama kali (2014), demokrasi Indonesia mencapai level tertingginya, sedangkan sekarang demokrasi menurun.
Selain itu, penguasa dan pengusaha kini berkumpul dalam satu kelompok kepentingan. Kekayaan alam tak lagi dimiliki negara untuk kepentingan masyarakat, tetapi kelompok pengusaha. Hal itu dianggap lebih parah dari tindakan Orde Baru saat kepemimpinan Presiden ke-2 RI Soeharto.
Sebelumnya, sejak akhir Januari 2024, sebelum pemungutan suara, akademisi di berbagai wilayah sudah menyerukan kritik terhadap kemunduran demokrasi. Hal itu dilatarbelakangi dugaan penyalahgunaan kekuasaan lewat pengaturan hukum demi kepentingan tertentu.
Kini, seruan akademisi itu terus berlanjut seusai pemungutan suara 14 Februari 2024. Mereka berharap agar anggota DPR menjalankan fungsi pengawasan berupa hak angket untuk menyelidiki kecurangan dalam Pemilu 2024.
Menurut Bivitri Susanti, seruan dari akademisi merupakan bagian dari tanggung jawab kaum intelektual. Efektivitas dari seruan bergantung pada pihak penguasa sebagai obyek kritik. Namun, ia sadar hukum kini dipakai sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan belaka.
Bivitri pun menyoroti kondisi hukum. ”Hukum ini agak mengerikan, membangun ketaatan dengan daya paksa melalui sanksi, melalui keharusan yang punya dampak atau akibat berupa hukum perdata, administrasi,” katanya.
Oleh karena itu, Bivitri menilai wajar kini publik seolah disibukkan dengan angka-angka perolehan suara hasil pemilu. Padahal, substansinya adalah nilai-nilai demokrasi yang bisa terwujud. Demokrasi bertujuan untuk membatasi kekuasaan dan menjamin hak asasi warga negara.
Dalam konteks tersebut, ia juga menyinggung progres studinya yang menemukan Indonesia memasuki era otokrasi terselubung. Kondisi itu membuka ruang larangan terhadap kritik dan perlawanan. Padahal, demokrasi yang baik adalah demokrasi yang gaduh, bukan tenang.
”Saya sedang membuat studi untuk memotret autocratic legalism di Indonesia. Bagaimana kritik terhadap kekuasaan sebenarnya sedang dimatikan,” ujarnya.
Menurut Bivitri, masyarakat Indonesia sejak duduk di bangku sekolah sudah diajarkan untuk taat secara buta terhadap hukum, tanpa peduli aturannya bersifat adil atau tidak. Tindakan sewenang-wenang saat ini terjadi mengatasnamakan hukum. Sementara itu, DPR tidak dapat menyeimbangkan kekuasaan.
”Presiden mau matikan KPK, (cuma butuh) dua minggu pada 2019 revisi Undang-Undang KPK keluar, Presiden ingin memberikan konsesi yang bagus untuk para pemilik tambang, (hanya) enam hari revisi UU Mineral dan Batu Bara keluar. Presiden ingin memindahkan ibu kota ke Nusantara, (hanya) 21 hari UU-nya dikeluarkan begitu saja oleh DPR,” ujarnya.
Meskipun begitu, Bivitri tak mengajak publik untuk tidak taat terhadap hukum, tetapi ikut mengkritisi aspek keadilan di dalamnya. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah mengembalikan gagasan Indonesia sebagai negara hukum pada persoalan pembatasan kekuasaan dan hak asasi warga.
Saya sedang membuat studi untuk memotret autocratic legalism di Indonesia. Bagaimana kritik terhadap kekuasaan sebenarnya sedang dimatikan.
Tak hanya di Salemba
Guru Besar Fakultas Hukum UI Sulistyowati Irianto menegaskan, tindakan serupa Seruan Salemba 2024 tidak akan berhenti di Jakarta, tetapi bakal berlanjut di daerah lainnya. Hal ini sama seperti periode sebelum pemilu.
”Tidak akan hanya di Salemba, tetapi juga akan ada daerah-daerah lainnya untuk menyusul,” ujarnya.
Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI Iqbal Cheisa Wiguna menyebutkan, konsolidasi antarmahasiswa masih terus berlangsung, baik di kawasan Jakarta maupun daerah lainnya. Aksi demonstrasi untuk menindaklanjuti Seruan Salemba 2024 bergantung pada hasil konsolidasi.