Mendagri Tepis Isu Pengaturan Kawasan Aglomerasi Jakarta Disiapkan untuk Gibran
Mendagri menegaskan pembentukan Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin wakil presiden sudah dibahas sejak lama.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menepis isu usulan pengaturan kawasan aglomerasi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta disiapkan untuk wakil presiden hasil Pemilu 2024. Selain sudah sejak lama dibahas, aturan yang bertujuan untuk menyinkronkan pembangunan Jakarta dengan kota-kota satelit di sekitarnya tersebut juga diusulkan atas masukan sejumlah pakar perkotaan.
Dalam RUU tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) salah satunya diusulkan mengatur pembangunan kawasan aglomerasi, yang meliputi Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi, akan disinkronkan. Pada Pasal 51 RUU DKJ disebutkan, untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang pada kawasan aglomerasi dan dokumen perencanaan pembangunan, dibentuk Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin oleh wakil presiden.
Usulan itu tak pelak menimbulkan spekulasi karena DPR mengusulkan pembahasan bersama RUU DKJ saat tahapan Pemilu 2024 berlangsung. Apalagi, Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat presiden berisi persetujuan pembahasan kepada pimpinan DPR mendekati pemungutan suara Pemilu 2024.
Sejumlah kalangan menuding aturan soal kawasan aglomerasi disiapkan untuk Gibran Rakabuming Raka yang pada Pemilihan Presiden 2024 ini maju menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto. Mengacu pada hasil hitung cepat sejumlah lembaga, pasangan Prabowo-Gibran unggul dibandingkan dengan dua pasangan calon lain, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Saat rapat kerja dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR di Gedung Nusantara I, Jakarta, Rabu (13/3/2024), Tito Karnavian menjelaskan, pengaturan soal kawasan aglomerasi sudah muncul saat forum diskusi terbatas antara tim dari Kementerian Dalam Negeri dan pakar perkotaan dari sejumlah perguruan tinggi, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, juga pakar hukum tata negara Jimly Asshidiqie, pada April 2022.
”Saat FGD dilakukan, belum ada koalisi untuk Pemilu 2024, apalagi paslon (pasangan calon)-nya siapa, tidak tahu,” katanya dalam rapat kerja pembahasan perdana Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta.
Tito melanjutkan, pengaturan kawasan aglomerasi muncul karena sejumlah problem yang sama dihadapi Jakarta dan kota-kota satelitnya. Problem dimaksud seperti masalah lalu lintas atau kemacetan, sampah, polusi, dan kependudukan. ”Karena itu, perlu ada harmonisasi pembangunan, mulai dari penataan hingga evaluasi,” ujarnya.
Pengaturan soal kawasan aglomerasi sudah muncul saat forum diskusi terbatas antara tim dari Kementerian Dalam Negeri dan pakar perkotaan dari sejumlah perguruan tinggi, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, juga pakar hukum tata negara Jimly Asshidiqie, pada April 2022.
Sebelum sampai pada keputusan membentuk kawasan aglomerasi, sempat muncul ide membentuk Metropolitan atau Megapolitan Jakarta. Namun, dengan nama itu, bisa muncul anggapan bahwa seluruh pemerintahan daerah di Jakarta dan sekitarnya akan dijadikan satu.
Selain itu, jika langkah itu yang ditempuh, banyak undang-undang yang harus direvisi, terutama undang-undang pembentukan kabupaten/kota di sekitar Jakarta dan provinsi Jawa Barat. ”Akhirnya yang mengerucut adalah usulan pembentukan kawasan aglomerasi yang di dalamnya tak ada keterikatan di satu pemerintahan,” ujarnya.
Dewan Kawasan Aglomerasi yang nantinya dibentuk, lanjut Tito, sama seperti Badan Percepatan Pembangunan Papua. Sejak dua tahun lalu, badan ini bertugas mengharmonisasikan pembangunan di Papua. Tak hanya mengharmonisasikan program pembangunan di antara pemerintah daerah di Papua, tetapi juga program-program yang tersebar di banyak kementerian atau lembaga. Badan itu pun dipimpin oleh wakil presiden.
Oleh karena itu, Dewan Kawasan Aglomerasi pun perlu dikoordinasikan oleh pemimpin tertinggi untuk memastikan harmonisasi pembangunan berjalan. ”Kalau bukan presiden, ya, wapres, tapi kemudian pilihan itu jatuh ke wapres. Nah, dia tidak sendiri, tidak kemudian dia menjadi pemimpin yang lepas sendiri, tetapi bertanggung jawab ke presiden, bahkan presiden bisa saja mengambil alih,” kata Tito.
Pertimbangan mendalam
Ihwal pembentukan dewan untuk mengoordinasikan pembangunan di kawasan aglomerasi Jakarta dan sekitarnya juga menjadi sorotan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Wakil Ketua II Komite I DPD Sylviana Murni meminta pemerintah dan DPR mempertimbangkan secara mendalam pemberian kewenangan langsung kepada wapres untuk memimpin pembangunan di kawasan aglomerasi. Kajian mendalam dinilai penting agar tak terjadi dualisme kekuasaan antara presiden dan wapres.
”Pada dasarnya keputusan kepada wapres harus berdasarkan kewenangan mandat dari presiden sebagai penanggung jawab tertinggi,” katanya.
Sementara itu, Baleg DPR mengakui pengaturan kawasan aglomerasi menjadi salah satu isu krusial dalam pembahasan RUU DKJ, selain soal penunjukan langsung gubernur oleh Presiden. Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas meyakini pembahasan RUU DKJ bisa diselesaikan sebelum masa sidang berakhir pada 5 April.